Krisis Kepercayaan Publik, Akademisi Beri Catatan Penting Buat Prabowo

CNN Indonesia
Selasa, 02 Sep 2025 06:34 WIB
Aliansi Akademisi Peduli Indonesia menyoroti krisis kepercayaan publik dan mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah nyata di tengah gelombang demonstrasi yang menelan korban jiwa. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
Jakarta, CNN Indonesia --

Aliansi Akademisi Peduli Indonesia menyoroti krisis kepercayaan publik dan mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah nyata di tengah gelombang demonstrasi yang menelan korban jiwa.

Para akademisi yang terdiri dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menegaskan masalah yang terjadi jauh lebih mendasar, yakni ketidakadilan kebijakan dan lemahnya akuntabilitas negara.

Mereka menilai, demonstrasi yang awalnya memprotes kenaikan tunjangan DPR sejatinya merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap berbagai kebijakan, mulai dari kebijakan efisiensi anggaran hingga pajak. Namun aksi itu kemudian meningkat eskalasinya setelah korban berjatuhan, bahkan hingga menelan korban jiwa akibat brutalitas aparat.

Prof. Sulistyowati Irianto dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mendorong Presiden untuk mengambil langkah konkret, seperti dengan menerbitkan RUU Perampasan Aset, RUU Masyarakat Adat, hingga RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) untuk memulihkan kepercayaan rakyat.

"Kalau Presiden punya pandangan bahwa sekarang memang ada kegentingan, apa salahnya juga bikin Perampasan Aset daripada rakyatnya kehilangan kepercayaan sama sekali terhadap pemimpinnya di segala level," ujar Sulis dalam konferensi pers secara daring, Senin (1/9).


Menurutnya, perbaikan yang dibutuhkan bukan sekadar pencabutan tunjangan, melainkan reformasi birokrasi dan kebijakan anggaran secara mendasar.

"Kita membutuhkan restrukturisasi, bahkan reformasi birokrasi yang mendasar banget. Lembaga-lembaga negara semuanya harus betul-betul hubungan trias politika, mengawasi satu sama lain. Termasuk mengembalikan lagi marwah peradilan agar independen dan tidak tunduk pada tekanan politik maupun uang," kata Sulis.


"Alokasi anggaran keuangan mohon dipertimbangkan lagi. Mohon maaf nih, anggota DPR tuh pensiunnya seumur hidup, padahal kerjanya belum tentu seumur hidup. Itu yang membebani negara, bukan para dosen, guru, ASN yang lain, dan pelayan-pelayan publik yang lain," lanjutnya.

Meredam protes publik


Sementara itu, Mantan Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho menilai langkah pemerintah mencabut tunjangan hingga menonaktifkan anggota DPR tidak lebih dari gestur simbolik untuk meredam amarah masyarakat.

"Mencabut tunjangan dan menonaktifkan itu kalau saya melihatnya ini DPR dijadikan satu pelepas tekanan. Presiden kan bilang, partai-partai itu diminta atau sudah sekarang mencabut keanggotaan, mencabut tunjangan, moratorium. Memang kalau ini kita lihat ini kayak gesturnya sangat dramatik. Tapi kalau kita analisis lebih dalam, ini lebih merupakan scapegoating untuk meredakan kemarahan publik," kata Yanuar.

"Bebannya dilempar ke legislatif sementara eksekutifnya muncul sebagai penyelamat, padahal akar persoalan ini ketidakadilan yang muncul dari berbagai kebijakan yang dibuat dua-duanya," tambah Yanuar.

Menurutnya, strategi itu hanya akan menenangkan situasi sesaat tanpa menyentuh inti masalah, yaitu keretakan kepercayaan publik.

"Memang strategi ini bisa menenangkan sesaat, tapi tidak bisa menyentuh akar masalah yaitu tadi kepercayaan publik yang sudah terlanjur retak tadi, rasa keadilan yang sudah terlanjur cedera," katanya.

Yanuar menambahkan, pemerintah juga perlu mengubah pendekatan dari koersif menjadi akuntabel. Ia menilai Presiden harus menunjukkan tanggung jawab langsung atas jatuhnya korban dalam demonstrasi.

"Pendekatan yang dipilih pemerintah sementara ini adalah pendekatan koersif, bukan pendekatan akuntabilitas, maka jadinya seperti itu. Padahal sebenarnya Presiden bisa mengambil peran yang jauh lebih mendasar, transparan, akuntabil. Sampai sekarang belum saya dengar sepatah kata maaf itu enggak ada dari Presiden. Jadi mestinya dia itu minta maaf. Itu nomor satu," katanya.

Ia juga mendesak investigasi independen atas kematian warga sipil akibat dugaan penggunaan kekerasan berlebihan aparat.

"Kematian warga sipil karena penggunaan kekerasan berlebihan itu mesti dilakukan secara independen. Tidak bisa polisi diminta memerintahkan, menginvestigasi anggotanya itu tidak bisa. Mestinya Komnas HAM, Ombudsman, itu mesti diajak. Mesti yang ditugaskan Presiden," kata Yanuar.

Menurutnya, pengakuan negara untuk melindungi, bukan melukai warga, merupakan fondasi awal sebelum melakukan koreksi kebijakan yang menjadi pemicu maupun akar persoalan.

"Presiden itu mesti mau melakukan pengakuan terbuka bahwa negara itu bertanggung jawab melindungi warga, bukan melukai mereka. Yang penting itu pengakuannya. Itu adalah langkah yang amat mendasar, yaitu dia committed untuk melakukan koreksi kebijakan, baik yang jadi pemicu, yaitu tunjangan DPR, penghematan, pajak, dan lain-lain. Tapi juga kebijakan yang menjadi akar persoalan ketidakadilan tadi," ujarnya.

(kay/fra)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK