Jalan Berdarah Atlet Imigran Kongo Menuju Rio

AFP/Vetriciawizach | CNN Indonesia
Selasa, 26 Apr 2016 18:19 WIB
Tanpa uang, tanpa pekerjaan, tanpa bisa berbahasa Portugis, Popole Misenga mengungsi dari Kongo ke Brasil. Di sana ia menemukan sebuah harapan.
Ilustarasi atlet judo. (Thinkstock/OSTILL)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kebengisan mungkin terdengar sebagai hal yang bagus di ajang bela diri, tapi ketika Popole Misenga mulai berlatih untuk tim Judonya di Olimpiade, ia dianggap sang pelatih terlalu bengis -- "brutal".

Tapi Misenga memang bukan atlet biasa. Timnya yang terdiri dari para imigran di seluruh dunia juga bukan skuat biasa.

Judoka asal Kongo itu sedang menempa dirinya agar bisa berkompetisi di Olimpiade Rio pada Agustus ini. Mereka adalah tim tanpa negara pertama dalam sejarah, yang terdiri atas para pengungsi dari negara-negara yang sedang berkonflik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Suatu harapan untuk mereka yang kehilangan.  

Sebagai putra dari Republik Demokratis Kongo yang lahir dari perang pada 1998-2003, yang menewaskan jutaan orang dan membuat jutaan lainnya tanpa rumah, atlet 24 tahun itu telah ditempa teror, kelaparan, dan juga keputusasaan.

Dan ketika ia pertama kali berlatih di Brasil, negara tempatnya mencari suaka, rekannya sesama pemegang sabuk hitam tak tahu cara menghadapinya.

"Ia sangat brutal," kata Geraldo Bernardes, pelatih veteran asal Brasil yang menangani empat tim Olimpiade. Bernardes juga menangani atlet-atlet lainnya di Institusi Reacao, lembaga swadaya masyarakat yang memiliki pusat pelatihan untuk para atlet imigran.

Bernardes mengatakan sang imigran yang memiliki rambut gimbal pendek dan juga tubuh kekar itu, sempat menimbulkan kekacauan di klub judonya. Padahal klub itu adalah tempat yang sangat menghargai rasa saling hormat dan juga kepatuhan pada otoritas dan peraturan.

Di tempat itu para penduduk lokal kesulitan memahami kisahnya yang tragis.

"Ada atmosfer yang sangat tidak bersahabat," kata sang pelatih. "Ia melukai beberapa atlet lainnya."

Tapi itu satu tahun yang lalu. Misenga yang kini tinggal di perkampungan kumuh Rio dengan pasangannya, Fabiani, dan putra mereka yang masih berusia satu tahun, dan tiga anak Fabiani lainnya, telah melunak.

Bagaimanapun juga, setelah masuk tim imigran, nasibnya mulai berubah.

Jalan Penuh Kekerasan Menuju Rio

Misenga belajar Judo di tenda pengungsian setelah ia meninggalkan Bukavu yang terletak di daerah Kongo Timur. Hingga hari ini tempat itu dipenuhi kekerasan, meski perang telah berakhir.

Ibunya telah meninggal dunia. Ia tak pernah mengetahui keberadaan ayahnya, dan ia terpisah dari dua saudari dan saudaranya. Ingatan masa kecilnya penuh gambaran soal ia yang masih seorang bocah harus belajar bersembunyi di hutan seorang diri.

Misenga dengan cepat menguasai teknik-teknik judo dan menjadi juara nasional Kongo. Tapi ia merasa olahraga itu memperbudaknya dan tak bisa mengisi kekosongan hidupnya yang disebabkan oleh perang.

"Hidup saya adalah untuk berlatih, berlatih, berlatih, berlatih. Satu hal yang saya selalu saya pikirkan adalah caranya menang," katanya. "Saya sangat sedih dan gugup."

Metoda latihannya sangat brutal -- menurutnya ketika coba menjelaskan 'kebengisannya' di atas karpet judo.

"Mereka dilatih untuk selalu menang tanpa alasan apapun," kata Bernardes ketika Misenga bersiap-siap untuk satu sesi latihannya di Rio.

"Ketika mereka kalah, mereka dikunci di suatu ruangan dan pasokan makanan dikurangi separuhnya selama beberapa hari."

Pada 2013, Misenga, yang berkompetisi di kategori di bawah 90 kilo gram, pergi ke Rio de Janeiro untuk mengikuti Kejuaraan Dunia Judo. Kupon makanannya dicuri oleh pengurus tim dan ia kalah di putaran pertama.

Baginya itu adalah batas terakhir.

Tanpa bisa berbicara bahasa Portugal sepatah kata pun, tanpa uang, dan dipisahkan lautan dari keluarganya, Misenga dan juga seorang Judoka putri Kongo, Yolande Mabika, kabur. Mereka kemudian menemukan tempat pengungsian orang-orang Afrika lainnya di Bras de Pina Favela.

"Ini sangat rumit," kata Misenga dengan suara hampir berbisik. "Saya tak punya tempat untuk tidur, tanpa makanan, tanpa kerja."

Pahlawan Lokal

Perkampungan kumuh Rio seperti Bras de Pina mungkin tidak terlihat seperti tempat paling baik di dunia untuk seorang pengungsi.

Para pengedar narkoba mengendalikan gang-gang di dekat apartemen Misenga, tempat ia dan Fabiana dan juga keempat anak mereka berbagi satu kamar. Tanpa ventilasi dan hanya memiliki dapur kecil dan sebuah sofa.

Sebuah barikade menghalangi ujung jalan satunya, dan ada beberapa lubang peluru di tembok apartemennya. Sampah dan kondom berserakan di tanah.

"Di sini tidak ada perang seperti di kampung halaman saya, tapi ada para pengedar obat. Para preman menembakkan pistol, dan polisi pun demikian," katanya.

Tapi bukan hanya kriminal yang mengelilingi rumahnya, namun para tetangga yang menyambutnya hangat dan memanggilnya "Popole!" ketika ia melintas di jalan.

"Ia seperti Hulk," kata seorang tetangga yang mengaguminya. "Ia akan mengalahkan semua orang."

Dengan diterima oleh Komite Olimpiade Internasional untuk masuk ke dalam tim imigran, Misenga akan mendapatkan pemasukan sehingga ia tak perlu lagi bekerja sebagai buruh bangunan untuk menyambung hidup.

Ia bisa makan dengan layak.

Misenga juga mendapatkan kursus bahasa Portugal yang ia harapkan akan membantunya ketika menjadi operator mesin-mesin besar saat pendapatannya dihentikan.

Senyum lebar mengembang di wajahnya ketika ia menyaksikan Elias bermain di tanah. "Ia sangat kuat. Ia akan menjadi seorang petarung," kata Misenga.

Suatu hari nanti, mungkin Misenga akan bertemu dengan keluarganya kembali.

"Ia bermimpi untuk membawa mereka ke Brasil," kata Fabiana.   

Beberapa yang Beruntung

Untuk bisa sampai ke pusat kebugaran Reacao dari kampung tempat tinggalnya, Misenga harus melewati perjalanan membelah kota setidaknya selama dua jam menggunakan tiga bus. Setelah berlatih, jauh ketika malam larut, Misenga menjalani perjalanan pulang yang sama.

Di pusat kebugaran itu Misenga terlihat sebagai sosok yang kesepian. Seragamnya, yang biasa disebut Judogi, jauh dari kata baru dan ia tak pernah bercengkrama dengan atlet-atlet Brasil yang telah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun.

Tapi Bernardes mengatakan para atlet imigran ini telah mengalami peningkatan besar, terutama dalam soal solidaritas yang diajarkan para guru.

Di awal Juni nanti, daftar kandidat atlet imigran diperkirakan akan dipotong menjadi lima hingga 10 orang, berdasarkan tingkat kemampuan, status imigran, dan juga latar belakang pribadi.

Kandidat lainnya adalah Yusra Mardini, seorang perenang asal Suriah, yang mencapai Eropa lewat perjalanan laut yang membahayakan. Kompatriot Misenga dari Kongo, Mabika, berharap bisa mewakili tim Judo perempuan.

Beberapa dari mereka yang beruntung akan mengikuti parade di perayaan pembukaan, di bawah bendera Olimpiade.

Misenga tahu untuk siapa ia akan bertarung: "Saya akan mewakili seluruh imigran di dunia."

(vws)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER