Gelagat Partai Politik Mau Atur Pilkada Lewat DPRD

CNN Indonesia
Selasa, 30 Des 2025 10:59 WIB
Petugas mempersiapkan TPS untuk proses pencoblosan pada gelaran Pilkada serentak 2024. (ANTARA FOTO/Rahmad)
Jakarta, CNN Indonesia --

Wacana kepala daerah kembali dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menguat lagi dalam beberapa waktu terakhir.

Setelah proses Pemilu, Pilpres 2024 dan Pilkada serentak 2024, wacana pemilihan kepala daerah tak lagi langsung dicoblos rakyat kembali mencuat setahun terakhir.

Salah satunya, hal itu ramai kembali setelah Presiden RI Prabowo Subianto ikut mempertimbangkan usulan Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia. Bahlil diketahui pula sebagai Menteri ESDM di dalam kabinet pemerintahan Prabowo. Sementara itu, Prabowo dikenal pula sebagai Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.

Prabowo menyoroti praktik 'demokrasi perwakilan' semacam itu juga diterapkan di sejumlah negara.

"Kalau sudah sekali memilih DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, ya kenapa enggak langsung aja pilih gubernurnya dan bupatinya? Selesai," ujar Prabowo saat berpidato pada acara puncak HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jumat (5/12).

Usul yang disampaikan Bahlil--disambut Prabowo--dan menjadi rekomendasi Golkar dari Rapimnas pada 20 Desember 2025 diklaim sebagai respons tingginya biaya politik Indonesia lantaran menerapkan pemilu langsung.

Sistem pilkada saat ini adalah rakyat memilih langsung calon pasangan kepala daerahnya di kotak suara. Hal tersebut diatur dalam UU Pilkada.

Dengan demikian, ketika ingin mengubah sistem pilkada itu, maka pembuat undang-undang (pemerintah dan DPR) harus melakukan perubahan UU Pilkada. Di satu sisi, DPR saat ini sedang mengupayakan kodifikasi UU Pemilu atau omnibus law UU Politik, yang di dalamnya terdapat UU Pilkada.

Kritik koalisi sipil

Setali tiga uang, wacana Pilkada kembali dipilih DPRDi tu pun mendapat sambutan baik sebagian partai pemilik suara di parlemen RI. Namun, koalisi sipil menilai Pilkada tak langsung inkonstitusional karena mereduksi kedaulatan rakyat dan membuka ruang transaksi politik yang lebih gelap di balik pintu parlemen atau DPRD.

Menurut koalisi yang terdiri atas kelompok dan organisasi sipil, masalah Pilkada selama ini tak terletak pada mekanisme pemilihan. Mereka menilai masalah itu justru ada pada tata kelola. Jika dicermati, ongkos politik yang mahal bukan disebabkan karena pemilihan secara langsung, tapi karena biaya kampanye yang tak terkendali.

Lalu tingginya ongkos politik juga disebabkan mahar politik selama proses kandidasi atau pencalonan, mulai dari konsolidasi dukungan partai, biaya survei elektabilitas, hingga belanja komunikasi dan jaringan politik.

Menurut mereka mengubah sistem Pilkada jadi tak langsung bukanlah panasea untuk mengobati sejumlah penyakit pemilu itu. Selain itu, koalisi juga memandang wacana pilkada via DPRD itu berpotensi mengubah sistem pemilu secara keseluruhan menjadi tak langsung.

"Dengan demikian, tingginya ongkos Pilkada bukanlah disebabkan oleh mekanisme pemilihan secara langsung, melainkan oleh proses pencalonan yang transaksional dan tidak akuntabel," kata peneliti Perludem Haikal, selaku perwakilan koalisi dalam keterangannya, Selasa (23/12).

Respons parlemen

Partai politik pun merespons usulan tersebut. Komisi II DPR juga mengaku siap membahas usulan itu dalam revisi UU Pemilu yang dimulai pada 2026.

RUU Pemilu sendiri telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2026 dan akan dibahas secara kodifikasi dengan sejumlah RUU politik lain. Hingga saat ini, ada dua RUU yang masuk di dalamnya, yakni RUU Pilkada dan RUU Partai Politik.

"Komisi II siap membicarakan hal tersebut dalam penyusunan perubahan UU Pemilu," kata Wakil Ketua Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin saat dihubungi, Minggu (7/12).

Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno menilai usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) lewat DPRD telah sesuai dengan sila keempat Pancasila.

Eddy menilai usulan itu konstitusional. Oleh karenanya, dia memandang pihak yang tak sependapat bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Saya bicara sebagai pimpinan MPR, bahwa kalau kita bicara pemilihan secara keterwakilan itu ada di dalam sila keempat Pancasila kita, musyawarah untuk mufakat 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan'," kata Eddy di kompleks parlemen, Senin (29/12).

"Nah ini yang menurut saya salah satu hal yang perlu kita jadikan pertimbangan," imbuh politikus PAN itu.

Sebagai mantan sekretaris jenderal partai yang telah menjabat selama 10 tahun, Eddy mengungkap sejumlah masalah dalam pelaksanaan pilkada langsung. Dua di antaranya yakni money politics dan politik dinasti.

Menurut dia, Pilkada langsung juga kerap diwarnai dengan politik identitas yang membelah masyarakat.

Baca halaman berikutnya.

Sikap partai-partai politik di DPR


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :