Koalisi Kawal MBG meminta program makan bergizi gratis dihentikan untuk kemudian dievaluasi total, menyusul maraknya kasus keracunan yang menimpa para penerima manfaat.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyampaikan sejumlah catatan jika pemerintah masih memaksakan diri untuk melanjutkan program ini.
Pertama, Ubaid mengkritik penggunaan dana pendidikan untuk mendanai MBG. RAPBN 2026 menempatkan MBG sebagai salah satu prioritas terbesar, dengan anggaran mencapai Rp335 triliun. Di mana Rp223 triliun diambil dari pos pendidikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau pakai anggaran pendidikan gimana? Sekolah-sekolah rusak, guru tidak sejahtera, enggak berkualitas, anak-anak enggak bisa sekolah, gitu. Masa dikasih makan tapi enggak sekolah," kata Ubaid kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/9).
Kedua, Ubaid menyatakan bahwa program tersebut haruslah sesuai sasaran. Ia berpendapat pemerintah harus bisa menentukan daerah mana yang jadi prioritas program.
Ia mencontohkan misalnya program ini tak begitu perlu dilakukan di kota-kota besar dengan angka keterpenuhan gizi yang sudah baik.
"Di Jakarta, berangkat sekolah naik mobil dikasih MBG ya dibuang," ucap dia.
Ketiga, Ubaid juga menekankan bahwa pemerintah jangan cenderung 'target oriented' dengan menarget penerima manfaat sebanyak-banyaknya, namun di sisi lain melupakan aspek kualitas program.
"Masa tujuannya gizi, gizinya enggak ada, malah banyak keracunan gitu," ucapnya.
Keempat, pemerintah harus menyediakan banyak alternatif dalam penyediaan makanan bagi penerima manfaat, tidak terpaku pada SPPG belaka.
Ia menyatakan pemerintah harus mempertimbangkan untuk melibatkan kantin hingga komite sekolah dalam penyediaan makanan.
"Kalau di sana tidak memungkinkan yang bisa handle posyandu ya, handle sama posyandu gitu," ujar dia.
Kelima, pemerintah juga diminta menghentikan pemberian makanan yang kurang bergizi.
Ia menyoroti masih banyaknya makanan yang mengandung gula berlebih, hingga penyediaan ultra processed food.
Keenam, Ubaid juga menekankan pentingnya pemerintah untuk memetakan penerima manfaat dari segi usia.
Ia berpendapat peserta didik di tingkat KB, TK, hingga SD seharusnya menjadi prioritas pemerintah, bukan justru bagi murid SMP dan SMA.
"Sudah SMA, sudah tua, ke sekolah naik mobil, ngasih MBG itu kan buang-buang duit. Mending anak-anak yang di sekolah dasar, di TK, KB, SD itu harus didahulukan itu, yang SMP, SMA ya entar dulu lah," katanya.
Ketujuh, pemerintah harus meningkatkan transparansi pelaksanaan program. Ia berpendapat carut marut MBG ini karena mulai dari perencanaan hingga evaluasi sistem dilakukan secara tertutup.
"Sistemnya tidak akuntabel, pengelolaannya tidak transparan, orang-orang yang terlibat tidak kredibel. Jadi rusak semua sistemnya," ucap dia.
Selain itu, ia menekankan bahwa program ini sarat akan konflik kepentingan yang justru membuat pelaksanaannya kian runyam.
"Bagaimana mulai dari perencanaan, penunjukan dapur, itu yang terbuka. Jangan tiba-tiba TNI ambil jatah berapa dapur, polisi ambil jatah berapa dapur, parpol, DPR gitu kan. Itu main-main ini," ujarnya.
Terakhir, Ubaid juga meminta Badan Gizi Nasional untuk berbenah. Ia mengatakan jika dilanjutkan, maka BGN harus diisi oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya.
"Masa BGN isinya TNI sama polisi, apa hubungannya TNI sama polisi sama makanan? enggak ada hubungannya," kata dia.
"Jadi ya yang relevan lah orang-orang karena di sekolah misalnya ya Kementerian Pendidikan, karena ini urusan kesehatan ya Kementerian Kesehatan gitu," imbuhnya.
(mnf/isn)