Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Final Liga Champions diklaim akan lebih menarik jika Real Madrid yang menghadapi Barcelona, bukan Juventus. Sebuah klaim yang saya amini, sekaligus bantah.
Jika 12 bulan lalu ada orang yang berkata kepada saya kalau Juventus akan melangkah hingga babak final Liga Champions, maka saya akan menganggap orang itu gila.
Bahkan jika saat laga semifinal melawan Real Madrid ada orang yang mengatakan Juventus akan mengalahkan Los Blancos dan melaju ke final, saya akan tetap anggap orang itu tidak waras.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya percaya dengan anggapan “Bola itu bulat”, bahwa semuanya bisa terjadi dalam sepak bola. Tim
underdog bisa membuat kejutan, layaknya kisah David yang mengalahkan raksasa Goliath.
Tapi, saya juga percaya dengan anggapan “Sepak bola itu soal hitung-hitungan di atas kertas”. Tim yang memiliki susunan pemain lebih hebat dan memiliki statistik lebih baik, jelas lebih pantas diunggulkan.
Saya berani bertaruh jika Anda bertanya kepada penggemar Juventus di awal musim ini, saya yakin hampir 90 persen di antaranya tidak akan percaya I Bianconeri bisa melangkah ke babak final Liga Champions.
Begitu juga saya yang merupakan salah satu penggemar Juventus. Kenapa saya sejak awal meragukan Juventus? Karena sejak awal Massimiliano Allegri tidak memiliki sebuah skuat yang bisa memenangi Liga Champions.
Praktis hanya Alvaro Morata dan Patrice Evra, pemain baru yang memberikan perubahan di skuat Juventus.
 Aksi Alvaro Morata yang musim ini pamornya justru berkibar setelah hengkang dari Real Madrid dan bergabung dengan Juventus. (Getty Images/Maurizio Lagana) |
Evra mungkin berpengalaman di Liga Champions, namun bek asal Perancis itu sudah tidak muda lagi. Sementara Morata hanya berstatus pemain cadangan di Real Madrid meski menjuarai Liga Champions musim lalu.
Sepak bola Italia juga tidak mampu berbicara banyak di pentas Eropa dalam beberapa tahun terakhir. Ditambah perginya Antonio Conte di awal musim. Banyak faktor yang membuat Juventus diprediksi tidak akan sukses di Eropa.
Komposisi tim Barcelona, jelas di atas Juventus. Bayangkan, mereka punya trio tersubur di dunia saat ini: Lionel Messi, Luis Suarez, dan Neymar, yang sudah mencetak 120 gol di semua kompetisi musim ini.
Klub asal Katalonia itu juga punya lini tengah dan belakang yang spektakuler. Bahkan seorang Xavi Hernandez pun harus rela duduk di bangku cadangan sepanjang musim ini.
Banyak orang mengatakan dalam sebuah laga final peluang kedua tim adalah 50-50. Itu tidak berlaku jika Anda menghadapi Barcelona. Anda tidak akan pernah mendapatkan peluang hingga 50 persen jika menghadapi Barcelona.
Kenapa begitu? Jawabannya sederhana. Barcelona adalah tim terbaik di dunia saat ini. Tidak ada yang bisa memungkirinya. Barcelona punya segalanya untuk bisa disebut tim terbaik di dunia.
Rebut FionaTapi, bagi Anda penggemar Juventus, jangan berkecil hati dulu. Gianluigi Buffon dan kawan-kawan tetap punya peluang menjuarai Liga Champions. Satu persen peluang tetap bisa menjegal langkah Barcelona.
Seperti yang sudah saya katakan di awal artikel ini, saya percaya dengan anggapan “Bola itu bulat.” Permainan Juventus memang tidak indah. Tapi, I Bianconeri tentunya punya senjata untuk bisa mengalahkan Barcelona. Apa itu? Permainan kaku dan keras kepala.
Juventus mengingatkan saya dengan tokoh kartun Shrek. Permainan Juventus yang kaku dan sering melakukan
backpass, sama dengan tampang tidak meyakinkan milik Shrek.
Tapi, Juventus layaknya Shrek, mampu mengalahkan lawan-lawannya lewat sikap keras kepala. Terus berlari sepanjang 90 menit untuk mendapatkan bola, dan tentunya kuat di lini pertahanan.
Senjata itu, seperti yang dikatakan pelatih veteran Fabio Capello, bisa membuat Barcelona frustrasi di laga final. Sudah menjadi rahasia umum Barcelona suka kesulitan menghadapi tim dengan pertahanan ekstra rapat.
Eks pelatih Barcelona, Josep Guardiola, sempat mengatakan cara terbaik untuk mengalahkan Azulgrana adalah mendapatkan penguasaan bola lebih banyak. Tapi, Juventus bukan tim seperti itu.
Juventus tidak memiliki pemain yang pandai melakukan penguasaan bola kecuali Andrea Pirlo. Juventus dibangun untuk bermain tidak indah dan kaku, setidaknya sejak era Zinedine Zidane berakhir.
Itu sebabnya mereka punya Gianluigi Buffon di bawah mistar gawang, Leonardo Bonucci, Giorgio Chiellini, dan Andrea Barzagli di jantung pertahanan, Arturo Vidal dan Claudio Marchisio di lini tengah, dan Carlos Tevez yang merupakan seorang gladiator di lini depan.
 Inilah benteng terkuat yang dimiliki Juventus dan tegak berdiri di bawah mistar gawangnya, yakni Gianluigi Buffon. (Reuters/Giorgio Perottino) |
Anda tidak akan melihat nama-nama pemain di atas melakukan aksi individu seperti Messi dan Neymar, kemampuan mengumpan dan menguasai bola seperti Andres Iniesta, atau kemampuan menusuk dan tendangan jarak jauh seperti Dani Alves.
Saya pribadi menganggap apapun hasil laga di Berlin, Juventus sudah menjadi pemenang dengan melangkah ke final Liga Champions. Merebut trofi adalah bagaikan bonus di akhir musim.
Kenapa saya beranggapan seperti itu? Karena sudah hampir setengah dekade sepak bola Italia tiarap. Serie A tertinggal jauh dari Liga Primer Inggris, La Liga Spanyol, Bundesliga, dan sekarang mulai tertinggal dari Ligue 1.
Sepak bola Italia seakan mati suri dalam setengah dekade terakhir, terutama sejak Inter Milan menjuarai Liga Champions pada 2010. Dengan Juventus melangkah ke final membuktikan sepak bola Italia belum berakhir.
Juventus berhasil melangkah ke final juga bagi saya adalah layaknya Shrek sukses merebut hati Fiona, kekasihnya di film kartun trilogi karya DreamWorks tersebut. Jadi, apapun hasil di Berlin, saya tetap Forza Juve!
(har/vri)