Jakarta, CNN Indonesia -- 20 tahun telah berlalu namun ada satu hal sama yang dialami Vita Marissa. Masuk Pelatnas Cipayung.
Rabu pagi, di lapangan di sudut kiri pelatnas Cipayung, Vita terlihat memegang setumpuk
shuttlecock di tangan kirinya. Di tangan kanannya, tak ada raket yang tergenggam karena baru saja ia letakkan di pinggir lapangan.
Tak lama kemudian, Vita melemparkan shuttlecock tersebut ke seberang net yang langsung disambut oleh pukulan pemain-pemain ganda campuran. Tak jarang di sela-sela lemparan
shuttlecock-nya Vita memberikan saran dan nasihat kepada para pemain muda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senyum menghias wajah Vita meskipun peluh terus mengalir membasahi wajah dan tubuhnya.
---------------------------------
Tahun 1996, Vita masuk pelatnas pada usia 15 tahun. Vita kemudian menghabiskan 13 tahun berikutnya sebagai anggota pelatnas. Dari mulai berstatus sebagai pemain muda, Vita bertransformasi sebagai salah satu pemain putri terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.
Tahun 2016, 20 tahun berselang setelah pemanggilan pertama dan tujuh tahun setelah Vita keluar dari pelatnas, Vita kembali mendapatkan pemanggilan masuk pelatnas.
"Kalau dilihat ternyata waktu sudah berjalan lama sekali. Tahun 1996 itu bahkan Rafiddias (Akhdan) baru lahir," ujar Vita sambil tertawa.
Dasar pemanggilan Vita adalah janji PBSI untuk memberikan tiket masuk pelatnas bagi para pemenang Kejurnas Bulutangkis 2015. Pada awalnya Vita menegaskan tak akan kembali ke pelatnas, namun akhirnya Vita kembali menjejakkan kaki di Pelatnas Cipayung, tempat yang memberikannya kisah manis-pahit dalam hidupnya.
"Saya berpikir bahwa ini adalah kesempatan emas bagi saya untuk belajar hal baru. Saat ini saya di pelatnas hanya bantu-bantu meskipun status masuknya sebagai juara Kejurnas."
"Saya bukan lagi pemain aktif yang ikut turnamen, bukan pula asisten pelatih. Lebih tepat disebut sparring partner. Saya bisa ikut membantu latihan pemain yang akan ke Olimpiade dan juga pemain muda di sini," tutur Vita.
 Vita Marissa berharap bisa menggali ilmu kepelatihan sebanyak mungkin di Pelatnas Cipayung sekaligus membantu pemain muda untuk berlatih. |
Vita memutuskan untuk gantung raket pada usia 35 tahun karena merasa sudah mencapai titik jenuh. Namun kecintaannya pada bulutangkis tak membuatnya benar-benar jauh dari olahraga ini.
"Tentu tetap ada rasa jenuh pada bulutangkis karena saya sejak kecil sudah terus bergelut dengan olahraga ini. Namun saya tak bisa membantah bahwa passion saya ada di sini."Vita Marissa |
"Saya memutuskan gantung raket dari turnamen internasional karena sudah merasa ini waktu yang tepat. Sebenarnya saya bisa saja tetap bermain dan bersaing di kompetisi internasional, namun tentunya saya tak akan memulai hal baru bila terus bermain."
"Tentu tetap ada rasa jenuh pada bulutangkis karena saya sejak kecil sudah terus bergelut dengan olahraga ini. Namun saya tak bisa membantah bahwa passion saya ada di sini," ujar Vita memberikan alasan dirinya tetap memilih diam di dunia bulutangkis usai pensiun sebagai atlet.
Jadi Pelatih Lebih SulitDalam mimpinya jadi pelatih yang hebat, Vita menyadari bahwa hal tersebut akan lebih sulit dilakukan ketimbang keberhasilannya semasa jadi pemain.
"Sebagai atlet, saya cukup memikirkan diri saya sendiri. Bila saya sudah latihan dan siap tampil, maka semuanya akan lancar, namun tidak demikian halnya dengan menjadi pelatih."
"Banyak hal yang harus dipikirkan, dan sebagai pelatih harus memikirkan beberapa pemain, tidak hanya satu pemain saja. Beberapa hari di sini saja saya sudah mendapatkan banyak hal berharga dan saya rasa akan semakin banyak pelajaran yang saya dapat," kata mantan duet Liliyana Natsir di nomor ganda putri ini.
Menurut Vita, jadi pelatih bukan semata-mata urusan teknik, melainkan seluruh aspek yang ada di dalam diri pemain.
"Saya tak bisa hanya mengulangi pengalaman saya sebagai pemain saat jadi pelatih. Saya harus benar-benar mengenal karakteristik tiap pemain yang nantinya dilatih."
"Percuma setiap teknik dipelajari kalau pelatih tak bisa mengatasi masalah non-teknis pemain, misalnya pemain yang terlalu gugup di lapangan. Pelatih harus bisa mengatasi hal itu agar seluruh teknik yang dipelajari bisa dikeluarkan saat pertandingan," ujar Vita yang sempat mengalami cedera bahu parah pada tahun 2004 ini.
 Vita Marissa mengakui bahwa jadi pelatih yang kompeten tidaklah mudah dilakukan. |
Vita sendiri tak benar-benar berangkat dari titik nol dalam perjalanannya merintis karier jadi pelatih.
Di tahun-tahun terakhirnya sebagai atlet, Vita sering berpasangan dengan pemain-pemain muda. Insting Vita telah terasah untuk memberikan bimbingan bagi para atlet-atlet muda.
Namun Vita sendiri menganggap hal tersebut tidaklah benar-benar berpengaruh signifikan.
"Saat bermain dengan pemain muda, saya ada di lapangan. Saya bisa turut mengatur dan ada di samping mereka."
"Sebagai pelatih, tentu hal tersebut tidak bisa dilakukan, saya harus bisa mempersiapkan pemain saya agar bisa bertanding dengan baik," tutur Vita menegaskan.
Selamat Berjuang Vita Marissa!
(ptr)