LIPUTAN KHUSUS

Mencari Akar Persebaya

Arby Rahmat | CNN Indonesia
Selasa, 08 Sep 2015 15:24 WIB
Pada mulanya, Persebaya bukan hanya sekadar klub sepak bola namun sebentuk perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Simbol Buaya dan Hiu yang digunakan dalam logo Persebaya. (Dok. Istimewa)
Surabaya, CNN Indonesia -- Bagi seorang pemerhati sejarah yang telah jatuh cinta dengan kota Surabaya selama tiga puluh tahun lebih, Dhahana Adi, sepak bola adalah bagian kecil dari kota Pahlawan yang cukup membanggakan.

Di Persatuan Sepak-bola Surabaya (Persebaya) lah para pecinta sepak bola Jawa Timur menumpahkan semangat untuk mendukung tim kesayangan yang telah berdiri sejak 18 Juni 1927 itu.

Kepada CNN Indonesia, Dhahana yang biasa dipanggil Ipung, kemudian bertutur mengenai perkembangan Persebaya dari zaman penjajahan Belanda sampai era sekarang ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, Persebaya sendiri hingga tahun 1980-an merupakan representasi dari berbagai entitas, seperti etnis Tionghoa, atau Arab, dan juga kumpulan dari beberapa klub kecil.

"Sepak bola Surabaya itu berangkat dari kultur yang mengakar, karena rasa 'Ini kotaku, ini wilayahku Surabaya terdiri dari berbagai subkultur'. Ya otomatis untuk menyatukan itu terwujudlah semangat yang tinggi. Semangat heroik,"  kata penulis Surabaya Punya Cerita tersebut saat ditemui di C2O Library & Collabtive, Rabu petang (2/9).

"Simbol Bonek (Bondo Nekat, sebutan untuk pendukung Persebaya) itu sebenarnya representasi dari sikap, 'Ini punyaku, ini identitasku'."

Ipung melihat bahwa ada kalanya rasa kepemilikan terhadap Persebaya tersebut mewujud pada suatu yang negatif, terutama karena sense of belonging yang terkadang tidak memiliki arah.

"Bisa juga kebablasan yang tidak bertanggungjawab. Sejauh yang saya tahu, yang namanya rasa kepemilikian selalu berhubungan dengan semangat yang tinggi, self belonging, dan self-awareness."

Berdasarkan literatur-literatur dan berbagai sumber lain yang dipelajari oleh Ipung, dahulu Persebaya didirikan oleh M. Pamoedji dan Paidjo dengan nama SIVB (Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond) atau perserikatan/perkumpulan sepak bola Indonesia Surabaya.

Ipung memperkirakan bahwa pada waktu itu Pamoedji membuat SIVB hanya sebentuk tandingan dari pribumi untuk tim sepak bola Belanda di Surabaya bernama Sorabaiasche Voetbal Bond (SVB) yang sudah lebih dahulu eksis sebelum SIVB -- hanya untuk menunjukkan bahwa pribumi bisa bermain sepak bola.

Pria berusia 31 tahun ini menuturkan bahwa ada sesuatu yang unik dari pemilihan kata "Indonesische" pada nama SIVB yang diberikan Pamoedji. Pasalnya, tutur Ipung, nama Indonesia sendiri baru pertama kali muncul pada 1922 dari Mohammad Hatta.

"Pada 1927, pertama kali dipakai oleh Pamoedji. Kenapa Pamoedji begitu yakin menamakan ini SIVB? Padahal pada tahun-tahun itu, sebuah perlawanan masih memakai nama Indische, atau Hindia Belanda."

"Ini perlu dikaji ulang, kenapa kok Pamoedji seperti itu? Di usia 22 tahun beliau sudah berpikir ke depan."

Meski banyak sumber mengatakan Persebaya lahir pada 18 Juni 1927, Ipung berpendapat bahwa tanggal pasti berdirinya Persebaya masih diteliti sampai detik ini.

"Karena saya mencoba merujuk ke Leiden -- Belanda -- sana, belum menemukan secara pasti ada kejadian dan peristiwa apa yang membuat Pamoedji dan kawan-kawannya membuat perserikatan seperti itu. Tapi yang jelas di dalam buku orang-orang Jawa ternama di Indonesia tahun 1942-an, ada Pamoedji di Persebaya," ucapnya

Mata Rantai yang Terputus

Sebutan SIVB bertahan dari tahun 1927 sampai tahun 1940-an. Memasuki era penjajahan Jepang di Indonesia, SIVB berubah menjadi Persibaja (Perserikatan Sepak-bola Indonesia Surabaja) sampai dengan kurang lebih tahun 1960-an.

Ipung menyayangkan bahwa ketika memasuki zaman kolonial Jepang, bentuk evolusi sepak bola Surabaya selanjutnya kurang diperhatikan. "Kalau waktu Belanda kan kelihatan sebagai bentuk perlawanan. Kalau setelahnya bagaimana? Apakah sudah menjadi sebuah badan hukum, atau formal?"

"Terus pasca Indonesia merdeka. Jangankan sepak bola tapi seluruh olahraga di negeri ini masih dianggap sesuatu yang tidak bisa memberikan nilai lebih bagi nasionalisme," katanya.

Sejalan dengan perubahan ejaan lama ke ejaan baru, pada 1950-an Persibaja pun berubah nama menjadi Persebaya (Persatuan Sepak-bola Surabaya) dan dipimpin oleh Dr. Soewandi.

Menurut Ipung, sepak bola surabaya sudah membaik dengan masyarakat kota yang merasa bahwa Persebaya adalah sebuah perserikatan. "Tapi tetap belum bisa menunjukkan bahwa Persebaya ini sebuah nilai atau identitas dari kota Surabaya yang direpresentasikan oleh olahraganya," tutur Ipung.

Dari 1950, Persebaya kemudian terus mengalami perubahan dengan munculnya campur tangan dari berbagai pihak, di antaranya militer. Ipung berpendapat, bahwa evolusi yang terus terputus ini lah yang menyebabkan pondasi Persebaya sebagai perserikatan ini kurang kokoh.

"Bukan tidak kuat ya, tapi kurang kuat. Sehingga saat ini pun Persebaya masih dianggap sebagai perkumpulan biasa, jadi bukan badan hukum atau lembaga yang merepresentasikan kota Surabaya."

Ipung melihat kurang kuatnya pondasi nilai Persebaya tersebut adalah salah satu penyebab terjadinya dualisme Persebaya. "Kalau ada dualisme itu saya lihat karena balik lagi kurang dipahaminya nilai-nilai sejarah, nilai-nilai kultural yang mendasari perserikatan Persebaya," ucapnya. (vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER