Santri Pendiam Itu Berpulang dalam Ibadah Panjangnya di Al Khoziny
Malam itu, langit di Buduran, Sidoarjo terasa lebih gelap dan kelam. Di antara reruntuhan gedung Pondok Pesantren Al Khoziny, seorang ayah bernama Muhammad Siyam (40) berdiri dengan wajah lelah dan mata yang nyaris tak bisa menahan air mata.
Sembilan hari lamanya Siyam mencari putranya, Farhan (17), santri kelas dua madrasah aliyah, yang menjadi salah satu korban ambruknya gedung pondok pesantren itu.
Total sembilan hari ia terjaga di Posko SAR Gabungan, dari pagi hingga malam menanti kabar, hanya dengan satu harapan menemukan anaknya. Apapun keadaannya.
"Saya ke lokasi mencari Farhan. Sempat ke runtuhan. Tanya ke teman-temannya, Farhan mana? Enggak ada," kata Siyam saat ditemui di rumahnya, di bilangan Kutisari, Surabaya, Kamis (9/10).
Tak hanya Siyam, sejumlah keluarga besarnya juga terus mencari keberadaan Farhan. Ke sejumlah rumah sakit di Sidoarjo. Namun hasilnya masih nihil.
Farhan akhirnya ditemukan pada Selasa (7/10) malam, setelah sembilan hari pencarian. Saat itu, jenazahnya teridentifikasi di RS Bhayangkara. Bagi keluarga, penantian panjang itu berakhir dengan kepedihan
"Senin (29/10) malam Magrib saya ke sana. Sampai ketemu Selasa. Jadi sembilan hari saya mencari," kata Siyam.
Bagi keluarga besarnya, Farhan bukan hanya anak pendiam. Ia dikenal santun, taat beribadah, dan tekun belajar agama. Sejak lulus SD, ia memilih mondok di Al Khoziny, pesantren yang telah menjadi rumah keduanya selama lima tahun terakhir.
Sepupunya, Khoiru Ummah (29), mengenang perubahan besar pada diri Farhan sejak ia menjadi santri.
"Setelah mondok ini ya banyak perubahan jadi lebih santun gitu. Dulu pasti [ada] kenakalan anak kecil, tapi setelah mondok jauh lebih santun. Mengamalkan apa yang diajarkan di pondok," ujarnya.
Farhan dikenal jarang bicara, namun perilakunya mencerminkan kedewasaan yang tumbuh lebih cepat dari usianya. Ia sering terlihat ke musala untuk salat berjamaah saat pulang ke rumah, terutama ketika ia berlibur pada peringatan Maulid Nabi, sekitar sepuluh hari sebelum tragedi terjadi.
"Kalau di rumah sering tahunya ya ke musala, salat jamaah bareng. Enggak pernah bolong," tutur Khoiru Ummah.
Pertemuan terakhir antara Khoiru dan Farhan terjadi secara singkat, di jalan, saat keduanya sedang menuju acara pengajian. Sebuah momen singkat, tapi kini menjadi kenangan yang terus melekat.
"Waktu itu Maulid Nabi. Dia mau ke pengajian, pakai seragam kemeja sama peci. Saya panggil aja karena dia naik motor, saya juga naik motor," katanya pelan.
Di mata keluarganya, Farhan adalah sosok yang sederhana dan tak banyak menuntut. Ia tak pernah bercerita tentang cita-citanya, tapi pernah berpesan agar adiknya, yang kini masih kelas tiga SD, disekolahkan di sekolah Islam agar kelak lebih mudah menyesuaikan diri jika ingin mondok.
"Dia dulu bilang ke orang tuanya, 'Kalau bisa adik jangan sekolah di sekolah dasar negeri biar nanti kalau mondok gampang jalannya'," kata Ummah meniru Farhan.
Pesan sederhana itu kini menjadi warisan kecil yang membekas di hati keluarga. Dan hal itu akan mereka lanjutkan.
Bagi keluarga, kehilangan ini berat. Namun mereka memilih untuk menerima. Tidak ada amarah, hanya doa dan keyakinan bahwa kejadian yang menimpa Farhan, semua telah digariskan.
"Yang pasti kami sudah lega menemukan keluarga kami. Itu fokusnya kita itu aja," ucap Ummah.
Farhan dimakamkan di Bangkalan, di tanah kelahiran ayahnya. Mereka mengantar kepulangan anak pertama dari dua bersaudara itu dengan hati yang nyaris runtuh, tapi pasrah. Karena mereka percaya, Farhan pulang dalam keadaan terbaik.
"Kami yakin Farhan meninggal di waktu yang baik, saat sedang salat di pondok, tempat dia menuntut ilmu," tutup Ummah.
Gedung tiga lantai termasuk musala di asrama putra Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran itu ambruk, Senin (29/9) pekan lalu.
Saat kejadian, Farhan bersama ratusan santri lainnya tengah melaksanakan Salat Asar berjemaah di gedung yang masih dalam tahap pembangunan tersebut.
Hingga akhir pencarian, Selasa (7/10), Basarnas mencatat total korban mencapai 171 orang. Terdiri dari 104 selamat, 67 meninggal dunia, termasuk 8 body part atau bagian tubuh.
Rabu (8/10) kemarin, tim Disaster Victim Identification (DVI) Biddokkes Polda Jatim juga telah berhasil mengidentifikasi 40 jenazah korban tragedi Ponpes Al Khoziny.
(frd/gil)