Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Lionel Messi mengangkat kostum menutupi sebagian wajahnya saat eksekusi penalti Lucas Biglia berhasil diblok Claudio Bravo.
Messi tak akan bersorak untuk keberhasilan Bravo itu, meski keduanya sama-sama bermain untuk Barcelona. Hari itu mereka berbeda. Bravo berkostum Chile, sedangkan Messi membela Argentina. Saat Bravo berlari gembira bersama rekan-rekannya, di saat itu pula Messi coba menahan air mata yang terus memaksa keluar dari persembunyiannya.
Messi adalah kualitas yang belum tentu muncul di tiap dekade sejarah sepakbola dunia. Messi adalah bakat hebat yang berhasil dioptimalkan penggunannya. Messi adalah 10, nilai sempurna seperti nomor punggung yang digunakannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi itu semua adalah cerita Messi di Barcelona. Di Argentina, Messi adalah sosok berbeda. Itulah cerita yang diyakini kebenarannya oleh banyak mata, termasuk mungkin oleh Messi sendiri.
Di era Messi, Argentina kembali ke papan atas sepakbola dunia. Dalam tiga tahun terakhir, Messi mampu membawa Argentina masuk final Piala Dunia dan dua kali Copa America. Namun pada akhirnya, semua tak berarti apa-apa karena tak satupun perjalanan yang berujung juara.
Sejarah hanya mencatat nama sang pemenang, dan si nomor dua tetaplah kecundang. Kejam, tapi demikianlah kenyataan.
Kalah di final, tiga kali beruntun, merupakan puncak dari kata bernama keterpurukan. Kalah di final adalah hal yang paling menyakitkan, dan tiga kali kalah di final itu berarti rasa sakit yang terus menyiksa secara konstan.
Messi akhirnya tak tahan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, Messi mundur dari tim nasional Argentina.
Banyak yang menilai keputusan Messi adalah bentuk pertanggungjawaban dan juga ekspresi kekecewaan. Namun di sisi lain, pengunduran diri Messi ini juga bisa jadi sebentuk jurus pertahanan awal sebelum serangan kritik datang.
Tanpa keputusan mundur, mungkin saat ini Messi sedang gencar diserang kritik publik dan media Argentina. Tapi saat ini cerita lebih banyak bergulir pada ucapan simpati dan dorongan semangat untuk sang megabintang.
Sulit membantah asumsi bahwa Messi tak bahagia bermain bersama Argentina. Bukan soal kondisi tim dan atmosfer ruang ganti, tetapi lebih kepada Messi menempatkan posisi dirinya di seragam putih-biru langit.
Setiap pesepak bola hanya memiliki minim kesempatan untuk bisa berprestasi dan mengharumkan nama negara: Piala Dunia yang merupakan puncak tertinggi dan Piala Kontinental seperti Piala Eropa dan Copa America.
Beda halnya ketika melihat sosok Messi bersama Barcelona. Kesempatan untuk berprestasi akan datang tiap tahun dan tak cuma ada di satu titik. Gagal juara La Liga tetapi mampu memboyong trofi Liga Champions, hal itu masih masuk dalam tataran musim yang sukses.
Messi sudah sukses di Barcelona sejak usia muda dan hal itu semakin memperingan langkah Messi di musim-musim berikutnya. Tak ada yang mempertanyakan kapasitas dan kemampuan Messi di Barcelona meskipun tak setiap tahun Messi memberi gelar untuk Barcelona. Messi bisa bermain dengan gembira dan prestasi individu Messi tetap konsisten di level luar biasa.
Bila prestasi demi prestasi, baik tim maupun individu, yang membuat Messi semakin percaya diri di Barcelona, maka hal itu justru berefek terbalik saat Messi memakai kostum Argentina.
Sukses-sukses Messi di Barcelona tak ubahnya seperti labirin yang menjerat Messi saat bermain untuk Argentina. Labirin menuju sukses semakin sulit ditemukan jalan keluarnya lantaran tekanan semakin besar akibat Argentina juga sudah lama tak menggengam gelar juara.
Dan ketika kegagalan di partai final sudah menyentuh angka ketiga secara beruntun (empat secara keseluruhan), Messi memilih untuk terduduk pasrah tak bisa menemukan jalan keluar menuju sukses bersama Argentina.
Pada akhirnya, kehebatan Messi tak lebih besar dari keagungan sepakbola itu sendiri. Messi tetap bisa dikecewakan dan terluka karena sepakbola.
Sebagaimana publik mengagumi catatan individu Messi, seperti halnya publik terpana oleh kejutan Leicester City, maka menyimak kegagalan demi kegagalan Messi bersama Argentina adalah sebuah jalan untuk terpesona atas keindahan dan kehebatan sepakbola.
(vws)