Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) meminta agar hukuman mati dicabut atau ditarik dalam kasus pidana narkotika lewat RUU Penyesuaian Pidana yang tengah dibahas Komisi III DPR.
Dalam rapat lanjutan RUU tersebut, perwakilan JRKN, Ma'ruf Bajammal menilai Indonesia mestinya tak lagi memberlakukan hukuman mati pada kasus pidana narkotika.
Menurut dia, hukuman mati boleh diberlakukan namun dengan syarat ketat pada kasus dengan kategori the most serious crime. Dan narkotika tak termasuk di dalamnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami memandang opsi hukuman mati ini kembali diperkenalkan pada pembahasan sebelumnya dalam RUU Penyesuaian Pidana," kata Ma'ruf dalam paparannya.
Dia menyampaikan sejumlah alasan atas usulannya. Pertama, JRKN, kata Ma'ruf menemukan data yang menyebut 63 persen hukuman mati merupakan terpidana kasus narkotika. Selama kurun waktu 2015-2016, sebanyak 18 atau keseluruhan hukuman mati merupakan kasus narkotika.
Kedua, Ma'ruf menilai pemerintah mestinya bersikap adil terhadap WNI yang terancam hukuman mati. Bukan hanya di luar negeri, namun juga bagi terpidana dalam negeri. Sebab, faktanya, 111 dari 156 WNI yang terancam pidana mati di luar negeri, merupakan terpidana kasus narkotika.
Namun, advokasi dan pembelaan pemerintah hanya dilakukan di level internasional, bukan untuk terpidana yang juga terancam di dalam negeri.
"Namun, sepatutnya hal itu harus berjalan linear juga di dalam negeri; tidak hanya advokasi pemerintah dalam tataran internasional," kata Ma'ruf.
Ketiga, Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Hak Sipil dan Politik internasional. Dalam kovenan tersebut, hak hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi.
"Kalau kita melihat ketentuan di ICCPR sendiri, hukuman mati memang boleh dijatuhkan tapi dengan syarat yang ketat dan itu hanya untuk the most serious crime," katanya.
Terakhir, Komite HAM PBB, lanjut Ma'ruf, telah menafsirkan agar negara-negara mestinya menghapuskan hukuman mati. Komite tersebut juga telah menafsirkan pidana narkotika tak masuk kategori pidana paling serius atau the most serious crime, melainkan particularly serious.
"Artinya apa? Kebijakan narkotika tidak layak atau tidak sepatutnya dapat dikenakan pidana mati kalau kita merujuk kepada norma instrumen hukum internasional yang juga kami pandang sebagai norma hukum nasional, karena kita telah meratifikasi," kata dia.