Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Sepak bola punya satu adagium, bahwa mereka yang baik hati dan kurang bengis tak memiliki tempat di lapangan hijau. Terutama bagi mereka yang menginginkan satu peran di pinggir lapangan, atau tepatnya di bangku pelatih.
Mantan kapten Manchester United, Roy Keane, pernah mengungkapkan bahwa satu faktor yang membuat Sir Alex Ferguson demikian sukses adalah karena ia memiliki nafsu untuk mengendalikan segala sesuatu, mulai atas ruang ganti pemain, manajer klub musuh, bahkan, hingga batas tertentu, menginginkan kendali atas para pengadil di lapangan.
Ferguson tak punya waktu untuk bermanis-manis dengan wartawan. Ia juga tak segan untuk mengusir media milik pemerintah Inggris, BBC, dari sesi jumpa pers Man United selama tujuh tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demikian pula dengan Jose Mourinho yang sering dikatakan sebagai pelatih terbaik dalam satu dekade terakhir. Pelatih asal Portugal tersebut tak pernah sekali pun ragu untuk menyerang lawan. Atau, misalnya, ketika ia mengasingkan seorang legenda klub seperti yang terjadi ketika ia bertikai dengan Iker Casillas di Real Madrid.
Nama Ferguson dan Mourinho sering kali dijadikan contoh bagaimana seorang pelatih di era sepak bola modern tak hanya dituntut untuk memiliki kecakapan meramu taktik, tapi sekaligus juga menghadapi berbagai tekanan dari media atau suporter.
Bahwasanya, butuh pelatih dengan ego besar untuk menangani klub raksasa Eropa.
Namun, Carlo Ancelotti berbeda.
Pelatih asal Italia ini tak pernah tergoda untuk mengikuti arus sepak bola yang acap kali diwarnai perang urat syaraf, teriakan, dan cacian. Satu-satunya emosi yang terlihat dari wajah mantan gelandang AC Milan di era Arrigo Sachi ini adalah ketika alis mata kirinya terangkat mendengarkan pertanyaan media.
Tapi tak sekali pun ia mengangkat suara atau berusaha menjatuhkan mental lawan dengan kata-kata pedas. Ucapannya terkesan datar, monoton, dan seperti politisi handal yang telah dilatih bertahun-tahun untuk tidak terpancing pertanyaan wartawan.
Ketidakmauannya untuk berkonflik juga terasa sedikit ekstrem ketika ia dipecat Chelsea dan Roman Abramovich tak pernah menemuinya untuk memberi alasan pemecatan.
Ancelotti tak pernah marah atau balik menjelek-jelekkan pengusaha Rusia itu. “Saya tak pernah sekali pun berbicara pada Roman. Tapi hal ini tak jadi masalah. Saya tahu bahwa hidup saya seperti ini, bahwa setiap saat saya bisa saja dipecat.”
Tak heran jika asisten pelatih Ancelotti di Real Madrid, Paul Clement, pernah berkata bahwa Ancelotti sama sekali tak memiliki ego. Paolo Maldini, kaptennya semasa melatih AC Milan, juga pernah berkata, “Dari semua manajer yang pernah melatih saya, Ancelotti adalah yang paling tenang memimpin ruang ganti.”
“Ia mendengarkan kami.”
Berbeda dengan manajer lain yang berusaha keras menegaskan keberadaan diri mereka di hadapan dunia, Ancelotti memang terlihat demikian sunyi. Alih-alih berbicara, ia mendengarkan. Ketimbang mengugah emosi dan membangun mentalitas
us against the world pada timnya, ia mendamaikan.
 Iker Casillas sempat dimusuhi oleh beberapa rekannya semasa Jose Mourinho melatih. (Getty Images/David Ramos) |
II
Beda sendiri Ancelotti bukan hanya terlihat dari caranya menangani media atau ruang ganti. Tapi juga di atas lapangan.
Ancelotti adalah seorang pragmatis yang sering kali mengakomodir keinginan para pemilik klub. Ia tidak mencari pemain yang tepat untuk mewujudkan filosofinya di atas lapangan. Justru sebaliknya, prinsip seorang Carlito adalah mencari taktik yang tepat agar semua pemain terbaiknya bisa diturunkan.
“Gaya melatih saya adalah untuk memberikan kesempatan para pemain menjadi nyaman,” ujar pelatih yang kerap dipanggil sebagai Don Carlo tersebut.
Di sana lah, Ancelotti lagi-lagi terlihat datar dan boleh dikatakan sedikit membosankan.
Tak pernah ada kegilaan dalam dirinya sebagaimana yang ditunjukkan Marcelo Bielsa, atau Cesar Luis Menotti. Tak ada kekeraskepalaan ala Pep Guardiola atau Zdenek Zeman yang membuat orang garuk-garuk kepala namun sekaligus berterima kasih pada keduanya karena menghadirkan seni ke atas lapangan hijau. Tak ada pula gairah meletup-letup seperti yang ditunjukkan Diego Simeone atau Juergen Klopp.
