Tak Pernah Dipimpin Ratu, Ini Sejarah Para Raja Keraton Yogyakarta

CNN Indonesia
Selasa, 28 Okt 2025 12:37 WIB
Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono X soal peran perempuan dalam regenerasi Keraton Yogyakarta, memantik wacana kepemimpinan perempuan dalam keraton.
Sosok penerus Sri Sultan Hamengku Buwono menyeruak di tengah wacana perempuan dalam regenerasi keraton. (Foto: Istockphoto/KristinaJovanovic)

Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855 - 1877)

Sri Sultan Hamengkubuwono VI lahir pada 10 Agustus 1821 dengan nama Gusti Raden Mas Mustojo, naik takhta pada 1855 menggantikan kakaknya, Hamengkubuwono V. Ia diangkat setelah kakaknya wafat tanpa meninggalkan putra pewaris, meski permaisuri GKR Sekar Kedaton baru melahirkan 13 hari kemudian.

Sebelum menjadi raja, Hamengkubuwono VI dikenal sebagai perwira militer Hindia Belanda dengan pangkat kolonel. Ia menikah dengan GKR Kencono, putri Susuhunan Paku Buwono VIII dari Surakarta, yang menandai rekonsiliasi penting antara dua kerajaan Jawa yang lama berseteru. Ia juga mempererat hubungan diplomatik dengan kerajaan Brunei melalui pernikahan.

Mewarisi strategi "perang pasif" dari pendahulunya, Sultan VI memilih jalur damai dalam menghadapi kolonialisme. Namun, masa pemerintahannya diwarnai tragedi besar: gempa bumi dahsyat pada 10 Juni 1867 yang menewaskan ratusan orang dan meruntuhkan banyak bangunan bersejarah, termasuk Tugu Jogja, Tamansari, dan Masjid Gedhe.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah peristiwa itu, Sultan VI meminta rakyat untuk tidak terus mengingat bencana tersebut dan menegaskan bahwa musibah serupa tak akan terulang. Ia wafat pada 20 Juli 1877 di usia 56 tahun dan dimakamkan di Imogiri.

Dikenal juga sebagai pelindung seni, Hamengkubuwono VI meninggalkan warisan budaya berupa tari Bedhaya Babar Layar dan Srimpi Endra Wasesa, serta kereta kerajaan Kyai Kanjeng Garudho Yakso yang masih digunakan dalam upacara pelantikan Sultan hingga kini.

Sri Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921)

Sri Sultan Hamengkubuwono VII, lahir pada 4 Februari 1839 dengan nama Gusti Raden Mas Murtejo, naik takhta pada 13 Agustus 1877 menggantikan ayahnya, Hamengkubuwono VI. Pemerintahannya menandai masa transisi penting Yogyakarta menuju era modern, di tengah pengaruh kuat Hindia Belanda.

Di bawah kekuasaannya, industrialisasi berkembang pesat. Tak kurang dari 17 pabrik gula berdiri, disertai pembangunan jalur kereta api oleh perusahaan Belanda NIS untuk mendukung distribusi hasil bumi.

Dari kerja sama tersebut Sultan menerima pendapatan besar dan dijuluki "Sultan Sugih" karena kemakmuran kas keraton.

Meski berkompromi dengan sistem kolonial, Hamengkubuwono VII memanfaatkan keuntungan tersebut untuk pendidikan dan kebudayaan.

Ia mendirikan banyak sekolah, menyekolahkan anak-anaknya hingga ke Belanda, dan mendorong lahirnya sekolah tari Krido Bekso Wiromo yang membuka akses kesenian keraton bagi masyarakat luas.

Masa pemerintahannya juga menjadi saksi lahirnya Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan, seorang abdi dalem yang disekolahkan ke Makkah. Ia bahkan meminjamkan Loji Mataram (kini gedung DPRD DIY) untuk kongres pertama Budi Utomo, menunjukkan dukungannya pada gerakan kebangsaan awal Indonesia.

Namun, menjelang akhir masa kekuasaan, hubungan dengan Belanda merenggang akibat program reorganisasi agraria yang membatasi kekuasaan raja atas tanah. Merasa tak lagi bebas, Hamengkubuwono VII turun takhta pada 1920 dan memilih menjadi pandhita di Pesanggrahan Ambarukmo.

Ia wafat pada 30 Desember 1921 dan dimakamkan di Imogiri. Warisannya mencakup pembangunan kembali Tugu Jogja, lahirnya sejumlah tari klasik seperti Bedhaya Sumreg dan Srimpi Dhendhang Sumbawa.

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939)

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII lahir pada 3 Maret 1880 dengan nama Gusti Raden Mas Sujadi. Ia naik takhta pada 8 Februari 1921 menggantikan ayahnya, Hamengkubuwono VII, setelah menempuh pendidikan di Belanda. Pemerintahannya menjadi masa penting modernisasi Yogyakarta di bidang pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan.

GRM Sujadi dikenal berpikiran maju. Ia memanfaatkan kekayaan keraton untuk memperluas akses pendidikan. Mendorong putra-putrinya menempuh studi tinggi, bahkan ke Eropa.

Dukungan terhadap pendidikan rakyat juga tampak dari berdirinya Taman Siswa (1922), organisasi Katolik Jawi (1923), hingga Kongres Perempuan Indonesia (1929). Di bidang kesehatan, ia membantu pengadaan ambulans untuk Rumah Sakit Onder de Bogen yang kini berganti nama menjadi RS Panti Rapih.

Hamengkubuwono VIII juga melakukan banyak renovasi bangunan penting seperti Bangsal Pagelaran, Tratag Siti Hinggil, dan Masjid Gedhe. Dalam keluarganya, ia menerapkan pendidikan disiplin dan egaliter. Ia bahkan menitipkan putranya, BRM Dorodjatun (Sri Sultan Hamengkubuwono IX), pada keluarga Belanda sejak usia empat tahun untuk belajar hidup mandiri.

Sultan memprakarsai tari klasik gaya Yogyakarta, menciptakan berbagai karya tari seperti Srimpi Layu-layu, Bedhaya Gandrung Manis, dan Beksan Gathutkaca-Suteja, serta membawa wayang wong ke masa keemasannya.

Sebelum wafat pada 22 Oktober 1939 di RS Panti Rapih, Sultan sempat menyerahkan pusaka keraton Kyai Joko Piturun kepada BRM Dorodjatun, menandai penunjukan penerus takhta. Ia dimakamkan di Astana Saptarengga, Imogiri.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988)

Sri Sultan Hamengku Buwono IX lahir pada 12 April 1912 dengan nama Gusti Raden Mas Dorojatun, putra kesembilan Sultan HB VIII. Sejak kecil ia dititipkan pada keluarga Belanda agar tumbuh mandiri tanpa pengasuh.

Pendidikannya ditempuh di Yogyakarta, Semarang, Bandung, hingga Universitas Leiden di Belanda dengan jurusan hukum tata negara. Ia dikenal cerdas dan kritis, bahkan bersahabat dengan Putri Juliana, calon Ratu Belanda. Namun tak lama setelahnya, ia dipanggil pulang ke tanah air karena sang ayah wafat.

Perjalanan menuju takhta tidak mudah. Sebagai calon Sultan, ia harus menandatangani kontrak politik dengan Belanda. Awalnya ia menolak beberapa poin yang dinilai merugikan kedaulatan keraton, namun akhirnya menandatangani perjanjian itu dengan keyakinan bahwa masa penjajahan akan segera berakhir. Pada 18 Maret 1940, ia resmi dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sultan IX dikenal sebagai tokoh penting dalam perjalanan Republik Indonesia. Dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, ia langsung menyatakan dukungan kepada Soekarno-Hatta dan menegaskan Yogyakarta sebagai bagian dari Republik. Bahkan saat Belanda kembali menyerang, Sultan membuka Yogyakarta sebagai ibu kota sementara negara.

Perannya di pemerintahan juga besar, mulai dari Menteri Pertahanan, Wakil Perdana Menteri, hingga Wakil Presiden RI (1973-1978). Sultan HB IX juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia dan penerima medali kehormatan Bronze Wolf dari World Scout Committee.

Warisan besarnya antara lain proyek Selokan Mataram yang menyelamatkan rakyat dari kerja paksa Jepang, dukungan penuh terhadap pendirian Universitas Gadjah Mada, serta karya seni tari seperti Golek Menak, Bedhaya Sapta, dan Bedhaya Sanghaskara.

Ia wafat di Washington D.C. pada 2 Oktober 1988 dan dimakamkan di Imogiri. Ia kemudian digantikan oleh Bendara Raden Mas Herdjuno Darpito yang sampai saat ini masih memimpin keraton Yogyakarta sebagai Sultan Hamengkubowono X.

(fam/wis)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER