Gerakan solidaritas muncul di tengah masyarakat Yogyakarta merespons banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Dukungan mengalir dari individu hingga kelompok, menyasar mahasiswa perantau yang secara tidak langsung turut terdampak karena kiriman keluarga terhambat.
Salah satu yang tergerak adalah Muhammad Miftahur Rizaq, seniman sekaligus aktivis yang menyediakan paket sembako dan makanan gratis bagi mahasiswa asal Sumatra yang berkuliah di Yogyakarta dan sekitarnya. Ia membuka pintu studionya sekaligus Kedai Sabalingga di Nogotirto, Gamping, Sleman, tanpa syarat apa pun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertimbangannya, bantuan ke lokasi bencana pasti sudah terkoordinasi. Jadi kami mencoba membantu yang ada di sini," kata Miftah, Rabu (3/12).
Menurutnya, bencana di kampung halaman membuat banyak mahasiswa perantau kesulitan memenuhi kebutuhan makan karena kiriman orang tua terhambat. Sejak ia mengumumkan inisiatif ini via media sosial pada 29 November 2025, belasan mahasiswa telah datang meminta bantuan.
Banyak di antara mereka mengaku belum mendapat kabar keluarga.
Bagi yang tak bisa datang langsung, Miftah menyiapkan alternatif pengiriman lewat ojek daring. Mahasiswa juga bisa belanja di warung terdekat lalu mengirimkan foto barcode pembayaran.
"Kita sebisa mungkin menghindari donasi uang tunai karena rawan disalahgunakan. Sembako pasti kepakai," ujarnya.
Aksi berbagi ini sejatinya bukan hal baru. Miftah sudah bertahun-tahun membuka rumahnya bagi siapa pun yang sedang kesulitan.
Nama kedainya, Sabalingga, juga merupakan akronim dari 'saling bantu, saling jaga'. Semua sembako ia biayai dari kocek pribadi. Bila perlu, ia menjual lukisan untuk menutup kebutuhan.
"Saya percaya titik tertinggi berkesenian adalah kebermanfaatan," pungkasnya.
Warkop Perdjuangan, sepiring nasi untuk menenangkan batin
Di Giwangan, Umbulharjo, Warkop Perdjuangan mengambil peran serupa. Pemiliknya, Khrisna Wijaya, menyediakan makan-minum gratis tanpa syarat bagi mahasiswa perantau.
Khrisna mengatakan, warkop bukan sekadar tempat makan, tetapi ruang sosial yang membuat orang merasa aman. Sepiring nasi, katanya, bisa membantu mengusir kesepian dan menjaga kesehatan mental.
"Inspirasi memberi makan gratis ini murni tanggung jawab sosial. Kami ingin memastikan anak-anak rantau tidak tidur dalam kondisi kelaparan," ujarnya.
Mahasiswa dipersilakan memilih menu sesuka hati, bahkan jika ingin makan tiga kali sehari. Sekitar 30 mahasiswa perantau sudah menghubungi warkopnya lewat media sosial.
"Yang merasa butuh bantuan, langsung datang dan pilih makanan. Tidak perlu menunjukkan KTP," kata Khrisna.
Menurutnya, program ini bukan inisiatif musiman ketika bencana terjadi, melainkan kegiatan rutin sejak warkop berdiri.
Solidaritas lain datang dari Warung Makan Nusantara di Banguntapan, Bantul. Pengelolanya memahami keresahan para perantau yang belum mendapat kiriman bulanan akibat bencana.
Karena itu, mereka menyiapkan makanan gratis dengan prinsip sederhana: jangan biarkan mahasiswa menunda lapar. Harapannya, para mahasiswa tetap fokus kuliah dan mempertahankan semangat hingga keadaan di kampung halaman membaik.
(kum/tis)