Puncak Gunung Es Keracunan MBG, Saatnya Evaluasi Menyeluruh
Pemerintah diminta untuk menghentikan sementara serta melakukan evaluasi secara menyeluruh program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mengakibatkan banyak kasus siswa keracunan di pelbagai daerah dalam beberapa waktu terakhir.
Kasus keracunan MBG paling parah terjadi di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas, Bandung, Jawa Barat. Data Dinas Kesehatan Jawa Barat mencatat setidaknya ada 842 siswa yang menjadi korban keracunan akibat MBG, pada Senin (22/9) dan Selasa (23/9) kemarin.
Sementara itu, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menilai kejadian keracunan massal yang ada di Jawa Barat dikarenakan adanya keteledoran dari pihak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Usai meninjau SPPG penyedia MBG yang menyebabkan keracunan, Dadan menilai hal itu terjadi karena masih baru dan belum mampu menghidangkan makanan dengan jumlah yang besar.
"Kondisinya sebenarnya bagus, hanya mungkin ada keteledoran," ujarnya saat mengunjungi para siswa korban keracunan, Selasa (23/9).
Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai kasus keracunan akibat MBG di beberapa waktu terakhir hanyalah puncak gunung es semata.
CEO CISDI Diah Saminarsih menyebut tidak menutup kemungkinan jumlah kasus asli keracunan MBG jauh lebih banyak karena tidak tersedianya dasbor pelaporan publik.
"Pangkal persoalan program makan bergizi gratis adalah ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/9).
Diah mengatakan demi mencapai target yang sangat masif itu akhirnya program MBG dilaksanakan secara terburu-buru. Sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik.
Ia menyebut berdasarkan catatan CISDI, sejak diluncurkan pada 6 Januari 2025 hingga 19 September, setidaknya program MBG telah menyebabkan 5.626 kasus keracunan makanan di 17 provinsi.
Kondisi ini, kata dia, juga terjadi ketika serapan anggaran program MBG baru sebesar Rp13,2 triliun per September 2025 atau 18,6 persen dari alokasi APBN sebesar Rp71 triliun.
"Kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita kembali menjadi korban keracunan akibat program yang dijalankan tanpa perhitungan matang. Apalagi, Presiden Prabowo telah menambah anggaran MBG tahun depan hingga Rp335 triliun di RAPBN 2026," jelasnya.
Sedot anggaran pendidikan
Kritik terkait banyaknya kasus keracunan MBG ditengah anggaran yang jumbo juga disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji.
Alih-alih melakukan evaluasi, kata dia, pemerintah justru tetap menambah anggaran MBG dengan mengambil jatah pos pendidikan sebesar Rp223 triliun. Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah dan DPR sebagai bentuk pengkhianatan terhadap UUD 1945 serta memporak-porandakan sektor pendidikan nasional.
Ubaid mengatakan setelah dipangkas Rp223 triliun untuk program MBG, anggaran pendidikan di RAPBN 2026 hanya tersisa 14 persen atau di bawah amanat konstitusi sebesar 20 persen. Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 yang mengamatkan minimal 20 persen APBN untuk sektor pendidikan.
"Anggaran pendidikan ini seharusnya digunakan murni untuk kebutuhan dasar Pendidikan pendidikan, bukan dialihkan untuk program 'makan-makan'," tegasnya.
Ia lantas mengingatkan janji pemerintah terkait kenaikan anggaran pendidikan menjadi Rp757,8 triliun. Menurutnya janji kenaikan itu hanyalah bualan semata karena justru dialihkan untuk MBG.
"Karena ratusan triliun tersedot untuk program MBG, bukan untuk menjamin dan melindungi hak anak atas Pendidikan," ujarnya.
Moraturium untuk evaluasi
Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy, Cusdiawan menilai dengan banyaknya masalah yang terjadi sebaiknya pemerintah melakukan moratorium atau pemberhentian sementara program MBG.
Menurutnya hal itu penting untuk evaluasi menyeluruh agar tidak ada lagi kasus keracunan akibat MBG di masa yang akan datang. Ia mengingatkan jangan sampai evaluasi dilakukan setelah terlambat atau ketika muncul korban jiwa akibat pelaksanaan MBG.
"Yang sangat mengkhawatirkan yakni semakin banyaknya anak yang mengalami keracunan yang bahkan jumlah di lapangan bisa saja jauh lebih banyak dari yang diberitakan," ujarnya.
Ia mengatakan saat ini progam MBG yang diharapkan dapat menjawab masalah gizi rendah pada anak justru menimbulkan kekhawatiran baru bagi para orang tua maupun guru.
Kondisi ini, kata dia, disebabkan perencanaan program MBG yang tidak dilakukan secara matang dan terukur. Cusdiawan juga menyoroti pengawasan dan standardisasi makanan yang masih jauh dari kata maksimal.
"Suatu kebijakan publik, harusnya mampu menjawab permasalahan dan menumbuhkan harapan, dan bukannya menghadirkan permasalahan baru dan kecemasan," tuturnya.
"Evaluasi secara menyeluruh mutlak harus dilakukan. Bahkan jika tidak ada jaminan keselamatan dan tata kelolanya tidak ada perbaikan, lebih baik program itu dihentikan untuk sementara waktu," imbuhnya.
Sementara itu, Diah mengatakan moratorium diperlukan agar evaluasi dapat berjalan efektif. Pasalnya, kata dia, selama ini pemerintah selalu berdalih melakukan evaluasi sembari berjalan namun kasus keracunan terus berulang dan bertambah.
Ia khawatir apabila pemerintah bersikukuh menjalankan MBG tanpa evaluasi total, kasus keracunan akan terus terjadi dan mengancam kesehatan anak-anak. Padahal upaya pemerintah untuk memulihkan hak anak yang menjadi korban keracunan masih belum jelas.
"Meski dirancang untuk meningkatkan status gizi penerima manfaat, namun MBG sejak awal tidak dipersiapkan secara matang dari aspek regulasi, keamanan pangan dan kecukupan nutrisi hingga monitoring dan evaluasi," tuturnya.
Diah juga menyoroti masih belum adanya Perpres sebagai payung hukum dan peraturan lainnya selama delapan bulan pelaksanaan MBG oleh BGN. Dampaknya, kata dia, tata kelola dari koordinasi antar-kementerian atau lembaga, hubungan pusat-daerah hingga pengaturan kerja sama multipihak menjadi tidak jelas.
Selain tidak adanya payung hukum dan panduan teknis, ia menyebut minimnya sistem pengawasan juga memicu berbagai macam persoalan di lapangan. Tak hanya kasus makanan tidak layak atau higienis, menu MBG di banyak sekolah juga diwarnai produk pangan ultra-proses (ultra-processed food) dan susu berperisa tinggi gula.
"Masuknya pangan ultra-proses yang tinggi gula, garam, dan lemak dalam jangka panjang dapat memicu berat badan berlebih dan obesitas pada anak dan remaja. Efeknya justru kontraproduktif dengan tujuan awal MBG yaitu memperbaiki status gizi anak Indonesia," jelasnya.
Oleh karenanya, ia mendorong agar pemerintah dapat menjamin pemenuhan hak penerima manfaat untuk memperoleh makan bergizi yang aman dan berkualitas.
Dengan cara membuat mekanisme standar keamanan pangan dan pemenuhan gizi, pelaporan dan akuntabilitas. Serta pemulihan hak korban atas kerugian akibat kasus keracunan dan makanan yang tidak layak.
"Serta perbaikan tata kelola MBG yang mengedepankan prinsip akuntabilitas sosial, transparansi, dan pelibatan bermakna masyarakat sipil pada setiap tahapan program MBG," pungkasnya.
MBG tetap jalan
Di sisi lain, Wakil Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro menyebut program MBG akan tetap berjalan. Hal itu disampaikan merespons pertanyaan penghentian sementara hingga mengevaluasi total MBG.
"Tentu ini akan menjadi masukan yang baik buat pemerintah, tapi sampai hari ini MBG akan tetap jalan dan masalah-masalah yang terjadi segera akan diatasi, dievaluasi, dicari jalan keluar," jelasnya kepada wartawan.
Ia mengakui ada banyak aspirasi dari masyarakat terkait MBG mulai dari meminta evaluasi total program, pemberhentian sementara, hingga program tetap berjalan sembari perbaikan.
Juri menyebut MBG merupakan program yang dibutuhkan oleh anak-anak Indonesia. Ia pun mengatakan pemerintah akan segera mengambil langkah-langkah cepat untuk mengatasi permasalahan tersebut.
"Pasti akan kita cari jalan keluar untuk mengatasi kejadian yang tidak diharapkan itu," ucapnya.
(tfq/gil)