Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut lokasi bencana alam di Pulau Sumatra akhir November 2025 kemarin merupakan jalur endapan banjir bandang purba.
Tiga provinsi yang sejumlah daerahnya mengalami bencana banjir bandang hingga longsor dalam waktu berdekatan pada akhir November lalu adalah Aceh, Sumatera Barat (Sumbar), dan Sumatera Utara (Sumut).
"Tempat-tempat hunian saat ini, itu merupakan akumulasi tumpukan endapan banjir bandang purba yang sudah berkali-kali. Sehingga memang lahan itu merupakan lahan banjir bandang, sehingga kalau itu terjadi memang jalannya," kata Dwikorita di acara Pojok Bulaksumur, UGM, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (4/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dwikorita menerangkan usai banjir bandang di Taman Nasional Gunung Leuser, tepatnya Daerah Aliran Sungai (DAS) Bahorok, kawasan Pegunungan Bukit Barisan pada 2003 silam, ia terjun ke lokasi untuk melaksanakan studi melalui wawancara warga setempat.
Hasilnya, diperoleh data dan informasi bahwa banjir bandang serupa di lokasi tersebut pernah terjadi 50 tahun sebelumnya. Dwikorita menangkap ini sebagai sebuah fenomena alamiah.
"Kalau itu alamiah, enggak ada yang mengusik (alam). Dan masyarakat setempat yang usianya sudah di atas 50 mengatakan memang dulu waktu dia anak-anak itu sudah pernah terjadi. Tapi dulu di situ belum menjadi tempat hunian, dulu masih hutan, belum ada orang," ujarnya.
Menurut Dwikorita, fenomena alamiah ini memiliki periode ulang cukup panjang. Berkaca dari kejadian banjir bandang tahun 2003, maka siklus berikutnya diprediksi tiba sekitar 2053 mendatang.
"Sekarang masih 2025 (sudah kejadian), masih separuh (siklus)," ucapnya.
Selain itu, kejadian pada 2003 lalu banjir bandang hanya melanda satu titik DAS saja. Beda dengan yang belakangan terjadi di banyak titik DAS.
Dwikorita pun melihat ada aspek non-alamiah di balik perubahan siklus ini.
"Jadi aspek non-alamiah itu memperparah kejadian bencana dari sisi lebih sering terjadi, periode ulangnya lebih pendek, intensitasnya lebih dahsyat, dan sebarannya lebih meluas," ungkap Guru Besar bidang Geologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana yang juga mantan rektor UGM tersebut.
Dwikorita menduga ada pengaruh antropogenik yang memicu perubahan pada situasi lahan. Ia tidak mengumbar bentuk campur tangan manusia ini, tapi inilah yang memperpendek siklus banjir bandang di sana.
"Kalau enggak usah diubah, enggak usah dirusak lahannya, itu udah rapuh, apalagi dirusak. Sehingga tingkat kerusakan itu berperan bukan pada kejadiannya, tapi berperan pada seringnya terjadi," katanya.
Dwikorita pun menyarankan perlunya pemetaan ulang wilayah bekas banjir bandang purba dan penataan tata ruang ke depannya.
Alasannya, area kipas aluvial masih terlihat pascabencana kemarin.
Kipas aluvial sendiri adalah endapan sedimen berbentuk kipas yang terbentuk di daratan ketika aliran sungai deras keluar dari area pegunungan ke dataran yang lebih datar.
Dwikorita menyarankan, kawasan bekas banjir bandang purba ini menjadi area pemulihan ekologi demi mengantisipasi kejadian berulang yang lebih parah.
"Dengan kejadian yang sekarang kan ada sedimentasi baru. Ada sedimen lama yang sudah ditinggali, tapi biasanya, kalau ini ada hambatan, dihuni, sedimen ini akan mencari jalan, makanya melebar. Dulu lewat sini, tapi sekarang sudah tertimbun, lebih tinggi, dia cari jalan yang lebih rendah," jelasnya.
Kejadian banjir bandang terakhir ini, menurut Dwikorita, lebih parah dibanding peristiwa pada siklus sebelum-sebelumnya karena beberapa faktor.
Pada dasarnya, kawasan Perbukitan Barisan yang memanjang dari Aceh hingga Lampung memang cukup rentan memicu banjir bandang, dilihat dari karakteristiknya, yakni curam dan datar pada bagian bawah.
"Dan ciri sungai-sungai di pegunungan Perbukitan Barisan, yang merupakan pegunungan patahan, sungainya itu sempit-sempit, menyiku sempit gitu. Sehingga itu terbendung oleh tumpukan longsor tadi bersama kayu-kayu," paparnya.
Pada situasi terakhir di Sumatra, Dwikorita menganalisa adanya sejumlah anomali yang memperparah skala bencana. Pertama adalah siklon tropis yang keluar lintasan atau tidak pasti titiknya.
"Sekarang itu kan kejadianya bareng-bareng ya Sumatera Utara, ya Aceh, Sumatera Barat karena apa? karena siklonnya itu mampir-mampir, siklonnya itu anomali. Biasanya siklon itu patuh, lintasannya itu patuh pasti, ada jalurnya. Kali ini itu nggak," kata Dwikorita.
Dia menerangkan sewaktu siklon masuk ke daratan biasanya energinya akan langsung memudar. Akan tetapi, kata Dwikorita, kali ini siklon bahkan sampai menyeberang daratan.
"Biasanya kalau siklon itu masuk ke darat, itu langsung dia energinya hilang dan dia punah. Kali ini dia masih masuk ke darat, malah sampai nyebrang. Dia nyebrang daratan, padahal siklon itu nggak begitu," ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, siklon biasanya tidak akan mampu menembus zona tropis atau zona di mana efek dari kecepatan rotasi bumi mengakibatkan gaya coriolis. Efek kecepatan rotasi bumi ini menghalau siklon yang hendak melintas.
"Kecepatan rotasi bumi itu mengakibatkan gaya coriolis dan gaya pusar yang cepat ini membuat siklon itu dihalau. Jadi siklon itu pasti putar balik kalau ketemu itu, sudah dua kali Badai Seroja tumbuh di zona cariolis itu, ini anomali. Para pakar Meteorologi juga masih mikir," bebernya.
Belum lagi, sambungnya, anomali pada Siklon Senyar yang tumbuh di zona coriolis dan bahkan sampai menyeberangi Selat Malaka juga Semenanjung Malaya.
"Senyar ini lebih kacau lagi. Udah tumbuh di situ. Dia mampir-mampir bahkan nyebrangi Selat Malaka dan menyebrangi Semenanjung Malaya. Jadi dia berani nyebrang itu. Biasanya nggak," katanya.