ANALISIS

Tugas Mengawal Tuntutan 17+8 Sampai Menang

CNN Indonesia
Senin, 15 Sep 2025 13:54 WIB
Sejumlah rakyat sipil menyuarakan tuntutan 17+8 yang harus dipenuhi pemerintah Prabowo CNN Indonesia/Thohirin
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah koalisi masyarakat sipil mulai dari mahasiswa, pesohor, hingga ojek online (ojol) masih terus melakukan unjuk rasa pasca gelombang demonstrasi besar-besaran 25-31 Agustus yang menewaskan 10 korban jiwa di beberapa daerah.

Aksi dilakukan untuk mendesak pemerintah dan DPR segera memenuhi tuntutan 17+8 yang koalisi rumuskan sebelumnya. Masyarakat menilai pemerintah masih setengah hati mengabulkan sejumlah tuntutan yang dianggap krusial.

"Masih banyak, kami rasa nol besar dalam hal penuntasan," kata perwakilan mahasiswa UI, Diallo Hujanbiru saat demo di depan kompleks parlemen, Selasa (9/9) pekan lalu.

Mahasiswa antara lain kecewa karena pemerintah dan DPR tak kunjung membentuk tim investigasi dugaan makar dan kekerasan aparat dalam gelombang aksi unjuk rasa 25-31 Agustus di beberapa daerah. Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyinggung ada dugaan makar dalam demo tersebut.

Sementara, beberapa tuntutan lain yang belum tersentuh antara lain reformasi institusi kepolisian dan desakan agar TNI kembali ke barak.

Teranyar, koalisi ojol mengancam akan menggelar demo besar-besaran bersama mahasiswa di DPR pada Rabu (17/9). Mereka mengingatkan pemerintah soal potensi gelombang anarkis seperti unjuk rasa di Nepal bila tuntutan tak didengar.

Prabowo sebelumnya mengakui sebagian tuntutan demo masuk akal. Sementara, sisanya, dia menyebut masih perlu untuk dirundingkan dan diperdebatkan.

"Ya saya kira kita pelajari sebagian masuk akal, sebagian kita bisa berunding, kita bisa berdebat," kata Prabowo di kediamannya, Hambalang, Jawa Barat, Sabtu (6/9).

Demonstrasi butuh konsistensi

Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' meyakini gerakan masyarakat membutuhkan konsistensi. Ibarat meruntuhkan tembok, dia bilang, gerakan masyarakat tak bisa dilakukan hanya sekali dua kali.

Begitu pula dengan tuntutan, yang tak bisa hanya sekali disampaikan, melainkan harus berkali-kali secara konsisten. Menurut Castro, koalisi masyarakat sipil perlu memikirkan dengan matang untuk mempertahankan nafas mereka dalam mengawal tuntutan.

"Sama seperti kita merubuhkan tembok kan tidak mungkin sekali pukul, harus berkali-kali. Begitu pula dengan tuntutan, enggak bisa sekali selesai. Jadi butuh konsistensi," kata Castro saat dihubungi, Senin (15/9).

Oleh karenanya, kata dia, masyarakat tak bisa langsung berpangku tangan pada DPR atau pemerintah hanya dengan sekali tuntutan, atau bahkan mewakili kepentingan kepada DPR. Sebab, justru yang membuat gerakan masyarakat terbangun belakangan adalah bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPR dan pemerintah.

Sehingga, lanjut Castro, aneh jika masyarakat percaya dan memasrahkan tindak lanjut pemenuhan tuntutan publik kepada mereka.

"Jadi catatan penting sebenarnya untuk menjaga konsistensi, aksi-aksi terus dilakukan, supaya nafas kita panjang dalam mengawal tuntutan itu. Enggak bisa serta merta tuntutan itu diberikan dan dipercaya begitu saja kepada pemerintah," kata dia.

Waspada upaya delegitimasi aksi

Kedua, Castro mewanti-wanti agar koalisi sipil mewaspadai upaya mendelegitimasi atau merusak kepercayaan terhadap gerakan. Terlebih, belakangan aparat mulai menargetkan beberapa orang sebagai tersangka.

Menurut Castro, upaya itu memang sengaja dilakukan pemerintah untuk menginterupsi gerakan sipil agar berhenti.

"Saya kira itu jelas akan dilakukan. Entah itu untuk memecah gerakan, membuat gerakan menjadi mundur, seolah-olah ingin menakut-nakuti dalam tanda petik. Jadi, mestinya gerakan massa aksi tidak boleh gentar," kata Castro.

Pemerintah-DPR abai, RI bisa jadi Nepal

Dosen Fakultas Politik UIN Jakarta, Ali Rif'an memuji respons DPR dan pemerintah mengabulkan sejumlah tuntutan koalisi sipil. Namun dia mengingatkan masih banyak tuntutan lain yang belum dipenuhi.

Oleh karena itu, Ali menilai masyarakat harus terus mengawasi tenggat waktu yang telah diberikan kepada pemerintah dan DPR.

Ali mengaku khawatir, jika tuntutan itu terus menerus diabaikan, situasinya akan semakin serius, bahkan bukan tidak mungkin akan seperti di Nepal.

"Jadi apa yang menjadi tuntutan masyarakat harus segera dipenuhi. Karena kita khawatir Indonesia nanti seperti Nepal, ketika pemerintah abai terhadap kritik, masukan, dan saran," kata Ali saat dihubungi, Senin.

Menurut Ali, gelombang demo 25-31 Agustus harus menjadi momentum perbaikan tradisi politik di Indonesia. Namun, dia menilai, masyarakat harus tetap berusaha untuk menjaga momentum pemenuhan tuntutan.

"Karena saya sepakat ketika momentum hilang, isunya udah adem, itu relatif tuntutan itu diabaikan, sehingga tetap masyarakat tetap harus mengawasi dan mungkin ultimatum juga perlu kalau misalnya segera dipenuhi kalau tidak dipenuhi akan ada aksi lagi," katanya.

(thr/dal)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK