Jakarta, CNN Indonesia -- Tujuh orang anak kecil yang mengenakan baju tradisional Tanah Minang terlihat duduk sembari bercengkrama di satu sudut Pantai Gandoria, Kota Pariaman, Sumatera Barat, Sabtu (3/10) sore.
Tak jauh dari tempat mereka duduk, ada setumpuk gendang berukuran agak besar. Tambua dan Tasa, begitulah mereka menyebut alat musik pukul ini.
Anak-anak yang masih duduk di kelas 5 sekolah dasar ini menjadi salah satu pengisi acara panggung hiburan yang diadakan bersamaan dengan gelaran Tour de Singkarak 2015. Ya, hari itu, Pantai Gandoria menjadi titik finis etape I ajang balap sepeda tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbincang dengan
CNN Indonesia, ketujuh anak tersebut mengaku sangat senang bisa terpilih menjadi pengisi acara itu. “Senang, nanti dapat uang banyak,” ujar mereka sembari tertawa riang.
Sebuah jawaban spontan yang sangat manusiawi untuk usia mereka. Menunggu selama berjam-jam, senyum mereka masih saja tak hilang dari wajah lugunya.
Uniknya, ada celetukan lucu lainnya yang kemudian terlontar dari bibir-bibir mungil itu. Mereka mengaku senang bisa tampil di acara bergengsi tersebut. “Biasanya hanya di baralek (Pesta Pernikahan di Sumatera Barat),” kata salah satu anak bernama Jordi. “Tapi lebih suka main di sini (Tour de Singkarak), karena nanti ditonton orang
bule.”
Antusias Penuh KeikhlasanTour de Singkarak, bukan lagi sekadar ajang balap sepeda. Ada kebanggaan masyarakat Sumatera Barat terselip di setiap pekik gembira menyambut acara ini.
Jordi dan kawan-kawan bisa saja berpikir soal honor mereka tampil di acara itu, tapi siapa yang tahu detail yang terjadi?
Buyung, begitu ia minta disapa, merupakan guru di Sekolah Dasar 04 Cubadak Air, Pariaman Utara. Buyunglah yang mengawal Jordi dan kawan-kawan hingga menanti berjam-jam di bawah terik matahari di Pantai Gandoria.
Menurut Buyung, ia baru dihubungi pihak dinas pariwisata setempat, satu hari sebelum acara digelar. “Beruntung ini memang kegiatan ekstra kurikuler mereka (Jordi cs), jadi tidak perlu latihan khusus lagi,” kata Buyung.
Honor yang menjadi salah satu daya tarik para bocah kecil ini, ternyata justru dirogoh dari kantong sekolah. Buyung mengaku pihak dinas pariwisata tidak memiliki dana yang cukup.
“Jadi kami hanya butuh undangan resmi agar bisa mengeluarkan dana dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS),” ujarnya menambahkan.
Buyung menjelaskan, pihak sekolah menilai, jauh lebih penting untuk semakin memperkenalkan budaya tradisional yang merupakan salah satu bentuk kekayaan daerah, ketimbang rupiah. Keikhlasan muncul, kala kebangaan itu begitu merasuk di jiwa.
Selamat datang di Tanah Minang!
(vws)