Sementara, pakar hukum dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Kademim (KIKA), Herdiansyah Hamzah turut menyoroti konsentrasi konsentrasi kekuasaan yang dimiliki aparat kepolisian dalam KUHAP baru.
Herdiansyah secara khusus menyoroti Pasal 7 dan 8 yang menempatkan semua Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Khusus, berada di bawah koordinasi Polri. Menurut dia, pasal tersebut berpotensi membuat Polri memiliki kontrol yang sangat besar.
"Sentralisasi kewenangan ini melemahkan mekanisme check and balance, dan membuat proses hukum lebih rentan terhadap kepentingan institusional tunggal," kata Herdiansyah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kewenangan yang dimaksud tertuang dalam Pasal 7 Ayat 3 dan 4, yang berbunyi:
"(3) PPNS dan Penyidik Tertentu dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri; (4) PPNS dan Penyidik Tertentu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya wajib berkoordinasi dengan Penyidik Polri sampai dengan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum".
Terkait tudingan itu, lagi-lagi Ketua Komisi III DPR Habiburokhman membantahnya. Menurut dia, KUHAP baru mengatur asas diferensiasi fungsional. Artinya, Polri sebagai Polri sebagai penyidik utama, jaksa sebagai penyidik penuntut tunggal, hakim sebagai pemeriksa di persidangan, dan advokat sebagai pembela.
"Semua dapat diawasi dan diteruskan prinsip check and balances," kata dia dalam konferensi pers di kompleks parlemen menjelaskan isi KUHAP baru.
Pembatasan Polri sebagai penyidik utama juga dikecualikan untuk jaksa, KPK, dan TNI yang diatur dalam Pasal 7 ayat 5 yang berbunyi, "Koordinasi dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan untuk Penyidik di Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang".
Lihat Juga : |
Herdiansyah memandang ancaman paling serius lain dalam KUHAP baru, terhadap integritas penelitian akademik terletak pada Pasal 105, 112A, 132A, dan 124, yang memungkinkan penggeledahan, penyitaan, pemblokiran, hingga penyadapan dilakukan tanpa izin pengadilan.
Padahal, kata dia, kebebasan akademik menuntut jaminan kerahasiaan sumber informasi, data penelitian.
"Pasal-pasal ini merupakan serangan langsung terhadap hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan ilmu pengetahuan tanpa rasa takut akan represi," katanya.
Pasal 112 berbunyi, "Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik dapat melakukan Penggeledahan terhadap: a. rumah atau bangunan; b. pakaian; c. badan; d. alat transportasi; e. Informasi Elektronik; f. Dokumen Elektronik; dan/atau g. benda lainnya."
Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej menilai, pasal penggeledahan harus dilakukan dengan izin pengadilan. Namun, dalam keadaan mendesak bisa dilayangkan, maksimal lima hari setelahnya.
Sementara, syarat keadaan mendesak diatur dalam Pasal 113 ayat (5) yakni letak geografis yang susah dijangkau; tertangkap tangan; tersangka berpotensi merusak bukti; benda atau aset mudah dipindahkan; situasi lain berdasarkan penilaian penyidik.
Kemudian, ayat 7 atau terakhir Pasal 113 mengatur tentang izin yang harus diberikan ketua pengadilan.
"Ketua PN paling lama 2 hari terhitung sejak penyidik meminta persetujuan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat 6 wajib mengeluarkan penetapan persetujuan atau penolakan".
Sebelumnya, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyoroti operasi undercover buying dan controlled delivery yang awalnya menjadi kewenangan penyidikan, dan hanya untuk tindak pidana khusus yakni narkotika. Sementar dalam KUHAP baru kini bisa berlaku secara umum.
Kewenangan tersebut menjadi metode penyelidikan (menciptakan tindak pidana), dan bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, tidak mempunyai batasan dan tidak diawasi hakim (Pasal 16).
Menurut Isnur, kewenangan luas tanpa pengawasan berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan tindak pidana dan merekayasa siapa pelaku.
Selain itu, Isnur mengatakan ada ancaman bagi setiap orang yang bisa ditangkap dan ditahan di tahap penyelidikan (Pasal 5).
Jika dibandingkan dengan Pasal 5 KUHAP yang saat ini berlaku, tindakan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan.
Namun, dalam Pasal 5 RUU KUHAP, pada tahap penyelidikan dapat dilakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan bahkan penahanan.
"Padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi," tuturnya.
Isnur menambahkan upaya paksa penangkapan dan penahanan sebagaimana saat ini membuka lebar ruang kesewenang-wenangan aparat karena tidak ada pengawasan oleh lembaga pengadilan melalui pemeriksaan habeas corpus, serta penyimpangan aturan mengenai masa penangkapan yang terlalu panjang (lebih dari 1x24 jam) dalam Undang-undang sektoral di luar KUHAP juga tidak diperbaiki dalam RUU KUHAP (Pasal 90, 93).
"Lebih lanjut, RUU KUHAP (Pasal 105, 112A, 132A) membuka peluang setiap orang bisa kena penggeledahan, penyitaan, penyadapan, pemblokiran menurut subjektivitas aparat tanpa izin hakim," tegas Isnur.