Poin kesepakatan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang meminta penerima manfaat merahasiakan kejadian apabila terjadi keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) diklaim dibuat berdasarkan petunjuk teknis alias juknis lama dari Badan Gizi Nasional (BGN).
Poin kesepakatan ini terungkap setelah surat perjanjian yang dibuat untuk mengikat kerjasama sebuah SPPG di Kalasan, Sleman, DIY dan penerima manfaat MBG beredar.
Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Agung Armawanta menuturkan sejak beredarnya foto surat perjanjian itu akhir pekan lalu pihaknya telah mengonfirmasi langsung kepada perwakilan BGN Sleman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Keterangannya) bahwa SPPG yang membuat kesepakatan itu infonya berdasar petunjuk lama yang Pemkab tidak pernah tahu," kata Agung saat dihubungi, Senin (22/9).
Menurut Agung, saat dirinya mengumpulkan para SPPG di Sleman Juli 2025 lalu, dia menghimpun informasi bagaimana mereka bekerja. Yakni, dengan mencari sasaran penerima manfaat MBG secara mandiri dan mengikat kerjasama lewat surat perjanjian atau kesepakatan.
Langkah mengumpulkan para SPPG ini, klaim Agung, adalah inisiatif Pemkab lantaran merasa pemerintah daerah sama sekali tak diajak berkoordinasi dalam program MBG ini.
"Kemudian yang terakhir ini ada lagi (kesepakatan) yang beda, ini kok ada poin yang tidak sesuai ya ada kerahasiaan apa gitu. Poinnya itu. Sama sekali Pemda itu tidak pernah dilibatkan, kemudian saya kejar BGN ini gimana karena kalau hal-hal yang berkaitan dengan ada masalah pasti banyak yang akan terlibat," paparnya.
Intinya, dia bilang kesepakatan itu akan direvisi menyesuaikan SK Nomor 63/2025 tentang Juknis Banper MBG diteken oleh Kepala BGN tertanggal 1 September 2025.
Sekalipun pihaknya juga tak tahu menahu bunyi petunjuk teknis lama lantaran tidak pernah diajak berkoordinasi sejak awal. Selain itu, perwakilan BGN di Sleman juga baru ditunjuk sebulan lalu.
Dalam salinan templat 'Surat Perjanjian Kerjasama Antara Kepala SPPG dengan Penerima Manfaat' yang Agung bagikan, memang tak ada poin kesepakatan di mana SPPG selaku pihak pertama, meminta pihak kedua atau penerima manfaat untuk merahasiakan bilamana ada kejadian keracunan imbas MBG.
"Apabila terjadi Kejadian Luar Biasa, seperti keracunan, ketidaklengkapan paket makanan, atau kondisi lain yang dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan program ini, maka Pihak Pertama dan Pihak Kedua berkomitmen untuk menyelesaikan secara internal dan menemukan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kedua belah pihak sepakat untuk saling berkomunikasi dan bekerja sama dengan mencari solusi terbaik demi kelangsungan program ini," demikian bunyi poin tersebut.
Prinsipnya, kata Agung, Pemkab Sleman berkomitmen untuk melakukan penyesuaian sehingga program MBG ini terlaksana dengan baik ke depannya.
"Jadi waktu surat dengan sekolah itu kita tidak tahu sama sekali dan ini sedang akan kita tertibkan, supaya nanti ya ke Pemda dulu, Pemda kemudian seperti apa kebijakannya. Nanti sampai ke pendidikan sekolah, yang menyangkut bumil nanti ke Dinkes, sasarannya sama," tegas Agung.
Lebih lanjut, Agung juga mengungkap SPPG di Kalasan pembuat kesepakatan ini sesuai rencana mulai beroperasi Senin (22/9) kemarin, tapi diundur menjadi Oktober 2025 mendatang. Kepala SPPG terkait belum merespons saat dihubungi, sementara situasi dapur MBG sepi aktivitas.
Sebelumnya, sebuah foto surat perjanjian beredar bertuliskan SPPG di Kalasan, Sleman, DIY meminta kesepakatan kepada penerima manfaat merahasiakan kejadian apabila terjadi keracunan imbas MBG.
SPPG tersebut sesuai alamat pada foto beredar berlokasi di Kalasan, Sleman. Dalam surat itu, SPPG selaku pihak pertama dan selaku pihak keduanya adalah penerima manfaat. Surat tertanggal 10 September 2025 itu intinya mengikat kedua belah pihak untuk tujuh poin kesepakatan.
Poin 1 hingga 5 memuat waktu dimulai dan durasi kerja sama, serta mekanisme pelaksanaan MBG, macam ketentuan mengganti atau membayar Rp80 ribu apabila penerima manfaat menghilangkan alat makan seperti ompreng atau food tray.
Sementara pada poin ke-7 menuliskan kesepakatan kedua belah pihak, di mana penerima manfaat berkomitmen menjaga kerahasiaan informasi jika terjadi kasus keracunan karena mengonsumsi MBG dari SPPG.
"Apabila terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti dugaan keracunan, ketidaklengkapan paket makanan, atau masalah serius lainnya, Pihak Kedua berkomitmen untuk menjaga kerahasiaan informasi hingga Pihak Pertama menemukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kedua belah pihak sepakat untuk saling berkomunikasi dan bekerja sama dengan mencari solusi terbaik demi kelangsungan program ini," demikian isi poin tersebut.
Poin sebelumnya juga menuliskan kesepakatan mengenai pengembalian alat dan tempat makan setelah situasi stabil didahului inventarisasi oleh penerima manfaat, apabila terjadi bencana.
![]() |
Bupati Sleman, Harda Kiswaya pada Sabtu (20/9) lalu mengatakan, pihaknya mengaku baru mengetahui adanya surat tersebut, termasuk poin-poin kesepakatan termuat di dalamnya.
Kendati, Harda berpandangan jika semestinya kasus keracunan imbas MBG juga tidak semestinya ditutup-tutupi karena hanya akan membatasi ruang untuk evaluasi program ini. Bagi dia, keterbukaan informasi jauh lebih baik.
"Yo menurut saya nggak baik (dirahasiakan), evaluasi itu kan bisa dari masyarakat, bisa dari organisasinya itu yang dibentuk melalui unit-unitnya. Dan menurut saya kalau dari masyarakat jauh lebih baik, karena murni tanpa tendensi apapun. Ya kita harus mengakui kalau ada kelemahan, harus kita perbaiki," kata Harda, Sabtu (20/9).
Harda juga berpendapat solusi paling baik adalah bagaimana mencegah agar keracunan imbas MBG itu tidak kembali terulang.