Jakarta, CNN Indonesia -- Meski sepak bola menjadi olahraga yang paling populer di dunia, dalam soal memadukan olahraga dengan industri hiburan (
sportainment) dan menjadikan olahraga sebagai mesin uang, sepak bola tampaknya perlu belajar banyak dari Super Bowl.
Misalnya saja soal waktu penyelenggaraan.
Saat UEFA memutuskan untuk mengubah hari partai final Liga Champions dari tengah pekan menjadi akhir pekan pada 2010 lalu, jelas bahwa UEFA jauh tertinggal dari Super Bowl perihal pemikiran mengenai sisi komersial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Super Bowl sudah sejak lama digelar di hari Minggu, disebut sebagai Super Sunday oleh banyak orang, dan merupakan salah satu hari penting dalam tiap kalender tahun para penggemarnya.
Dengan dilangsungkan pada hari Minggu, maka otomatis para penggemar akan lebih mudah meluangkan waktu untuk datang ke arena atau menontonnya lewat layar kaca.
Demikian pula masalah pengemasan.
Jika di Liga Champions UEFA masih berfokus pada jualan kehebatan dua tim yang tampil di partai final, maka Super Bowl sudah berpikir lebih maju dan mengemas pertarungan antara juara American Football Conference (AFC) New England Patriots lawan pemenang National Football Conference (NFC) Seattle Seahawks dengan sejumlah acara hiburan.
Tak ayal, Super Sunday pun ibarat hari libur nasional ketika tiap orang di Amerika Serikat pergi bersama, menonton pertandingan, menikmati acara hiburan, dan bersenang-senang.
Jika pada jeda turun minum final Liga Champions para penonton hanya sekedar melakukan rileksasi di tempat duduk, maka para penggemar Super Bowl bisa memanjakan telinga dan mata mereka lewat para artis yang tampil di jeda pertandingan.
Untuk tahun ini, Katty Perry, Lenny Kravitz, dan Missy Elliot menjadi artis yang tampil di saat jeda pertandingan. Sebagai gambaran kehebatan Super Bowl dalam soal menarik perhatian massa, mereka tidak perlu membayar Katty Perry untuk melantunkan suara.
Bahkan, rumor yang beredar mengatakan bahwa para artis-lah yang harus membayar untuk bisa unjuk gigi di ajang Super Sunday, meski Katty Perry membantah hal itu.
Hal-hal itu jelas menunjukkan betapa hebat pesona Super Bowl sebagai ajang olahraga di hadapan masyarakat Amerika Serikat, dan juga dunia.
 Katy Perry menampilkan pertunjukan spektakuler dalam jeda half time gelaran Super Bowl 2015. (Reuters/USA Today/Andrew Weber) |
Superior di Harga TiketKehebatan Super Bowl lainnya pun bisa dilihat dari harga tiket yang beredar untuk laga final. Dalam daftar harga tiket resmi seperti dilansir Forbes, tiket untuk menyaksikan duel Patriots versus Seahawks berkisar dari harga US$ 900-1.500 (Rp 5,3-24 juta).
Harga tiket yang melambung tinggi itu pun tidak menyurutkan niat penonton untuk mendapatkannya. Seminggu jelang final,
Forbes menyebutkan bahwa tiket yang beredar di pasaran bisa menembus angka US$ 6.500 (Rp 82,6 juta).
Sebagai perbandingan, tiket Final Liga Champions 2014 lalu hanya berkisar mulai dari €70-390 euro (Rp 1-5,6 juta). Perbedaan ini mutlak menggambarkan kepiawaian Super Bowl dalam mengemas dan memasarkan jualan mereka.
Masih menurut Forbes, Super Bowl meyakini bahwa mereka akan mendapatkan total US$ 60,3 juta (Rp 766,5 miliar) pada gelaran 2015 ini.
Andai uang hasil penjualan tiket Super Sunday kemarin dikumpulkan untuk melakukan transfer pemain sepak bola, maka uang tersebut bisa digunakan untuk mendatangkan Mesut Ozil seperti halnya yang dilakukan Arsenal saat memboyongnya dari Real Madrid.
Menang di SponsorBukan hanya suporter yang harus merogoh kocek lebih dalam untuk bisa berpartisipasi dan bergembira di ajang Super Sunday, melainkan pula para calon pemasang iklan.
Uang sebesar US$ 4,5 juta (Rp 57,2 miliar) adalah jumlah yang harus dibayar untuk tayangan produk selama 30 detik di sela-sela serunya duel Patriots versus Seahawks.
Mungkin banyak yang mengernyitkan dahi dengan jumlah ini, namun semua itu kemudian terasa normal saat statistik lainnya berbicara.
Pada 2014 lalu, total 112,2 juta orang yang menyaksikan Super Bowl via televisi, menjadikan Super Bowl sebagai tayangan televisi dengan penonton terbanyak pada tahun lalu di Amerika Serikat.
Angka fantastis inilah yang kemudian menjadi daya tarik bagi para calon pemasang iklan untuk berlomba-lomba mendapatkan tempat di Super Bowl.
"Melihat tren dari tahun ke tahun yang terjadi di Super Bowl, maka bisa dikatakan bahwa kenaikan harga iklan (Super Bowl) lebih tinggi dibanding standar yang ada pada acara televisi umumnya," ucap Kepala Penelitian Kantar Media, lembaga penelitian di Amerika Serikat, Jon Swallen seperti dikutip dari
Wall Street Journal."Angka-angka fantastis itu tentunya tidak akan semakin tinggi jika tidak ada pihak yang ingin membayarkan uang sebesar itu," tutur Swallen menambahkan.
Perputaran uang dalam jumlah fantastis juga terjadi di sektor lainnya, seperti penjualan makanan.
Jutaan penonton yang meluangkan waktu untuk menyaksikan Super Bowl juga berdampak pada banyaknya makanan yang terjual di hari itu.
Berdasarkan data dari
Forbes, Super Sunday berada di urutan kedua setelah hari Thanksgiving dalam hal mendorong banyaknya makanan yang dikonsumsi dalam satu hari.
Diperkirakan ada 1,25 miliar
chicken wings yang dikonsumsi, ditambah 11,2 juta kilogram
potato chips, 8,2 juta kilogram
tortilla chips, dan 3,8 juta kilogram
pop corn.Angka-angka fantastis di atas kembali menegaskan satu hal, bahwa Amerika Serikat selalu sukses mengemas sebuah pertandingan olahraga menjadi sebuah pertunjukkan spektakuler yang membuat uang dalam jumlah besar terus berputar di dalamnya.
(vws)