Jakarta, CNN Indonesia -- Peringatan Hari Olahraga Nasional dimulai pada 9 September 1983 dan dua tahun kemudian, dunia olahraga Indonesia mendapatkan kado indah lewat kelahiran Liliyana Natsir.
Liliyana adalah fenomena. Ia sudah mempesona sejak usia muda. Tak butuh waktu lama bagi Indonesia, dan juga dunia, untuk mengenal namanya.
Saat usianya baru akan menginjak 20 tahun, Liliyana sudah jadi juara dunia. Ia adalah secercah harapan di tengah makin sulitnya Indonesia bertahan dari gempuran China satu dekade lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Liliyana adalah simbol dari perlawanan Indonesia saat China mulai mencengkramkan cakarnya kuat-kuat ke lima nomor yang ada di bulutangkis.
Dengan adanya Liliyana, taji Indonesia masih terasa kuat dalam satu dekade terakhir. Nama Indonesia pun tak sepenuhnya hilang dari riuhnya persaingan dunia bulutangkis yang semakin ketat berkat kehebatan dirinya.
Liliyana adalah simbol perjuangan nomor ganda campuran. Nomor yang selama ini diabaikan dan dianggap sebagai pelengkap, kini menjelma jadi andalan dan selalu diharapkan.
Saat banyak orang yang meragukan Indonesia tak akan lagi memiliki pebulutangkis putri sehebat Susy Susanti, Liliyana hadir sebagai jawaban.
Liliyana memang tak bertarung sendirian di lapangan seperti halnya Susy, namun karisma yang dimilikinya sudah sejajar Susy dan sederet legenda bulutangkis Indonesia lainnya.
Jalan untuk berprestasi memang sulit, namun jalan untuk konsisten berprestasi pasti lebih rumit. Liliyana terbukti sukses lolos melewati dua jalan tersebut.
Usai jadi juara dunia 2005, Liliyana konsisten berada di papan atas, dari tahun ke tahun tanpa pernah sesaat pun kehilangan pamor sebagai pemain berkualitas.
Saat Nova Widianto pergi dari sisinya lantaran masa pensiun telah memanggilnya, Liliyana membuktikan bahwa jalan miliknya adalah jalan juara. Ia tak butuh waktu lama untuk melesat ke habitatnya di papan atas bersama Tontowi Ahmad.
Deretan gelar juara tak datang begitu saja ke hadapan Liliyana. Ada usaha keras dan kepercayaan diri di balik itu semua, baik itu saat masa persiapan maupun ketika pertempuran.
Liliyana, bersama Tontowi ketika itu, mengajarkan bahwa kesempatan tetap terbentang meskipun mereka sudah di pinggir jurang kekalahan.
Melihat bagaimana mereka menang 22-20 di game ketiga final Kejuaraan Dunia 2013 atas Xu Chen/Ma Jin setelah sebelumnya tertinggal 18-20 dan menghadapi dua match point lawan, sudah jadi contoh paling pas bagaimana seharusnya seorang atlet terus berjuang di lapangan.
31 tahun selepas kelahirannya di tahun 1985, gelar Liliyana kini sudah sempurna seiring kalungan medali emas Olimpiade yang akhirnya ia dapatkan di Olimpiade ketiga dalam kariernya. Gelar juara dunia, emas Olimpiade, trofi All England, dan sederet titel super series sudah dimenanginya.
 Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir saat jadi juara Olimpiade 2016. (REUTERS/Mike Blake) |
Namun umur 31 yang kini digenggamnya pun membuat namanya semakin dekat dengan batas waktu edarnya sebagai seorang atlet. Suara panggilan pensiun semakin datang mendekat.
Andaikata Liliyana sudah benar-benar pensiun nantinya, ia tak perlu banyak bicara tentang kehebatannya. Cukuplah setumpuk trofi dan piala yang akan bersaksi untuknya.
Di luar trofi dan semua titel juara yang pernah dimenanginya, tolok ukur kebesaran Liliyana lainnya adalah saat dirinya menyimak banyak pebulutangkis muda di masa depan berkata:
'Saya dulu bermain bulutangkis karena terinspirasi Liliyana Natsir semasa kecil.'Selamat ulang tahun, Liliyana Natsir!
(ptr)