Ancelotti akan menggunakan taktik bertahan secara ekstrem bila diperlukan, sebagaimana juga ia akan menjadikan timnya dominan dalam penguasaan bola ketika situasinya memungkinkan.
Sepak bola Ancelotti memang soal keselarasan dan mencari alternatif terbaik. Sepak bola Ancelotti adalah tentang mencari cara untuk mencatatkan kemenangan 22 kali beruntun, meski presiden klub memutuskan untuk menjual dua pemain kunci paling penting –Xabi Alonso dan Angel Di Maria – pada bursa transfer musim panas tanpa persetujuannya.
Tapi, dengan pendekatan pragmatis itulah Ancelotti bisa menjungkalkan pemikiran para kritik yang berkata bahwa Gareth Bale dan Cristiano Ronaldo tak bisa bermain dalam satu tim.
Jika ia berkata “saya bisa menggunakan semua pemain terbaik dalam skuat dan mencari keseimbangan yang pas” maka sebaiknya percaya saja, karena pada suatu waktu ia pernah menggunakan tiga gelandang kreatif, yaitu Clarence Seedorf, Rui Costa, dan Kaka secara bersamaan dan meluluhkan ide bahwa satu tim tak akan bisa bertahan tanpa seorang gelandang bertahan.
Ancelotti memang tidak menyuarakan ide-idenya tentang keindahan, namun menciptakan harmoni. Lalu, dengan mendengar dan menjadi sunyi-lah Ancelotti kemudian menjadi seorang konduktor yang mengkreasikan nada-nada indah dari para pemain.
III
Jauh sebelum Ancelotti menjabat menjadi pelatih Real Madrid, sang presiden, Florentino Perez, telah lama kepincut dengan mantan pelatih Chelsea tersebut. Sejak 2006 lampau, setiap kali keduanya berada dalam satu ruangan yang sama Perez akan berkata, “Carlo suatu saat kamu akan menjadi manajerku.”
Setelah mengalami berbagai penolakan, termasuk dari AC Milan yang mementahkan ide tersebut secara cepat, Perez kemudian mendapatkan keinginannya pada musim panas 2013. Selang tujuh tahun kemudian.
Dan Ancelotti melakukan yang biasa lakukan.
Ia membuang racun dari ruang ganti, memulihkan hubungan Iker Casillas dengan rekan-rekan setimnya, dan mencari formasi yang tepat untuk mengakomodir Gareth Bale, Karim Benzema, Cristiano Ronaldo, Angel di Maria, dan Luka Modric dalam satu tim yang sama. Ia mencari cara agar Diego Lopez dan Casillas bisa bermain bergantian, dan ia juga membuat seorang bek kontroversial seperti Pepe menjadi bek paling bersih di La Liga.
Ia mewujudkan impian terliar Perez, menjadi presiden klub yang mengantarkan gelar Liga Champions kesepuluh. Mengantarkan La Decima.
Tapi, satu tahun berselang, Ancelotti dihadapkan pada satu ketidakpastian sama yang pernah ia hadapi ketika bekerja untuk Silvio Berlusconi atau Roman Abramovich. Sebagai pelatih yang membawa dua gelar di musim pertama, Ancelotti kini terancam tak memiliki masa depan di klub.
Bukan sekadar soal kekalahan di El Clasico. Di musim pertamanya pun karier Ancelotti sebenarnya telah terancam dengan satu-satunya hal yang menyelamatkannya adalah kemenangan di Liga Champions.
Perez yang berulang kali berkata “Carlo suatu saat kamu akan menjadi manajerku,” kini adalah Perez yang hanya mau memberi jawaban bahwa ia tidak akan memecat Ancelotti seusai El Clasico, tapi menolak untuk memberi kepastian nasib Ancelotti musim depan.
Perez juga yang diam-diam sedang mempersiapkan Zinedine Zidane untuk mewarisi kursi pelatih Madrid.
Namun Ancelotti adalah Ancelotti. Sebelum laga El Clasico, dengan santai ia berkata: “Saya tak merasa masa depan saya sedang dipertaruhkan. Beberapa orang mengatakan kesabaran saya tak berbatas, tapi sebenarnya ada batas. Tapi, saat ini saya merasa baik, saya sedang merasa baik, dan saya akan merasa baik.”
Mungkin ia benar. Mungkin Ancelotti memang sedang merasa baik. Ancaman pemecatan ini bukan yang pertama untuknya dan bukan juga menjadi yang terakhir. Toh ia tahu, bahwa hidupnya memang seperti itu, bahwa setiap saat ia bisa dipecat.
Ancelotti hanya akan menjadi seorang Ancelotti yang akan berpindah tempat dan kemudian menciptakan harmoni. Tanpa bunyi. Tanpa suara. Hingga suatu saat kita akan melihatnya lagi menggenggam piala, entah itu gelar domestik, atau Si Kuping Besar di Liga Champions.
Mungkin bersama Manchester City?