Hakim Tipikor Jakarta Menangis Adili Kasus Suap Hakim Djuyamto dkk

CNN Indonesia
Rabu, 22 Okt 2025 20:40 WIB
Hakim nonaktif Djuyamto (tengah) saat ini menjadi terdakwa dugaan suap untuk perkara CPO. (ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY)
Jakarta, CNN Indonesia --

Hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Effendi, terlihat menangis saat memimpin sidang yang mengadili hakim nonaktif Djuyamto dan kawan-kawan dalam kasus dugaan suap berkaitan dengan pengurusan perkara korporasi ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).

Effendi yang menjadi ketua majelis hakim dalam perkara itu mengaku kasus yang menyeret hakim nonaktif Djuyamto dkk itu menjadi persidangan yang berat untuk dirinya.

Pasalnya, kata dia, harus mengadili koleganya sesama hakim. Bukan hanya itu, Effendi pun mengaku punya hubungan pertemanan dengan beberapa terdakwa di depan meja hijau tersebut.

"Selama saya jadi hakim, inilah persidangan yang berat buat saya," kata hakim Effendi di ruang sidang Hatta Ali Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (22/10) sore.

Effendi mengatakan mengenal baik terdakwa Muhammad Arif Nuryanta selaku mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

Katanya, dia dan Arif pernah sama-sama dinas di Provinsi Riau. Ketika itu Effendi sebagai Ketua PN Dumai, sedangkan Arif sebagai Ketua PN Pekanbaru.

Selain itu, Effendi mengaku sama-sama merintis karier hakim bersama terdakwa dan pernah mengikuti pendidikan kilat (diklat) berbarengan pula.

"Kita sama-sama merintis karier sebagai hakim. Tahun 1996 SK kita sebagai cakim, 1999 kita masuk diklat di Cinere, Gandul, sekarang menjadi pusdik. Kita masih di bawah Departemen Kehakiman pada waktu itu. Kita sama-sama dua minggu di marinir, pendidikan dasar kemiliteran, jalan kaki dari Sawangan ke Cilandak, berenang. Kalau pandai berenang tetap harus dibenamkan oleh marinir di Ancol," tutur hakim Effendi.

"Dan hari ini, bukan hari ini ya, di persidangan ini kita ketemu. Jujur, suasana yang sebetulnya tidak saya inginkan, dan jujur secara manusia biasa, saya emosional terhadap persidangan ini," sambungnya seraya menangis.

Sementara terhadap terdakwa lain seperti hakim nonaktif Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, Ali Muhtarom, dan Wahyu Gunawan, Effendi hanya tidak percaya harus bertemu pada saat rekan seprofesinya menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi.

"Jadi, jujur, inilah beban perkara yang paling berat yang pernah saya alami, saya menyidangkan teman-teman saya," kata dia.

"Kenapa ini kok bisa terjadi?" lanjutnya menyatakan ketidakpercayaan atas siapa yang ada di depan meja hijau.

Djuyamto dkk yang duduk di kursi terdakwa lantas memberi alasan menerima uang dari pengacara korporasi yang kasusnya sedang diadili.

Dalam keterangannya, seluruh terdakwa pada pokoknya mengakui kesalahan tersebut, dan akan bertanggung jawab atas hal itu.

"Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa, saya lah yang menghancurkan... ," tutur Djuyamto lalu mengambil jeda meneruskan kalimat karena menahan tangis.

"Mohon izin Yang Mulia, saya lah yang menghancurkan karier saya sendiri, saya tidak menyalahkan siapa-siapa, saya bertanggungjawab atas semua kesalahan yang saya lakukan, dan saya siap menjalani hukuman," sambungnya.

Djuyamto dan empat terdakwa lain akan menghadapi sidang tuntutan pidana pada Rabu pekan depan.

Latar belakang kasus

Sebelumnya, majelis hakim yang menjatuhkan putusan lepas terhadap terdakwa korporasi PT Permata Hijau Group, PT Wilmar Group dan PT Musim Mas Group dalam kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah atau CPO dan turunannya periode Januari-April 2022 didakwa menerima suap senilai Rp21,9 miliar.

Mereka adalah Djuyamto selaku ketua majelis, serta dua hakim anggota yakni Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom.

Total suap untuk putusan lepas perkara tersebut sejumlah Rp40 miliar. Tindak pidana itu juga melibatkan mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta dan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan. Arif dan Wahyu dilakukan penuntutan dalam berkas terpisah.

"Menerima hadiah atau janji yaitu menerima uang tunai dalam bentuk mata uang dolar Amerika, sejumlah 2,5 juta dolar Amerika atau senilai Rp40 miliar," kata jaksa saat membacakan surat dakwaan dalam sidang.

Penerimaan uang suap

Terdapat dua kali penerimaan terkait tindak pidana ini. Pertama berbentuk uang tunai pecahan US$100 sejumlah US$500.000 atau setara Rp8.000.000.000.

Wahyu disebut menerima dalam pecahan US$ senilai Rp800.000.000, Arif Nuryanta menerima dalam pecahan US$ setara Rp3.300.000.000, Djuyamto dalam pecahan US$ dan Sin$ senilai Rp1.700.000.000, Agam Syarief menerima dalam pecahan US$ dan Sin$ senilai Rp1.100.000.000, dan Ali Muhtarom dalam pecahan US$ senilai Rp1.100.000.000.

Sedangkan penerimaan kedua dalam bentuk US$100 sebesar US$2.000.000 atau setara Rp32.000.000.000.

Rinciannya Wahyu menerima US$100.000 atau senilai Rp1.600.000.000, Arif menerima dalam pecahan US$ senilai Rp12.400.000.000, Djuyamto dalam pecahan US$ senilai Rp7.800.000.000, Agam Syarief dalam pecahan US$ senilai Rp5.100.000.000, dan Ali Muhtarom dalam pecahan US$ senilai Rp5.100.000.000.

Jaksa mengungkapkan uang tersebut diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih dan M. Syafe'i selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

Adapun uang suap itu bertujuan untuk memengaruhi putusan terhadap tiga terdakwa korporasi sebagaimana disebut di atas.

Djuyamto dkk pada akhirnya menjatuhkan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging.

Namun, dalam persidangan, Djuyamto dkk menepis tudingan tersebut. Mereka mengklaim penerimaan uang dimaksud tidak berkaitan dengan putusan lepas.

Djuyamto dkk didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

(ryn/kid)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK