Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah langkah kecil yang berdampak besar. Itulah yang bisa disematkan pada keputusan seorang warga negara Skotlandia, George Gracie, menuju Brasil pada tahun 1826 yang menjadi sebuah titik sejarah besar dalam dunia bela diri.
Memang, bukan George yang langsung mencatat sejarah setibanya ia di Brasil, melainkan cicitnya, Carlos Gracie dan Helio Gracie di awal 1900-an.
Ayah Carlos dan Helio, yang berarti cucu dari George, Gastao, memiliki usaha sirkus dan dari sini ia bertemu pejudo dari Jepang, Mitsuyo Maeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Carlos belajar teknik judo dari Maeda dan kemudian setelah itu mengembangkan teknik sendiri hingga akhirnya lahirnya sebuah beladiri bernama Jujitsu Brasil.
George kemudian mengajarkan teknik beladiri tersebut kepada para saudaranya termasuk Helio, dan mereka berdua inilah yang kemudian membuat beladiri Jujitsu Brasil menjadi terkenal luas di negara tersebut.
Ketenaran Keluarga Gracie dengan beladiri Jujitsu Brasil nya kemudian tidak lepas dari fakta bahwa mereka menguasai Vale Tudo, sebuah turnamen bela diri campuran yang sudah digelar sejak tahun 1920-an di Brasil.
Seiring dominannya para petarung dari Keluarga Gracie dengan teknik mereka, hal itu makin membuat teknik mereka populer dan digemari.
Dari segi gerakan, Jujitsu Brasil adalah bela diri yang mengutamakan pada kuncian, cekikan, dan makin efektif saat pertarungan dalam posisi
ground fighting.
Jujitsu Brasil sangat memungkin untuk membuat orang yang lebih kecil mengalahkan lawan yang memiliki postur lebih besar. Filosofi mereka adalah menggunakan energi dengan efisien akan membuat sebuah gerakan kecil memiliki dampak yang luar biasa besar.
Dari Generasi ke GenerasiKesuksesan 'generasi pertama' yang dimotori George dan Helio, kemudian terus dilanjutkan kepada anak-anak mereka. Alhasil, Keluarga Gracie semakin besar dan berkembang.
Sejumlah nama tenar hadir di generasi penerus keluarga ini seperti Carlson Gracie, Carlos Gracie Jr., dan Rorion Gracie.
Menguasai beladiri Jujitsu Brasil, masing-masing penerus Keluarga Gracie menempuh jalan hidup yang berbeda, namun hal itu yang justru membuat Keluarga Gracie makin dikenal.
Misalnya saja Carlson yang memilih jalan pertarungan dan sukses membuat namanya terkenal di seantero Brasil lantaran sukses melakukan balas dendam atas kekalahan sang paman, Helio pada Valdemar Santana.
Jika Carlson memilih jalan pertarungan, maka Carlos Jr. memilih untuk membuat Jujitsu Brasil warisan pendahulunya menjadi lebih global.
Carlos Jr. adalah pendiri Federasi Internasional Jujitsu Brasil (IBJJF) yang menjadi payung dari asosiasi jujitsu Brasil dari seluruh dunia. Selain itu, Carlos Jr. juga fokus pada penyebaran Jujitsu Brasil dengan menjadi pelatih di beberapa tempat.
Hal yang berbeda juga terjadi pada Rorion yang merupakan anak tertua dari Helio. Meski memegang sabuk ban hitam tingkat sembilan, Rorion juga lebih memilih untuk melatih dan tidak terjun dalam dunia pertarungan bebas.
Namun tak seperti Carlos Jr., Rorion hijrah ke Amerika Serikat dan menjadi penata gerak sejumlah film laga Hollywood seperti Lethal Weapon.
Dari tangan Rorion ini pulalah, bekerja sama dengan Art Davie dan John Milius, konsep pertarungan bebas di Amerika Serikat mulai dikenal, yaitu lewat Ultimate Fighting Championship pada tahun 1993.
Ultimate Fighting Championship dan Kejayaan Royce GracieSetelah UFC resmi digelar, nama tenar dari keluarga Gracie datang dari Royce Gracie. Ia sukses membuat Jujitsu Brasil makin dikenal luas ke seluruh dunia seiring kesuksesannya menguasai panggung UFC.
Royce adalah juara UFC seri pertama, kedua, dan keempat. Tak dimungkiri, Royce adalah sosok fenomenal di awal berdirinya UFC dan menjadi salah satu petarung yang sukses mengangkat pamor UFC.
Dalam tiap pertarungannya, Royce sukses mengalahkan lawan-lawan yang lebih besar darinya. Setiap lawan tersebut sukses dijatuhkan Royce dan kemudian ia mengunci lawan tersebut dengan berbagai teknik kuncian sampai akhirnya sang lawan menyerah.
Sejak keikutsertaan Royce di UFC, dari seri satu hingga lima, Royce tidak pernah mengalami kekalahan.
Ia gagal menjadi juara UFC seri ketiga lantaran mengundurkan diri usai mengalahkan Kimo Leopoldo di babak perempat final. Saat itu Royce mengalami dehidrasi.
Satu hal yang menarik dari era awal UFC adalah rivalitas Royce dengan legenda UFC lainnya, Ken Shamrock.
Royce mengalahkan Shamrock di semifinal UFC 1 dan kemudian mereka berdua gagal bertemu di UFC 2 karena Shamrock cedera.
Gambaran rivalitas mereka berdua makin terasa saat Shamrock memutuskan mundur dari final UFC 3 karena dirinya mengetahui bahwa Royce sudah mengundurkan diri terlebih dulu.
Keduanya akhirnya kembali bertemu di final UFC 5. Royce yang saat itu belum pernah terkalahkan kembali berhadapan dengan Shamrock yang memang penasaran ingin balas dendam.
Duel keduanya berlangsung seru. Shamrock sukses memperlihatkan pertarungan imbang. Jika banyak lawan-lawan Royce sebelumnya yang sudah menyerah dalam hitungan kurang dari 10 menit, Shamrock mampu terus berduel hingga 30 menit plus enam menit waktu tambahan.
Hasil akhir pertarungan ini adalah seri yang kemudian memunculkan sejumlah debat di publik. Rasa penasaran makin meningkat karena Royce kemudian memilih untuk tak lagi bermain di UFC usai UFC seri kelima.
Rivalitas hebat ini pula yang kemudian membawa keduanya menjadi dua orang pertama yang masuk Hall of Fame UFC pada tahun 1993.
"Kami merasa bahwa tidak ada dua orang di luar mereka ini yang layak untuk menerima penghargaan ini."
"Kontribusi mereka terhadap UFC, baik di dalam maupun di luar Oktagon (arena pertarungan), tidak akan bisa disamai oleh yang lainnya," ujar Presiden UFC Dana White saat memberikan sambutan.
(ptr)