Jakarta, CNN Indonesia -- Nyaris 39 bulan lalu, Indra Sjafri dan tim nasional U-19 menorehkan tinta emas dalam sejarah sepak bola Indonesia dengan menjuarai Piala AFF U-19. Gelar di level junior itu menjadi satu-satunya pemuas dahaga di tengah kemarau gelar dalam dua dekade terakhir.
Sebelum timnas U-19 mengangkat piala, terakhir kalinya publik sepak bola Indonesia merayakan kejayaan adalah pada SEA Games 1991.
Perjuangan Evan Dimas dan kawan-kawan saat menggondol juara Piala AFF U-19 juga tergolong berat. Kemenangan di partai final didapatkan melalui adu penalti setelah pertandingan imbang 0-0 di waktu normal. Esok hari, timnas senior juga menghadapi beban yang sama di final leg kedua Piala AFF 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indra mengungkapkan, hal terpenting yang ia jaga saat menghadapi final melawan Vietnam pada 2013 adalah mental para pemain. Meski demikian, Indra tak terlalu ketat dalam menerapkan aturan dan hanya punya beberapa pembatasan.
Misalnya, para pemain tidak diperbolehkan memegang alat komunikasi berupa telepon genggam ketika akan tidur.
Indra menilai, para pemainnya yang berusia 18-19 tahun dan punya rasa ingin tahu cukup besar, saat itu bakal menggunakan media sosial untuk mengisi kekosongan waktu sehingga waktu istirahat mereka tidak maksimal, seperti mengobrol via Whatsapp atau BBM.
Tapi, ada waktu-waktu ketika mereka boleh memegang telepon genggam untuk berkomunikasi dengan keluarga. Menurut pria 51 tahun itu, menghubungi keluarga jadi salah satu hal penting dan mampu menyuntikkan semangat untuk pemain jelang pertandingan.
"Kalau itu (komunikasi dengan keluarga) saya batasi, justru akan menghambat. Justru jadi kewajiban mereka untuk menghubungi orang tua dan keluarga. Jangan salah, suara orang tua itu bisa jadi sugesti dan tenaga tambahan buat pemain," kata Indra bercerita kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (16/12).
Indra juga turut serta memboyong staf dan psikolog handal dari UGM (Universitas Gajah Mada) Yogyakarta, Guntur Cahyo Utomo. Perannya dianggap sangat penting, terutama untuk menampung curahan hati para pemain selama menjalani turnamen, serta meyakinkan para pemain setiap jelang pertandingan, khususnya saat laga final.
Indra menegaskan, masing-masing pemain punya sifat berbeda. Hal itu pun harus dimengerti pelatih maupun tim kepelatihan pada umumnya.
"Bagi saya, pekerjaan besar seorang pelatih adalah mengetahui sifat dan karakter pemainnya satu per satu. Sukses tidaknya pelatih adalah mereka yang bisa mengendalikan para pemain," katanya.
"Sebagai pelatih, saya harus tahu kapan dan kepada siapa saya harus bersikap keras, kapan saya harus ketat menerapkan disiplin yang tidak boleh dilanggar sama sekali oleh pemain."
Jelang final, Indra juga membatasi para pemain untuk menghadiri acara-acara yang bersifat seremonial atau undangan.
Tapi pada akhirnya semua persiapan mental itu harus diuji di hari pamungkas.
Keberadaan semua orang di tim dan ofisial menjadi bagian penting dalam meraih sukses sebuah tim. Khususnya di detik-detik jelang laga final.
Malam sebelum pertandingan, pemain menjalani sesi latihan terakhir. Setelah itu, tim kesehatan akan mengecek kondisi pemain secara lengkap untuk memastikan keadaan pemain yang siap.
Setelah itu, tim pelatih dan ofisial akan rapat untuk menentukan pemain yang bakal mengisi skuat inti pertandingan. Siapa yang terpilih, sebut Indra, adalah mereka yang sudah melewati proses panjang pemilihan dari tim kepelatihan sekaligus sesuai dengan rencana taktik.
Pelatih yang kini menjadi arsitek klub Bali United itu juga menyuntikkan semangat lewat kalimat yang ia ucapkan di ruang ganti sesaat sebelum laga dimulai.
"Saat itu pemain terlihat agak cemas. Saya waktu itu bilang, tidak ada satupun yang bisa dikalahkan kecuali Tuhan. Dan itu terbukti," katanya.
(vws)