Eks Bos BBT Kemenperin Bandung Tersangka Korupsi Alat Uji Masker N95

CNN Indonesia
Kamis, 18 Sep 2025 16:44 WIB
Eks bos balai besar teksil Bandung jadi tersangka kasus alat uji masker N95. (Istockphoto/Alohapatty)
Bandung, CNN Indonesia --

Kepala Balai Besar Tekstil (BBT) Bandung periode 2018-2021 WDH ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi pengadaan alat uji masker N95 di BBT Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Bandung.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus ini menyebabkan kerugian negara nyaris tiga miliar yakni Rp2.872.267.800.

"Tersangka diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam pengelolaan dana siap pakai (DSP) dari BNPB tahun anggaran 2020," kata Dir Reskrimsus Polda Jabar Kombes Pol. Wirdhanto Hadicaksono di Mapolda Jabar, Kamis (18/9).

"Saat ini, tersangka telah dilakukan penahanan, dan berkas perkara akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat untuk tahap selanjutnya," tambahnya.

Polisi mengungkapkan tersangka diduga membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB) pencairan DSP, lalu menandatangani Surat Pertanggungjawaban Mutlak sebagai syarat pencairan.

Selain itu, WDH juga diduga memberikan saran dan pendapat agar pembayaran kegiatan pengadaan alat uji masker N95, termasuk tagihan pajak, dibayarkan sesuai permintaan penyedia PT DAP yang ditandatangani direktur berinisial BS.

"Dana tersebut kemudian digunakan oleh pihak perusahaan untuk kepentingan pribadi," kata Wirdhanto.

Ia mengungkap kasus ini berawal saat penandatanganan perjanjian kerja sama antara BNPB dan Kementerian Perindustrian pada 2 Oktober 2020 dengan nilai bantuan sebesar Rp8.081.590.000.

Namun, pengelolaan dan pencairan dana tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga menyalahi prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dan aturan penggunaan dana siap pakai BNPB.

Atas perbuatannya, tersangka WDH diduga melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, atau Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan/atau Pasal 56 KUHP.

Ancaman hukuman yang menanti berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda hingga Rp1 miliar.

"Dalam penyidikan, penyidik telah memeriksa 18 saksi, 2 ahli, serta menyita berbagai dokumen terkait, termasuk proposal pengadaan, surat keputusan pejabat terkait, hingga akta pendirian perusahaan," tutup Wirdhanto.

(csr/dal)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK