Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai reformasi Polri harus dimaknai sebagai tuntutan pembenahan menyeluruh institusi kepolisian, baik pada aspek sistem, kewenangan, struktur, hingga kultur.
Kondisi tersebut menuntut perbaikan yang jelas dan terukur, yang sejalan dengan mandat reformasi yang termaktub dalam TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR No. VII tentang Peran TNI dan Polri, serta Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bukan dengan pembentukan komite saja, koalisi berpendapat sebagai langkah awal dan bagian penting dari reformasi kepolisian, Presiden dan DPR diminta untuk menghentikan upaya pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) KUHAP dan merombak secara serius draf terakhir RUU tersebut (per 13 Juli 2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koalisi menilai ketentuan dalam draf tersebut justru menjadikan kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan semakin superpower dan minim kontrol dalam fungsi penegakan hukum.
Selanjutnya, Presiden dan DPR wajib memastikan revisi KUHAP memuat jaminan mekanisme check and balances oleh pengadilan (judicial scrutiny) sebagai lembaga independen dan imparsial. Termasuk skema habeas corpus untuk setiap orang yang ditangkap dan ditahan setidaknya juga wajib diakomodasi sebagai
ikhtiar menjamin ketidakberulangan (guarantees of non-recurrence) praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM oleh Kepolisian. Koalisi mendesak Komite Reformasi Kepolisian dalam kerjanya nanti menyasar sembilan masalah sistemik Polri.
Sembilan masalah yang dipetakan koalisi terdiri dari absennya sistem akuntabilitas dan pengawasan yang efektif dan independen; sistem pendidikan yang menghasilkan budaya kekerasan-brutalitas, militeristik, tidak adil gender, dan koruptif; tata kelola organisasi yang tidak transparan dan akuntabel; sistem kepegawaian yang meliputi perekrutan, mutasi, promosi yang tidak berbasiskan meritokrasi.
Kemudian tugas dan fungsi Polri yang terlampau luas; penggunaan kekuatan berlebihan, represif, sewenang-wenang dan brutal dalam penanganan aksi demonstrasi; komitmen buruk terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia serta nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, dan inklusivitas.
Selanjutnya kultur tebang pilih (cherry picking), penelantaran perkara (undue delay), dan perilaku koruptif dalam menjalankan fungsi penegakan hukum, serta keterlibatan kepolisian sebagai alat maupun aktor dalam ruang bisnis dan politik (kekuasaan).
"Agenda reformasi kepolisian sudah saatnya dimaksudkan agar mampu meredefinisi jati diri Polri yang sipil (civillian police) dan demokratis dengan mendesain jalan depolitisasi, demiliteritasi, desentralisasi, dan dekorporatisasi kepolisian secara mendasar dan signifikan," tulis koalisi.
"Semua situasi ini disebabkan karena pasca-transisi reformasi 1998, agenda reformasi kepolisian hanya berhenti pada pemisahan Polri dari dwifungsi ABRI, tanpa benar-benar merombak tata kelola, struktur dan kultur institusi Polri," sambungnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Police Investigation & Control (IPIC) Rangga Afianto menyarankan Tim Reformasi Kepolisian jangan hanya didominasi oleh perwira aktif dan purnawirawan. Pasalnya hal itu berpotensi terjadinya bias kepentingan yang sangat besar.
"Jika dibiarkan hanya menjadi forum internal, reformasi kepolisian tidak lebih dari sekadar kosmetik politik yang berumur pendek. Publik berhak menuntut lebih. Reformasi Polri adalah kepentingan bersama bangsa, bukan monopoli segelintir orang di internal kepolisian," kata Rangga kepada CNNIndonesia.com.
Rangga mengatakan bicara masa depan Polri, tentu tidak bisa hanya dilakukan oleh Polri sendiri. Butuh masukan luas dari berbagai pemangku kepentingan yang independen, netral, dan berani mengoreksi. Atas dasar itu, Rangga berharap komposisinya harus berlandaskan prinsip keterwakilan yang komprehensif.
Berkaca dari teori keterwakilan unsur kehidupan sosial kemasyarakatan, terdapat suatu teori yang disebut Pentahelix dimana terdapat penggabungan antara berbagai unsur sosial kemasyarakatan yang dianggap dapat mampu menjadi representasi dari nilai keterwakilan itu sendiri, demi menciptakan konseptual evaluasi yang tepat sasaran.
Dalam Pentahelix ini, menurut Rangga, transformasi besar dalam konteks reformasi hanya bisa berjalan efektif apabila melibatkan lima unsur utama:
Pertama, dari kalangan akademisi yang bisa memberikan analisis kritis berbasis riset ilmiah serta teori hukum dan ilmu kepolisian yang multidisipliner dari berbagai sudut pandang keilmuan.
Kedua, dari pakar Kepolisian yang bisa menghadirkan pengalaman teknis dan operasional dalam memahami dinamika internal, serta kebutuhan Polri. Ketiga, dari Media Massa yang dapat menjamin keterbukaan informasi, mendorong transparansi, dan menjadi penghubung dengan public dengan arus digitalisasinya saat ini.
Keempat dari pelaku Usaha yang bisa menyuarakan kebutuhan dunia usaha terkait kepastian hukum dan perlindungan bisnis dari bergeraknya roda perekonomian masyarakat.
Kelima dari, tokoh Masyarakat dan Keagamaan yang dapat menjadi representasi moral dan sosial, sekaligus jembatan kepolisian dengan masyarakat akar rumput yang berbasis pada nilai-nilai dasar kebhinekaan dan kebangsaan.
Menurut Rangga, tim Reformasi Kepolisian adalah harapan besar sekaligus ujian penting. Jika dibentuk dengan komposisi yang tepat, tim ini bisa menjadi lokomotif perubahan menuju kepolisian yang lebih profesional, humanis, dan dipercaya.
"Jika tim yang dibentuk hanya sekadar formalitas dan berisi orang-orang lama, maka hasilnya bisa ditebak: status quo akan tetap bertahan, sementara kepercayaan publik semakin merosot. Reformasi sejati membutuhkan keberanian untuk keluar dari zona nyaman," kata Rangga.
Selain Komite Reformasi Kepolisian yang hendak dibentuk Prabowo, Polri di saat bersamaan juga sudah membentuk tim reformasi yang di dalamnya bertabur bintang. Tim Reformasi Polri sepenuhnya terdiri dari perwira tinggi dan menengah di lingkungan Polri. Tidak ada pelibatan unsur independen dari luar institusi.
Ikhsan Yosarie dari SETARA Institute memandang tim reformasi dari internal tersebut tetap perlu sebagai bentuk komitmen maupun kemauan politik dari pimpinan Polri.
Menurut data penelitian SETARA (2024), tutur Ikhsan, selama ini Polri sebenarnya sudah punya dokumen internal berupa Roadmap Transformasi Polri. Namun, selama ini pula memang ada jarak dalam implementasinya, seperti kapasitas aparat di lapangan, minimnya evaluasi hingga mengarah kepada impunitas aparat yang melanggar.
"Sehingga banyak hal baik dalam dokumen itu yang belum jalan," ucap Ikhsan.
Sementara itu, peneliti bidang kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berpendapat sebaliknya. Dia menganalogikan Tim Reformasi Polri seperti seorang dokter yang harus melakukan operasi terhadap dirinya sendiri.
"Analoginya tidak mungkin dokter melakukan operasi dirinya sendiri. Ada kendala subjektivitas dan bias kepentingan di internal. Belum lagi resistensi dari kelompok pro status quo. Apakah mungkin tim internal tersebut memetakan penyakitnya sendiri?" kata Bambang saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis.
Menurut Bambang, ada potensi tumpang tindih dari kedua tim yang dibentuk sama-sama untuk mereformasi kepolisian. Dia mengatakan seharusnya Polri memberikan dukungan penuh terhadap pembentukan Komite Reformasi Kepolisian oleh presiden.
"Agar [potensi masalah] itu tidak semakin besar dan terkesan membuat tim tandingan, memang Polri sebagai lembaga pelaksana dari UU maupun kebijakan pemerintah sebaiknya mendukung tim reformasi Polri yang dibentuk presiden," kata Bambang.
"Risikonya bila tim transformasi dan reformasi Polri ini tidak tepat dan sesuai harapan masyarakat, malah akan blunder bahkan tambahan memperkuat alasan Presiden untuk mempercepat pergantian Kapolri," pungkasnya.
Lihat Juga : |