Pengakuan Guru SMA Luwu Utara yang Dipecat Usai Bantu Honorer
Dua guru SMA di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan (Sulsel), Abdul Muis dan Rasnal dipecat setelah dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Mahkamah Agung (MA) terkait pungutan dana Rp20 ribu dari orang tua siswa untuk membantu 10 guru honorer yang tidak mendapat gaji.
Kabar itu mulanya terungkap dari keterangan resmi Persatuan Guru Indonesia (PGRI) Luwu Utara pada awal pekan ini. Dalam keterangan resmi pada Selasa (11/11), Ketua PGRI Luwu Utara Ismaruddin mengatakan, "Keduanya dinyatakan PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat)."
Peristiwa itu pun mengundang perhatian DPRD Sulsel, dan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak terkait, termasuk dua guru yang dipecat tersebut, Rabu (12/11).
Dalam rapat itu, Rasnal memberikan penjelasan ke anggota DPRD terkait pungutan uang Rp20 ribu dari orang tua siswa setelah 10 guru honorer tidak mendapatkan gaji selama sepuluh bulan yang berakibat dirinya dipecat.
Kasus ini bermula pada 2018 lalu, ketika Rasnal menjabat sebagai Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara. Ia berniat membantu 10 guru honorer yang belum mendapatkan gaji selama 10 bulan.
Kemudian, Rasnal bersama Abdul Muis berinisiatif mengusulkan kepada Komite Sekolah agar orang tua siswa patungan tanpa paksaan. Usulan tersebut disetujui.
Rasnal berkata seluruh orang tua siswa bersama pihak sekolah dan Komite Sekolah sepakat dengan iuran sukarela sebesar Rp20 ribu per bulannya.
"Tampillah proposal [kepada orang tua murid] itu. Nilai per bulan yang mau dibiayai sekitar Rp16 jutaan," kata Rasnal di depan anggota DPRD.
Rasnal menuturkan orang tua siswa kemudian mengusulkan agar total anggaran dibagi rata sesuai jumlah siswa untuk mengetahui estimasi iuran per anak.
"Setelah dilakukan perhitungan, diperoleh hasil sekitar Rp17.300 per siswa per bulan. Usulan itu pun memicu tanggapan positif dari para orang tua. Ada yang bilang, ini sedikit, bisa dijangkau," katanya.
Menurut dia, ada beberapa orang tua murid menyarankan agar jumlahnya dibulatkan menjadi Rp20.000 per bulan. Tujuannya, untuk memudahkan pembayaran.
"Bagaimana kalau kita bulatkan Rp20.000? Karena ndak ada uang kecil mau bayar Rp800 atau Rp500," kata Rasnal menirukan perkataan dari orang tua siswa.
Rasnal menuturkan usulan tersebut juga disertai dengan prinsip subsidi silang, dimana orang tua yang mampu dapat membantu siswa yang kurang mampu.
"Sasaran utamanya adalah kemungkinan di antara orang tua ada yang tidak mampu, itu disubsidi. Dan bagi anak-anak yang bersaudara dua atau tiga, dihitung satu saja," jelasnya.
Usulan itu, kata Rasnal disambut positif. Kata dia, seluruh peserta rapat sepakat iuran Rp20.000 per bulan per siswa secara mufakat.
"Saya sempat bilang, jangan sampai ada yang keberatan lagi, supaya palu bisa diketuk. Ditunggu-tunggu, tidak ada yang keberatan. Akhirnya palu diketuk, dan kita sepakat sekolah Rp20.000," ujarnya.
Mantan anggota komite SMAN 1 Luwu Utara, Supri Balantja, membenarkan bahwa wali murid sendiri yang mengusulkan agar sumbangan yang awalnya Rp17.300 digenapkan menjadi Rp20.000.
Belakangan, kata Supri, dua guru tersebut dilaporkan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) ke Polres Luwu Utara atas dugaan tindak pidana korupsi.
Penyidik Polres Luwu Utara kemudian menetapkan status tersangka terhadap Rasnal dan Abdul Muis berdasarkan hasil audit Inspektorat Pemerintah Kabupaten Luwu Utara. Padahal, SMA merupakan kewenangan dari inspektorat tingkat provinsi.
Selama proses hukum itu, berkas perkaranya beberapa kali dikembalikan jaksa karena dianggap tidak cukup bukti sebagai gratifikasi atau tindak pidana korupsi.
"Tapi polisi saat itu meminta kepada pengawas daerah di sini, yang tidak berwenang dan menyatakan ada indikasi kerugian negara. Loh, dimana kerugian negaranya, sementara ini uang orang tua murid," ujar Supri.
Waktu berlalu, kata Supri, perkara itu kemudian masuk ke meja hijau. Selama persidangan digelar di Pengadilan Tipikor Makassar, Guru Rasnal dan Muis menjadi tahanan kota.
Saat itu, ujar Supri, Pengadilan Tipikor Makassar memvonis bebas guru Rasnal dan Abdul Muis.
Atas putusan bebas itu, jaksa Kejari Luwu Utara kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Melansir laman direktori putusan MA, perkara ini teregister 56/Pid.Sus-TPK/2022-PN Mks untuk guru Rasnal dan nomor 57 terhadap guru Abdul Muis.
"Hasilnya, hakim [MA] membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama," ujarnya.
Dalam putusan kasasi, majelis hakim agung menghukum Rasnal dan Abdul Muis dengan hukuman 1 tahun penjara. Putusan itu tercatat dengan nomor 4999 K/ PID.SUS/ 2023 pada 23 Oktober 2023.
Menurut Supri, guru Rasnal dan Abdul Muis tidak sepatutnya divonis penjara selama 1 tahun. Sebab, persoalan itu menyangkut antara komite sekolah dan orang tua murid.
"Yang jelas ini sangat menyayat hati, karena perbuatan komite dengan orangtua, bukan pak Rasnal dan Abdul Muis. Ini tidak adil, kalau ini gratifikasi, seharusnya semua yang memberikan itu dipenjara semua. Pak Rasnal tinggal dua tahun pensiun, Pak Muis tinggal 8 bulan pensiun tapi diberhentikan," jelasnya.
Sebelumnya, Ketua PGRI Luwu Utara Ismaruddin di dalam keterangannya awal pekan ini mengaku pihaknya menilai ada yang salah dalam proses pemecatan kedua guru tersebut. Menurut Ismaruddin seharusnya pemerintah memberikan pembinaan kepada kedua guru sebelum diberhentikan.
"Ada something wrong di sini, tentu saja mengusik rasa keadilan dan kemanusiaan kita semua," ujarnya.
Oleh karena itu, Ismaruddin menuturkan pihaknya bersama guru, Rasnal dan Abdul Muis akan meminta pengampunan kepada Presiden RI Prabowo Subianto agar mereka diampuni dengan alasan kemanusiaan.
"Kita memohon kepada Bapak Presiden Prabowo agar memberikan grasi kepada saudara Rasnal dan Abdul Muis sehingga dikembalikan hak dan martabatnya sebagai ASN guru," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Iqbal Nadjamuddin menyatakan Rasnal dan Abdul Muis diberhentikan karena murni tindak lanjut dari kasus hukum pidana korupsi yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah).
"Ini adalah akibat dari putusan hukum pidana yang telah inkrah," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (12/11).
Dasar hukum pemecatan kedua guru tersebut, kata Iqbal sesuai Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN pasal 52 ayat (3) huruf i dan PP Nomor 11 Tahun 2017, pasal 250 huruf b.
"Pemprov Sulsel hanya menjalankan putusan dan aturan normatif yang berlaku. Prosesnya sudah sesuai aturan ASN. Ketika seorang ASN tersangkut kasus pidana dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap, maka berlaku Undang-undang ASN," tegasnya.
"Jadi, kami harap informasi ini dapat meluruskan pemberitaan yang beredar. PTDH adalah murni akibat kasus Tipikor yang telah diputus inkrah oleh Mahkamah Agung," imbuhnya.
(kid/mir/kid)