Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mempunyai pendapat berbeda dengan pemerintah ketika menjelaskan faktor penyebab bencana hidrometeorologi yang terjadi di tiga provinsi sebagaimana disebut di atas.
Walhi Sumut, misalnya-alih-alih menyalahkan hujan lebat, mereka menuding tujuh perusahaan menjadi biang keladi atas bencana ekologis di Tapanuli, Sumatera Utara.
"Kami mengindikasikan tujuh perusahaan sebagai pemicu kerusakan karena aktivitas eksploitatif yang membuka tutupan hutan Batang Toru," ujar Direktur Eksekutif WALHI Sumut Rianda Purba, Rabu (26/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rianda menuturkan ketujuh perusahaan tersebut beroperasi di atau sekitar ekosistem Batang Toru, habitat orangutan Tapanuli, harimau Sumatra, tapir, dan spesies dilindungi lainnya.
"Setiap banjir membawa kayu-kayu besar, dan citra satelit menunjukkan hutan gundul di sekitar lokasi. Ini bukti campur tangan manusia melalui kebijakan yang memberi ruang pembukaan hutan," ucap Rianda.
"Ini adalah bencana ekologis akibat kegagalan negara mengendalikan kerusakan lingkungan," katanya.
Sementara itu, Walhi Sumbar menyebut banjir bandang dan longsor yang terjadi di Sumbar merupakan akumulasi krisis ekologis hulu hingga hilir dan bukti pemerintah gagal bekerja.
Akumulasi dari krisis ekologis disebut telah menghancurkan pranata kehidupan di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Solok, Kabupaten Agam, Kabupaten Solok Selatan, hingga Kota Padang sebagai ibu kota provinsi
"Bagi Walhi bersama elemen masyarakat sipil, ini adalah bencana ekologis, bukan semata bencana alam atau pengaruh ekstremnya curah hujan," kata Direktur Walhi Sumbar Wengki Purwanto.
Menurut dia, ketidakadilan ruang dan sistem pengurusan alam yang keliru telah menyebabkan krisis berkelanjutan di Nagari hingga Kabupaten/Kota.
Degradasi hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang rusak akibat alih fungsi, disebut juga menjadi akar bencana ekologis yang terjadi secara serentak di Sumatera Barat.
"Cuaca ekstrem sebagai bagian dari krisis iklim hanya pemicu awal. Sebab itu, pemerintah gagal menjalankan kewajiban konstitusional (Pasal 28H) untuk melindungi masyarakat dan lingkungan hidup. Gagal membangun kesiapsiagaan warganya terhadap ancaman bencana ekologis," ujarnya.
Analisis Walhi Sumbar menunjukkan Sumatra Barat kehilangan 320.000 hektare hutan primer lembab (2001-2024). Secara keseluruhan, Sumbar kehilangan 740.000 hektare tutupan pohon. Di tahun 2024, Sumbar kehilangan hutan seluas 32.000 hektare.
Walhi Aceh menyatakan rangkaian banjir yang melumpuhkan sejumlah daerah memperlihatkan bahwa alam tidak lagi mampu menahan beban kerusakan yang dipaksakan manusia.
Menurut mereka, bencana kali ini bukan hanya fenomena alamiah, melainkan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan pemerintah yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalui investasi-investigasi ekstraktif yang rakus ruang.
Direktur Walhi Aceh, Ahmad Shalihin menyebut banjir berulang ini sebagai akumulasi dari deforestasi, ekspansi sawit, aktivitas tambang, hingga tambang emas ilegal yang dibiarkan merajalela. Menurut dia, pemerintah telah gagal menghentikan kerusakan di hulu, namun justru terpaku pada solusi tambal sulam di hilir.
"Ini bukan musibah alam. Ini bencana ekologis buruknya tata kelola lingkungan hidup. Hutan digunduli, sungai didangkalkan, bukit dikeruk. Pemerintah masih sibuk bangun tanggul, bukan menghentikan akar bencananya," kata Shalihin.
Walhi Aceh mencatat kerusakan paling parah terjadi di sejumlah DAS, terutama di DAS Krueng Peusangan yang berdampak ke hilir, seperti di Aceh Utara, Bireuen. Begitu juga di sejumlah daerah lainnya, kerusakan DAS dan laju deforestasi secara signifikan akibat ekspansi perkebunan skala besar, konsesi tambang, dan pembalakan liar.
"Begitu juga di sejumlah daerah lainnya, seperti adanya pembukaan jalan baru juga semakin membuka terjadinya deforestasi yang berdampak terjadi bencana," ujarnya.
Hilangnya penyangga ekologis itu membuat curah hujan tinggi langsung berubah menjadi limpasan besar. Di sisi lain, Shalihin menuturkan sungai-sungai utama juga mengalami sedimentasi berat akibat galian C yang menyebabkan aliran dangkal dan cepat meluap.
Selain itu, dalam dua tahun terakhir, Walhi Aceh menyoroti aktivitas tambang emas ilegal yang makin masif di daerah hulu. Tebing sungai digali, bukit dibelah, dan sungai berubah keruh oleh limbah. Hasil pemetaan spasial menunjukkan 99 persen lokasi tambang emas ilegal berada dalam DAS.
"PETI (tambang emas ilegal) menghancurkan hulu dan kerusakan DAS dan hutan, jadinya tanah labil, longsor mudah terjadi, dan banjir jadi tak terbendung," ungkap dia.
Walhi Aceh menilai pemerintah daerah hanya mengandalkan pendekatan proyek, pengerukan sungai, pembangunan tanggul, dan normalisasi alur air. Padahal, langkah itu dinilai tidak menyentuh akar kerusakan.
Untuk keluar dari siklus banjir tahunan, Walhi Aceh menuntut pemerintah mengambil langkah tegas dan terukur, yaitu moratorium izin baru perkebunan sawit, tambang, dan pembatasan galian C, terutama galian C tanpa izin harus ditutup.
Selain itu, penegakan hukum terhadap tambang emas ilegal dan aktor besar di baliknya juga harus dilakukan secara adil dan tuntas.
"Restorasi ekologis dan pemulihan alam harus segera dilakukan pemerintah, bukan hanya proyek reaktif. Lalu audit menyeluruh perizinan yang berdampak pada kerusakan hulu dan hutan, dan harus diberi ruang yang luas untuk partisipasi masyarakat mukim (kesatuan masyarakat hukum yang terdiri dari gabungan beberapa gampong atau desa) dalam tata kelola lingkungan," ujarnya.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas memberi solusi jangka panjang kepada pemerintah dalam menghadapi potensi bencana besar. Menurutnya, pemerintah harus sesegera mungkin menyiapkan regulasi yang terintegrasi.
Pria yang akrab disapa Rio mengatakan pemerintah perlu membuat Undang-undang tentang Perubahan Iklim untuk memperkuat penanganan bencana.
"Karena bencana hidrometeorologi, bencana alam itu juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dampak perubahan iklim, sehingga harus melihat secara komprehensif. Ini juga harus diintegrasikan ke depan oleh pemerintah untuk memikirkan itu," katanya.
Rio meminta pemerintah tidak lagi menangani bencana dengan tindakan responsif belaka. Sebab, jika demikian yang dilakukan, kerusakan parah akibat bencana akan terus terulang kembali.
"Jadi, ada bencana, respons, bencana lagi, respons, tapi dia tidak menurunkan dampak atau dia tidak mencari akar masalah dari bencana-bencana yang terjadi," ungkapnya.
(fra/ryn/fra)