MK Resmi Larang Wakil Menteri Rangkap Jabatan Komisaris

CNN Indonesia
Kamis, 28 Agu 2025 16:24 WIB
Mahkamah Konstitusi memutuskan wakil menteri dilarang untuk rangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan wakil menteri dilarang untuk rangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta.

Hal itu termuat dalam Putusan Perkara Nomor: 128/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Advokat Viktor Santoso Tandiasa terkait pengujian materi Pasal 23 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

"Amar putusan: 1. Mengabulkan permohonan pemohon I untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/8).

MK menyatakan Pasal 23 UU Kementerian Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916 bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai:

Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:

a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan

b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau

c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

Hakim anggota Enny Nurbaningsih mengatakan dalil pemohon yang berkenaan dengan larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri in casu sebagai komisaris pada perusahaan BUMN ternyata telah sejalan dengan norma Pasal 33 huruf b Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Sekalipun norma Pasal 33 UU BUMN telah dihapus dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas (formil dan materiel) UU 1/2025, telah ternyata substansi dimaksud tetap diakomodasi atau dipertahankan bahwa anggota komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai, "b. Jabatan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan" (vide Pasal 33 huruf b UU 19/2003 dan Pasal 27B huruf b UU 1/2025).

Dalam batas penalaran yang wajar, peraturan perundang-undangan dimaksud satu di antaranya adalah UU 39/2008.

"Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah menegaskan dalam amar Putusan a quo mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri termasuk sebagai komisaris, sebagaimana halnya menteri agar fokus pada penanganan urusan kementerian," ucap Enny.

"Sementara itu, untuk menjalankan jabatan komisaris pun memerlukan konsentrasi waktu," sambungnya.

Guna menghindari kekosongan hukum maupun ketidakpastian dalam implementasi norma Pasal 23 UU 39/2008 a quo yang telah dimaknai Mahkamah, in casu terhadap frasa "wakil menteri", MK memberikan tenggang waktu (grace period) bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap ketentuan larangan jabatan wakil menteri tersebut.

MK mempertimbangkan diperlukan masa penyesuaian paling lama 2 tahun sejak putusan a quo diucapkan.

Putusan ini diwarnai oleh pendapat berbeda atau dissenting opinion dari dua hakim konstitusi yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan Arsul Sani.

Dalam konteks perkara a quo, Daniel Yusmic memandang pendirian Mahkamah dalam Putusan Nomor: 80/PUU-XVII/2019 tetap perlu dipertahankan, semestinya tidak perlu dirumuskan dalam amar putusan.

Sementara Arsul Sani pada pokoknya menyatakan Mahkamah seharusnya perlu menerapkan due process perkara Pengujian Undang-undang yang bersifat deliberatif dan partisipatif dengan mendengarkan keterangan dari pembentuk Undang-undang dan para pihak yang terdampak.

Perkara ini diuji cepat oleh MK, hanya melalui dua kali sidang dan tanpa sidang pleno untuk mendengarkan keterangan pemerintah atau DPR.

(ryn/gil)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK