Sanggar, Benteng Terakhir Budaya Betawi
Sekelompok remaja, diantaranya anak-anak usia sekolah dasar, pagi itu begitu semangat berlenggak-lenggok di teras sebuah rumah sederhana, di satu gang sempit, di Kelurahan Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Ada 25 perempuan yang tengah berlatih tari Semarak Nandak Ondel-ondel, salah satu tarian khas Betawi.
Mereka tergabung dalam Sanggar Kembang Kelapa. Dipimpin seorang pelatih, gerakan tubuh para remaja ini sangat dinamis, energik, harmoni sekaligus estetis. Tangan mereka begitu gemulai, mengayun dan memutar dengan luwes dan lentik jari yang indah.
Begitu pula dengan gerakan kaki yang menapak, berjinjit dan melangkah dengan lincah. Semua gerakan indah itu diiringi alunan musik gambang kromong dari sebuah pengeras suara yang terhubung dengan sebuah handphone sebagai sumber suara. Mereka menggunakan kaos hitam, diikat dengan selendang warna warni, dan kebanyakan menggunakan rok batik khas Betawi.
Alunan ritmis seni Betawi itu timbul tenggelam dengan berisik knalpot sepeda motor yang hilir mudik, di gang yang hanya bisa dilintasi satu sepeda motor. Berebut dengan suara kipas angin lawas, di teras berukuran 5x7 meter yang beratapkan kanopi. Sesekali mereka menyeka cucuran keringat dengan tangan atau selendang yang digunakan.
Ini adalah potret salah satu sanggar Betawi yang tetap bertahan dengan kondisi apa adanya. Namun kesederhanaan itu tak menyurutkan semangat untuk berkarya, melestarikan seni Betawi.
Penjaga identitas Betawi
Di tengah gempuran budaya modern, sanggar-sanggar seni Betawi masih berdiri sebagai penjaga identitas Jakarta. Di Kawasan kampung Betawi Setu Babakan, tak jauh dari "markas" sanggar Kembang Kelapa, terdapat beberapa sanggar. Di tempat inilah, tarian, musik, dan tradisi tutur Betawi terus hidup, diwariskan dari generasi ke generasi.
Meski jumlahnya kian berkurang, para pelaku seni di sanggar-sanggar itu tetap setia menjaga warisan leluhur, menjadikannya sebagai benteng terakhir pelestarian budaya Betawi di tengah perubahan zaman.
Berdiri sejak 2016, tidak mudah bagi sanggar untuk menjalankan fungsinya sebagai wadah berkarya. Terlebih untuk seni tari yang baru aktif dalam satu tahun terakhir ini. Mereka hidup tertatih-tatih di tengah digitalisasi yang semakin mencengkram semua aspek kehidupan. Salah satunya terlihat dari minimnya keterlibatan warga, khususnya generasi muda untuk bergabung dalam aktifitas sanggar.
Ketua sanggar Kembang Kelapa, Anas Asril Hizbullah mengakui, para remaja saat ini lebih suka dengan seni musik modern yang dianggap lebih kekinian dan keren. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain game di gawai, atau lebih asyik berselancar di media sosial.
Sementara seni tradisional dipersepsikan sebagai hal kolot dan tidak menarik. Tak heran, regenerasi seniman Betawi berjalan lambat. Rendahnya kesadaran untuk melestarikan seni Betawi ini bahkan hinggap di kalangan orang tua. Salah satu penyebabnya adalah, minimnya informasi terkait budaya Betawi, termasuk keberadaan sanggar itu sendiri.
Keterbatasan kemampuan dalam mengembangkan kreasi seni musik dan seni tari Betawi juga berpengaruh. Hal ini terjadi akibat akses mendapatkan ilmu seni dari sumber atau pencipta karya yang terbatas. Selama ini, berdiskusi langsung dengan seniman atau maestro tari, adalah sebuah hal yang langka, karena keterbatasan akses menuju kesana. Akibatnya, sanggar belum tumbuh sebagai pusat kreativitas masyarakat.
Selain itu, ketiadaan alat musik Gambang Kromong turut menghambat kreatifitas untuk berkarya. Saat akan "manggung" memenuhi undangan hajatan atau acara lainnya, sanggar Kembang Kelapa harus menyewa alat musik Gambang Kromong yang biayanya bisa mencapai Rp1,5 juta hingga Rp2 juta rupiah untuk sekali tampil.
Sementara untuk membeli alat musik Gambang Kromong, butuh biaya yang tak sedikit. Satu set alat musiknya bisa mencapai Rp30 juta hingga Rp50 juta, tergantung bahan pembuatan. Belum lagi kostum seni tari yang juga tidak murah. Kondisi itu ikut membatasi kemampuan sanggar untuk tampil dalam acara komersial atau festival. Akibatnya, aktivitas seni menjadi sporadis dan ketergantungan pada pinjaman atau sewa alat membuat sanggar sulit berkembang secara mandiri.
Masalah lainnya yang muncul adalah rendahnya kapasitas pemanfaatan media digital untuk mempromosikan sanggar dan seni Betawi. Meskipun sanggar telah memiliki akun media sosial, pengelolaannya belum optimal. Konten tidak diperbarui secara rutin, dan belum ada strategi digital marketing yang terencana. Hambatan utamanya ada pada kurangnya sumber daya manusia yang memahami teknik mengemas konten, teknik storytelling hingga editing video.
Dalam sebuah program yang digagas Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi untuk pendampingan sanggar Betawi, dua maestro seni Betawi dihadirkan.
Pertama adalah penari Wiwik Widyastuti yang telah menciptakan beberapa tari kreasi Betawi yang ikonik. Karyanya yang paling terkenal adalah Tari Lenggang Nyai. Tarian ini diciptakan pada tahun 2002, terinspirasi dari kisah Nyai Dasima, yang menggambarkan perjuangan seorang perempuan akan kebebasan dan haknya. Selain itu, Wiwik juga menciptakan Tari Topeng Gong (1994), Tari Ronggeng Blantek (1978), dan Tari Kembang Lambangsari.
Maestro lain yang dihadirkan adalah Erik Herlanda, pelatih gambang kromong dari komunitas Panjak Jakarta.
Gambang Kromong mulai berkembang sekitar abad ke-18. Nama "Gambang Kromong" diambil dari dua instrumen utama yang menjadi ciri khas kesenian musik ini, yaitu Gambang & Kromong. Di sini, para anggota sanggar diajarkan tentang cara mempermainkan Alat Musik gambang, kromong, gendang, tehyan, kongahyan, sukong, kecrek dan gong. Belajar tentang sistem nada, ritme, karakter suara, tempo hingga melodi.
Pelatih tari sanggar, Muzilah, mereka selama ini memiliki keterbatasan kemampuan untuk membuat tari kreasi baru. Selain karena masih belum memahami seni gerak ini secara mendalam, mereka juga terkendala ketiadaan alat musik gambang kromong sebagai musik pengiring dalam seni tari.
Keberadaan sanggar yang melestarikan seni Betawi perlu diketahui oleh khalayak luas. Salah satu cara efektif adalah melalui media sosial. Karena itu, kegiatan lain yang dilakukan adalah pelatihan pemanfaatan media sosial. Selain sebagai sarana promosi seni Betawi, konten di media sosial juga diharapkan bisa menarik minat generasi muda untuk lebih peduli dan mencintai budaya lokal, khususnya budaya Betawi. Pada titik inilah, kolaborasi dunia kampus dan sanggar seni menjadi penting, agar seni Betawi tetap eksis, tidak kalah dengan musik populer.
Belajar dari realitas di atas, maka keberadaan sanggar seperti Kembang Kelapa ini sudah selayaknya diberi ruang untuk berekspresi, menelurkan karya seni, agar budaya Betawi tetap lestari. Di sisi lain, pemerintah melalui Dinas Kebudayaan, sudah seharusnya memberdayakan sanggar sebagai sarana bagi warga untuk berkumpul dan berinteraksi, menjadi ruang belajar yang terbuka.
Apalagi, sanggar bisa menjadi sarana bagi generasi muda untuk terhindar dari kegiatan negatif, seperti tawuran, penyalahgunaan narkoba dan tindak destruktif lainnya. Sanggar juga harus diberi kesempatan yang setara untuk tampil di panggung budaya. Jangan ada kesan, pemerintah hanya memberi perhatian dan bantuan pada sanggar yang sudah mapan, atau sanggar yang memiliki kedekatan dengan "orang dalam" di satu instansi tertentu.
Perjalanan panjang Sanggar
Sanggar adalah sebuah ruang atau lembaga tempat para pelaku seni berkumpul, belajar, berlatih, dan mengembangkan kreativitas dalam bidang seni tertentu. Sanggar biasanya tumbuh dari komunitas. Dalam konteks budaya Betawi, sanggar menjadi pusat kegiatan pelestarian seni, tempat generasi muda diajarkan berbagai kesenian seperti gambang kromong, tari-tarian Betawi, palang pintu, ondel-ondel, marawis, tanjidor, dan kesenian khas lainnya.
Kelahiran sanggar Betawi tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang masyarakat Betawi dalam menjaga identitas budaya di tengah perkembangan Jakarta sebagai kota besar. Sejak awal abad ke-20, ketika kesenian Betawi mulai tampil dalam berbagai perayaan kampung. Namun, konsep "sanggar" sebagai wadah resmi mulai menguat pada era 1960-1980-an. Pada masa itu, urbanisasi dan modernisasi Jakarta membuat banyak kesenian tradisional terdesak oleh hiburan modern.
Para seniman Betawi, baik maestro musik, penari, maupun pelaku teater rakyat, merasa perlu membangun ruang khusus untuk melatih generasi penerus. Dari sinilah muncul sanggar-sanggar yang dikelola oleh tokoh atau keluarga seniman. Dari sanggar pulalah, lahir sejumlah seniman Betawi yang punya nama, seperti Mpok Nori, Mastur, Haji Bolot, dan Sabar. Ada juga sanggar Setia Warga yang didirikan seniman H Muhammad Bokir (almarhum) yang kini dipimpin anaknya.
Pada tahun 90-an, kesenian lenong Betawi masih eksis, bahkan kerap muncul di layar kaca dengan 'Lenong Rumpi' dan 'Lenong Bocah'nya. Namun kini, seni Betawi semakin terpinggirkan. Dilansir dari Berita Jakarta, Ketua Yayasan Benyamin Sueb, Beno R Benyamin pernah mengatakan, pada tahun 1986, tercatat sebanyak 579 sanggar seni Betawi yang eksis. Namun tahun 2000-an, hanya tersisa 86 sanggar seni Betawi.
Di tengah kondisi seperti itu, beberapa sanggar tetap berusaha bertahan. Mereka masih berdiri tegak sebagai penjaga identitas Jakarta. Di Kawasan kampung Betawi Setu Babakan, tak jauh dari "markas" sanggar Kembang Kelapa, terdapat beberapa sanggar. Di tempat ini, tarian, musik, dan tradisi tutur Betawi terus hidup, diwariskan dari generasi ke generasi. Meski jumlahnya kian berkurang, para pelaku seni di sanggar-sanggar itu tetap setia menjaga warisan leluhur, menjadikannya sebagai benteng terakhir pelestarian budaya Betawi di tengah perubahan zaman.
(sur/sur)Muhammad Ikhwan
Dosen Universitas Budi Luhur. Sedang mendalami kajian media massa, budaya dan jurnalisme.
Selengkapnya