Sri Susuhunan Pakubuwono VIII dengan nama Raden Mas Kuseni. Ia naik takhta pada menggantikan saudara tirinya, Pakubuwono VII, yang tidak memiliki putra mahkota. Karena usianya sudah mencapai 69 tahun saat dinobatkan, masa pemerintahannya berlangsung singkat dan relatif tenang dibanding pendahulunya.
Sepanjang pemerintahannya, Pakubuwono VIII dikenal sebagai salah satu susuhunan yang memiliki gaya hidup sederhana dan kebijakan yang lebih terbuka. Misalnya, ia tercatat sebagai raja keturunan Mataram pertama yang hanya memiliki satu istri, berbeda dengan tradisi poligami yang umum pada keraton waktu itu. Meskipun tidak banyak lonjakan kebijakan besar yang tercatat, ia dianggap berhasil menjaga stabilitas internal keraton selama masa takhtanya hingga wafat.
Sri Susuhunan Pakubuwono IX lahir dengan nama Raden Mas Suryo Duksina, putra dari Susuhunan Pakubuwono VI. Masa pemerintahannya dianggap sebagai periode stabilisasi dan renovasi besar untuk keraton, setelah hari‑hari konflik yang berat sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pemerintahan Pakubuwono IX, ia memperoleh julukan "Sinuhun Bangun Kedhaton" karena upayanya memperbaharui fisik keraton dan bangunan istana di Surakarta.
Ia juga dikenal aktif dalam bidang sastra. Mencatatkan diri sebagai pengarang karya‑karya yang mengandung nasihat dan nilai‑jawab moral. Dengan wafat pada 16 Maret 1893, pemerintahan Pakubuwono IX meninggalkan warisan yang memperkuat posisi budaya Jawa di era kolonial.
Sri Susuhunan PakubuwonoX di Surakarta dengan nama kecil Raden Mas Sayyiddin Malikul Kusno, putra dari Pakubuwono IX. Ia secara resmi mulai memerintah keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 30 Maret 1893 setelah pengangkatan langsung menggantikan ayahandanya. Masa pemerintahannya mencapai 46 tahun.
Di bawah kepemimpinan Pakubuwono X aktif mendorong pendidikan, dakwah Islam, serta mendukung aktivitas organisasi pergerakan nasional, termasuk memberikan fasilitas untuk Sarekat Islam dan Budi Utomo.
Secara infrastruktur, ia membangun banyak fasilitas publik seperti Pasar Gede, Jembatan Jurug di atas Bengawan Solo, dan sarana listrik modern yang menjadikan Surakarta kota pionir listrik di Jawa.
Sri Susuhunan Pakubuwono XI lahir pada 1 Februari 1886 di Surakarta dengan nama Raden Mas Ontoseno dan naik takhta sebagai penguasa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 26 April 1939, menggantikan ayahnya, Pakubuwono X.
Masa pemerintahannya bersinggungan dengan periode krisis global dan perubahan besar di Nusantara, termasuk kejatuhan Jepang dan peralihan kekuasaan kolonial.
Selama masa kekuasaannya, Pakubuwono XI menghadapi tantangan berat. Mulai dari tekanan administratif Belanda, hingga pendudukan Jepang yang mengambil alih wilayah Jawa sejak 1942 dan memaksakan banyak kebijakan yang melemahkan ekonomi keraton.
Kondisi ini berdampak pada keuangan keraton yang sangat terbebani, dan kerajaan mengalami kemunduran status. Ia wafat pada 1 Juni 1945, hanya beberapa bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Sri Susuhunan Pakubuwono XII lahir pada 14 April 1925 di Surakarta dengan nama asli Raden Mas Suryo Guritno. Ia naik takhta sebagai Susuhunan Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 11 Juni 1945, hanya dua bulan sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 59 tahun. Menjadikannya raja dengan masa takhta terpanjang dalam sejarah Surakarta.
Pada masa pemerintahannya, Pakubuwono XII memainkan dua peran penting: sebagai pelindung budaya Jawa melalui keraton, dan sebagai tokoh yang menunjukkan dukungan terhadap Republik Indonesia. Ia tercatat mengeluarkan maklumat resmi atas nama keraton yang menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan RI.
Selain itu, keraton Surakarta di masa beliau menyerahkan sebagian aset untuk kepentingan negara dan ikut dalam dinamika politik nasional.
Di sisi lain, tantangan besar muncul. Antara lain penculikan dirinya oleh kelompok anti‑swapraja, konflik internal keraton, serta perjuangan mempertahankan relevansi institusi keraton di era modern.
Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, lahir di Surakarta pada 28 Juni 1948 dengan nama kecil Gusti Raden Mas Suryo Partono (KGPH Hangabehi). Ia resmi naik takhta sebagai Susuhunan ke‑13 dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 10 September 2004 setelah ayahnya wafat, Pakubuwono XII.
Ia dikenal sebagai figur yang aktif menjaga kesinambungan adat dan prosesi keraton termasuk jumenengan, grebeg, labuhan, dan pemeliharaan naskah serta seni klasik Jawa. Namun, kepemimpinannya juga menghadapi tantangan internal yakni perselisihan rumah tangga keraton pasca‑wafatnya Pakubuwono XII, di mana terjadi dualisme suksesi antara KGPH Hangabehi dan adiknya, KGPH Tejowulan.
Pada Minggu pagi, 2 November 2025, Pakubuwono XIII tutup usia di usia 77 tahun setelah menjalani perawatan intensif. Jenazah beliau direncanakan dimakamkan di kompleks pemakaman raja‑raja Mataram di Imogiri.
(fam/isn)