Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Muda, kaya, dan bertubuh sehat. Tiga kriteria yang menggambarkan para pesepakbola itu sepintas terlihat sebagai kriteria manusia yang tak punya beban jiwa. Namun, depresi sendiri bukan hal asing dalam dunia sepakbola.
Robert Enke bisa dikatakan sebagai salah satu contoh paling ternama. Pada 10 November 2009, kiper tim nasional Jerman ini bunuh diri dengan cara menabrakkan dirinya pada kereta api yang melaju kencang.
Kasus lainnya yang mendapat sorotan dunia adalah Gary Speed. Pada 27 November 2011, pada usia 42 tahun, mantan kapten tim nasional Wales yang pernah bermain lebih dari 800 kali di kompetisi sepakbola Inggris ini mati dengan cara menggantung diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kala itu, Speed tidak tercatat memiliki tekanan batin. Teman-teman terdekatnya pun tak pernah tahu bahwa hidupnya sedang terganggu.
Tahun 2014 mencatatkan peristiwa tragis lainnya di dunia sepakbola. Pada Sabtu pagi 19 Juli, pemain berkebangsaan Jerman Andreas Biermann, juga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Sebelumnya, Biermann didiagnosis menderita tekanan jiwa. Pada 2009 ia pernah tiga kali coba untuk bunuh diri dan pernah mengumumkan pertarungannya melawan depresi ke hadapan publik.
Pada 2011, Biermann pernah menulis buku "Beri Kartu Merah pada Depresi" dan ia juga sering memberikan advokasi pada para pesepakbola yang mengalami tekanan hidup.
Namun, pada sabtu pagi itu, Biermann tak mampu memenangkan satu lagi pertarungan melawan dorongan untuk bunuh diri.
Beban Fisik dan MentalSatu penelitian yang dilakukan oleh Federasi Pemain Sepakbola Internasional (FIFPro) menyatakan bahwa depresi memang akrab di kalangan para pemain.
Satu dari empat pemain bola (lebih dari 25 persen) mengaku bahwa dirinya memiliki gejala kecemasan dan depresi. Persentase ini lebih tinggi di kalangan para pemain bola yang sudah pensiun, yaitu 39 persen berkata mereka memiliki gejala yang sama.
Sebagai perbandingan, survei yang dilakukan kepada anggota militer Inggris memperlihatkan bahwa 'hanya' 19,7 persen tentara mengalami gejala kecemasan. Survei serupa pada perawat Amerika Serikat menunjukkan angka 18 persen.
Vincent Goutterbarge berkata bahwa penyakit jiwa di kalangan para pesepakbola tak boleh diabaikan dan harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan di dunia sepakbola.
"Mereka (para pemain) harus memiliki hal lain dalam hidup," ujar Gouttere tentang penelitiannya. "Menjadi pesepakbola dapat menimbulkan banyak tekanan."
Setelah Speed meninggal dunia, para pemain sempat berbicara di depan publik tentang perjuangan mereka melawan depresi. Beberapa dari mereka mengakui bahwa pensiun adalan proses yang menimbulkan trauma.
Salah satu konsultan dan psikolog olah raga, Louise Ellis, menjelaskan fenomena ini.
"Pada titik tertentu dalam hidup mereka, para pemain harus memutuskan apakah mereka harus pensiun di kala masih berjaya, atau mengundur keputusan pensiun dengan pindah ke klub yang tak memiliki beban terlalu tinggi."
"Namun, apapun pilihan yang diambil oleh mereka, para pemain harus menghadapi rasa kehilangan, penolakan, atau rasa terisolasi dari rekan-rekannya. Hal ini dapat mendorong terjadinya depresi," ujar Ellis.
Sementara itu, bagi para pemain, tekanan timbul dari keharusan untuk terus berprestasi dan menjadi manusia yang sempurna.
Para pesepakbola kerap dilihat oleh masyarakat sebagai sosok sempurna yang mampu mendorong batas-batas kemampuan melebihi manusia biasa.
Menurut Ronal Reng, penulis buku autobiografi dari Robert Enke, tuntutan seperti ini membuat mereka sering terisolasi. Bahkan para pemain kelas dunia pun bisa mengalami hal sama, karena terus menerus berkompetisi untuk mendapatkan tempat di tim utama.
Hal inilah yang terjadi pada Enke, yaitu ketika ia pindah ke Barcelona dan mengalami kegagalan beradaptasi dengan gaya permainan klub Katalan tersebut. Dianggap sebagai salah satu kiper terbaik Jerman, di Spanyol Enke malah lebih sering dicadangkan.
Saat itu adalah ketika Enke pertama kalinya diduga menderita depresi klinis.
Sementara itu, Penelitian FIFPro juga menyatakan bahwa cedera jangka panjang bisa menjadi awal menyebabkan para pemain terpaksa keluar dari lingkungan terdekatnya dan bisa jadi salah satu faktor pendorong adanya masalah kesehatan jiwa.
Mereka juga selalu mendapatkan tekanan dari para suporter untuk selalu tampil sempurna.
Pada akhirnya, kekayaan, ketenaran, dan kebugaran fisik memang harus dibayar mahal dengan tuntutan untuk selalu prima dan mencatatkan prestasi.
Pada akhirnya, para manusia super ini pun tak bisa terlepas dari penyakit depresi.