Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan masyarakat adat tidak memerlukan perizinan berusaha dari pemerintah pusat jika ingin berkebun di kawasan hutan, asal tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
MK menyatakan larangan setiap orang melakukan kegiatan perkebunan di kawasan hutan tanpa izin usaha dikecualikan bagi masyarakat yang hidup turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 181/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (16/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan itu disampaikan menjawab permohonan uji materi terkait UU Ciptaker yang dimohonkan Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch).
Mengutip dari laman MK, lembaga yang berdiri sejak 1998 yang salah satu kegiatannya melakukan kajian terhadap kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam khususnya sawit dan dampaknya terhadap ekologi, sosial, dan ekonomi.
Pemohon yang diwakili Koordinator Badan Pengurus Perkumpulan Pemantau Sawit Nurhanudin Achmad melihat sanksi administratif dan denda administratif di bidang kehutanan yang diatur UU 18/2013 bukanlah sebuah solusi yang benar, karena hanya akan menjadi sebagai upaya pengampunan atau pemutihan bagi perkebunan-perkebunan sawit perusahaan besar di dalam kawasan hutan.
Menurut Pemohon, seharusnya pemerintah bertindak persuasif terhadap orang perorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan yang belum terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan dengan melakukan kebijakan penataan kawasan hutan in casu melakukan pendaftaran orang perorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang belum terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan di dalam kebijakan penataan kawasan hutan.
Dalam putusan itu, MK memberi pemaknaan baru terhadap Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan Pasal 110B ayat (1) dalam Pasal 37 angka 20 Lampiran UU Cipta Kerja.
MK menyatakan kedua pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai "dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial."
Adapun Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU Cipta Kerja semula mengatur "setiap orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat."
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, saat membacakan pertimbangan hukum, menjelaskan, Pasal 17 ayat (2) huruf b yang menjadi bagian dari norma primer dari norma Pasal 110B memiliki keterkaitan dengan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014.
Dalam putusan dimaksud, Mahkamah sejatinya telah memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang hidup turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
"Melalui putusan a quo (ini) Mahkamah perlu untuk menyesuaikan semangat yang terkandung dalam norma Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU 6/2023 dengan Putusan Mahkamah tersebut," kata Enny seperti dikutip dari Antara.
Dengan demikian, Pasal 17 ayat (2) huruf b yang berisi larangan kepada setiap orang berkebun di kawasan hutan tanpa izin usaha tidak dapat diberlakukan pada masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam kawasan hutan, asal bukan untuk kepentingan komersial.
Oleh sebab itu pula, sanksi administrasi terhadap pelanggaran atas Pasal 17 ayat (2) huruf b yang termaktub dalam Pasal 110B ayat (1) juga dikecualikan demikian.
Enny menjelaskan, kepentingan komersial yang dimaksud Mahkamah adalah kegiatan perkebunan masyarakat dalam hutan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak untuk diperdagangkan dengan mendapatkan keuntungan.
"Dengan kata lain, masyarakat yang hidup turun-temurun dalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan dan papan untuk kebutuhan sehari-hari tidak dapat dikenakan sanksi sebagaimana ketentuan dalam norma Pasal 110B ayat (1) dalam Pasal 37 angka 20 Lampiran UU 6/2023," ujarnya.