Koalisi Sipil Jelang HUT TNI: Akhiri Multifungsi & Impunitas

CNN Indonesia
Minggu, 05 Okt 2025 05:05 WIB
Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta peringatan HUT ke-80 TNI jadi momentum melakukan refleksi kritis terhadap arah TNI pascareformasi. (ANTARA FOTO/FAUZAN).
Jakarta, CNN Indonesia --

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta peringatan HUT ke-80 TNI yang jatuh pada 5 Oktober besok dijadikan momentum untuk melakukan refleksi kritis terhadap arah TNI pascareformasi.

Lebih dari dua dekade sejak Reformasi 1998, koalisi bilang publik berharap TNI bertransformasi menjadi kekuatan pertahanan yang profesional, tunduk pada supremasi sipil, dan terbebas dari praktik kekerasan terhadap warga sipil.

"Kenyataannya, harapan itu masih jauh dari kenyataan," ujar Koordinator Program Hak Asasi Manusia Annisa Yudha mewakili koalisi dalam konferensi pers di Kantor Imparsial, Jakarta, Sabtu (4/10).

Koalisi mengatakan hingga hari ini pelbagai praktik multifungsi TNI masih berlangsung dan terus meluas ke ranah sipil.

Praktik terjadi mulai dari penempatan prajurit aktif TNI di lembaga sipil, keterlibatan dalam urusan keamanan dalam negeri, hingga mengurus sektor-sektor nonpertahanan.

Praktik tersebut katanya, bertentangan dengan semangat reformasi dan agenda demokratisasi di Indonesia. Multifungsi TNI tidak hanya merusak tata kelola pemerintahan sipil, tetapi juga bersifat destruktif bagi profesionalisme TNI itu sendiri.

Selain itu, multifungsi TNI membuka ruang penyalahgunaan kewenangan yang berkaitan langsung dengan tindakan represif terhadap masyarakat.

Memperingati HUT TNI, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menegaskan kembali bahwa institusi militer harus ditempatkan sesuai mandat konstitusionalnya, yakni sebagai alat pertahanan negara," kata Annisa.

Koalisi memandang kasus-kasus kekerasan dan tindak pidana yang melibatkan oknum TNI terus berulang, namun penyelesaiannya masih diproses melalui peradilan militer. Dalam catatan koalisi sejak Januari 2025 hingga September 2025, berulang kali prajurit TNI terlibat dalam tindak pidana umum yang meresahkan dan mencederai rasa aman masyarakat.

Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan di antaranya adalah penembakan bos rental mobil di Tangerang yang terjadi pada bulan Januari, penyerangan terhadap Polres Tarakan Bulan Februari, penembakan warga sipil di Aceh dan Lampung juga pembunuhan jurnalis perempuan di Banjarbaru yang terjadi pada bulan Maret, serta penculikan dan pembunuhan Kepala Cabang Bank BRI di Jakarta pada Agustus lalu.

"Ironisnya, kekerasan juga menimpa sesama prajurit TNI, seperti dalam kasus kematian Prada Lucky di Nusa Tenggara Timur yang meninggal akibat penganiayaan oleh seniornya," tutur Annisa.

Pola yang berulang itu disebut menunjukkan persoalan kekerasan di tubuh TNI bukan sekadar tindakan individual, melainkan masalah struktural dan kultural yang tak kunjung dibenahi.

Penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang melibatkan prajurit TNI menjauhi rasa keadilan.

Sistem peradilan militer yang berlaku hingga hari ini dikatakan terbukti masih menjadi celah kosong yang menciptakan ruang impunitas. Persidangan yang berlangsung tertutup dan tidak memenuhi prinsip-prinsp peradilan yang adil serta didominasi oleh militer sulit untk mendapatkan keadilan apalagi kalau korbannya adalah warga sipil.

Dalam praktiknya, peradilan militer menjadi sarang impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana.

"Kasus penembakan anak MAF di Serdang Bedagai dengan vonis hanya dua tahun enam bulan penjara adalah bukti nyata bahwa peradilan militer lebih mengutamakan perlindungan terhadap institusi dibandingkan pemenuhan hak korban," ungkap Annisa.

Pola serupa juga muncul dalam kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Papua dengan vonis terberat pada pelaku hanya 1 tahun penjara, penyiksaan terhadap Jusni di Sulawesi dengan vonis paling lama 1 tahun 2 bulan penjara, maupun penyerangan terhadap warga Deli Serdang yang pelakunya hanya divonis paling berat 9 bulan penjara.

"Semuanya berakhir dengan vonis ringan, dan tidak menyentuh rasa keadilan bagi para korban," tambah Annisa.

"Lebih dari itu, keadilan untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diproses melalui sistem peradilan militer juga sulit didapat dan diraih karena sistem peradilan militer yang tertutup dan masih abai terhadap prinsip keadilan gender," sambungnya.

Masalah tersebut semakin diperparah dengan belum direvisinya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Padahal, TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU TNI telah mengamanatkan bahwa prajurit TNI diadili melalui peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum.

"Fakta bahwa aturan ini terus diabaikan semakin memperkuat persepsi bahwa anggota TNI kebal hukum. Selama hakim, jaksa, dan terdakwa sama-sama berasal dari institusi militer, impunitas kian menguat dan amat mustahil mengharapkan terwujudnya peradilan yang adil dan setara," imbuhnya.

Di tengah deret kekerasan, terang Annisa, pemerintah dan TNI justru mengarahkan kebijakan yang kontraproduktif terhadap agenda reformasi.

Penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil, seperti pengangkatan Sekretaris Kabinet dan Direktur Utama Bulog, perpanjangan usia pensiun perwira bintang dalam UU TNI yang baru, serta pembentukan enam kodam baru, merupakan langkah-langkah yang mengembalikan TNI tidak hanya pada praktik dwifungsi, namun multifungsi peran militer ke dalam ranah sipil.

"Semua kebijakan ini bukan hanya melanggar hukum yang berlaku, tetapi juga mengancam supremasi sipil dan membahayakan demokrasi," tegas Annisa.

Koalisi berpendapat ancaman terhadap demokrasi dan negara hukum juga datang dari RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Hal ini terlihat dari diakomodasinya TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d.

Annisa bilang rumusan dimaksud sangat jelas bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, tidak memiliki tugas dan fungsi sebagai penegak hukum.

"Perumusan Pasal ini kian menunjukkan semakin besarnya intervensi militer dalam kehidupan sipil, yang kian menciderai prinsip supremasi sipil dalam sistem hukum negara demokratis, di mana proses penegakan hukum pidana merupakan ranah kekuasaan sipil, bukan militer," kata Annisa.

Berdasarkan pemaparan tersebut, koalisi menuntut sejumlah hal sebagai berikut.

1. Penghentian total praktik multifungsi TNI dalam urusan sipil, sesuai amanat reformasi dan prinsip supremasi sipil.
2. Revisi UU Peradilan Militer untuk memastikan seluruh prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diproses melalui peradilan umum.
3. Pemerintah dan DPR RI untuk menegaskan kembali agenda reformasi sektor keamanan dalam kebijakan dan praktik, bukan sekadar seremoni.
4. Panglima TNI untuk mengembalikan institusi militer ke tugas utamanya menjaga pertahanan negara, bukan mengurus hal-hal di luar mandat konstitusional.

"Tidak akan ada demokrasi tanpa supremasi sipil. Tidak akan ada keadilan tanpa akuntabilitas militer," pungkas Annisa.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, ICW, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, SETARA Institute, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang.

Kemudian Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure, Raksha Initiative, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).

(ryn/agt)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK