Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkaji praktik rangkap jabatan publik untuk memperkuat reformasi tata kelola publik. Hal itu sebagai bagian dari komitmen untuk menutup celah konflik kepentingan.
Langkah tersebut diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 128/PUU-XXIII/2025 yang melarang wakil menteri merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, komisaris BUMN/swasta, atau pimpinan organisasi yang didanai APBN/APBD.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Aminudin menuturkan rata-rata kasus korupsi berawal dari benturan kepentingan, sehingga kajian tersebut sangat penting untuk mencegah risiko tersebut.
"Kami berharap kajian ini menjadi landasan reformasi tata kelola publik yang lebih kuat," ujar Aminudin melalui keterangan tertulis, Rabu (17/9).
Dia mengatakan putusan MK semakin mempertegas urgensi pembenahan sehingga praktik rangkap jabatan tidak lagi menjadi celah konflik kepentingan, dan pejabat publik dapat fokus memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Kajian Rangkap Jabatan Terhadap Integritas dan Tata Kelola Lembaga Publik di Indonesia yang diinisiasi oleh KPK telah dilakukan sejak Juni-Desember 2025 dan dilanjutkan pada tahun 2026, dengan fokus di 10 lembaga publik melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
KPK berkolaborasi dengan Kementerian dan lembaga termasuk Kementerian PAN-RB, Ombudsman RI, Kementerian BUMN, Lembaga Administrasi Negara (LAN), serta para akademisi.
Aminudin bilang kajian tersebut akan mengidentifikasi praktik rangkap jabatan, faktor penyebabnya mulai dari kebijakan, keterbatasan SDM, hingga beban kerja dan kompensasi, serta efektivitas mekanisme pengawasan.
"Hasil penelitian diharapkan menghasilkan rekomendasi valid dan presisi guna mendorong perbaikan sistem, etika, dan profesionalitas," tambah Aminudin.
Dia menambahkan kajian dimaksud juga melibatkan pemangku kepentingan pada lingkup eksekutif, ASN, TNI, dan Polri, serta kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian di tingkat pusat dan narasumber eksper dan praktisi terkait.
Beberapa di antaranya, seperti pakar etika pemerintahan dan integritas publik, pakar antikorupsi dan kelembagaan pengawas, serta akademisi dan peneliti kebijakan publik.
Melalui kajian tersebut, Aminudin mengatakan KPK tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menyusun rekomendasi kebijakan.
Beberapa usulan yang dikemukakan, salah satunya mendorong lahirnya Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah yang secara jelas mengatur definisi, ruang lingkup, daftar larangan jabatan, dan sanksi terkait konflik kepentingan dan rangkap jabatan.
Kedua, sinkronisasi regulasi dan harmonisasi dengan UU BUMN, UU Pelayanan Publik, UU ASN, UU Administrasi Pemerintahan serta aturan lain yang terkait.
Ketiga, mengusulkan reformasi remunerasi pejabat publik melalui sistem gaji tunggal (single salary) yang menghapuskan peluang penghasilan ganda akibat rangkap jabatan.
Keempat, pembentukan Komite Remunerasi Independen di BUMN atau lembaga publik untuk menjaga transparansi dan perbaikan skema pensiun.
Kelima, penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) investigasi konflik kepentingan sesuai standar Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk dijalankan secara konsisten oleh Inspektorat maupun Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN.
Data yang dikumpulkan KPK bersama Ombudsman pada tahun 2020 menunjukkan bahwa dari 397 komisaris BUMN dan 167 komisaris anak perusahaan yang terindikasi merangkap jabatan, hampir setengahnya (49 persen) tidak sesuai dengan kompetensi teknis.
Selain itu, sebanyak 32 persen dari mereka berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, yang menunjukkan lemahnya pengawasan, rendahnya profesionalitas, dan risiko rangkap pendapatan yang mencederai rasa keadilan publik.
(ryn/chri)