Istana Pasir Liga Super China

Vetriciawizach | CNN Indonesia
Kamis, 02 Feb 2017 09:21 WIB
Raksasa-rakasasa properti di China terjun ikut andil membangun sepak bola. Akan tetapi, banyak permasalahan yang mulai muncul di dalamnya.
Carlos Tevez adalah salah satu pemain yang paling terkenal yang pindah ke Liga Super China pada Januari ini. (AFP PHOTO / STR)
Jakarta, CNN Indonesia -- Carlos Tevez kejatuhan durian di usianya yang 32 tahun. Ia mendadak (kembali) kaya-raya dan bergelimang uang ketika fisiknya tak lagi prima sebagai pesepak bola. Semua gara-gara Liga Super China.

Tevez adalah satu dari sekian banyak pesepak bola yang tak kuasa menahan giuran uang dari Asia Timur. Dengan iming-iming gaji yang menyamai para pemain terbaik di dunia seperti Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo, ia meninggalkan gemuruh atmosfer sepak bola di kampung halamannya, Argentina.

Oscar adalah nama lain. Berbeda dari Tevez, ia pindah di masa-masa puncak sebagai pesepak bola. Di usia 25 tahun, ia jauh dari kata tua. Oscar juga menjalani proses yang tak lazim, pindah ke China justru ketika klubnya justru sedang bertengger di puncak klasemen kompetisi terpopuler sedunia, Liga Primer Inggris.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keberhasilan China merebut Oscar dan Tevez semakin menguatkan kehadiran Negeri Tirai Bambu di peta persepakbolaan dunia. Sejak Januari 2015 dan hingga bursa transfer Januari ditutup, menurut The Economist, total lebih dari US$2,3 miliar digelontorkan untuk membesarkan brand sepak bola China. Termasuk di antaranya adalah dengan membeli saham di Manchester City dan Atletico Madrid, serta memboyong pelatih dan pemain populer ke kompetisi lokal.

Pada bursa transfer Januari 2017 ini, bahkan tak ada satu pun kompetisi di Eropa yang total pengeluaran pembelian pemainnya mengalahkan China.

“Mereka memiliki uangnya. Sesederhana itu,” kata Cameron Wilson, penulis yang mengamati sepak bola Asia selama 10 tahun terakhir, seperti dikutip dari The Guardian. “China senang memiliki status sebagai yang terbesar. Itu yang mereka lakukan akhir-akhir ini.”

Namun rencana China memang bukan sekadar soal menggunakan sepak bola untuk meningkatkan citra bangsa. Negeri Tirai Bambu itu bertekad untuk jadi raksasa dalam urusan mengolah si kulit bundar, sebagaimana mereka menjadi raksasa di dunia Olimpiade dengan menyaingi Amerika Serikat. Bintang-bintang seperti Tevez dan Oscar dinilai tepat untuk meningkatkan aura kompetisi serta menularkan ilmu kepada para pemain lokal.

Sang Presiden yang memang terkenal ‘gila bola’, Xi Jinping, pada tahun lalu juga meluncurkan 50 butir rencana untuk membangkitkan sepak bola negara tersebut.

Di kota Guangzhou, kini berdiri sekolah sepak bola terbesar di dunia dengan skala nyaris tak tertandingi negara lain: 50 lapangan didirikan di atas lahan 65 hektar dan dengan asrama yang bisa menampung hingga 3.000 siswa. Total US$185 juta dikucurkan untuk mendanai sekolah bernama Evergrande Football School tersebut.

Harian China Money Network mengabarkan, setidaknya 20 ribu sekolah sepak bola akan berdiri di akhir 2017 ini untuk membantu China memproduksi lebih dari 100 ribu pesepak bola. Semua dilakukan secara masif dan cepat.
Jiangsu Suning adalah salah satu perusahaan China yang terjun di sepak bola Eropa dengan membeli Inter Milan. Pemilik Jiangsu Suning ketika meresmikan akuisisi Inter Milan pada 2016 lalu.  (REUTERS/Aly Song)

Sokongan Taipan Properti

Jika Xi Jinping dan pemerintah China mendorong bergulirnya revolusi sepak bola China, maka motor penggerak adalah para taipan di bidang properti. Bahkan, dari 16 tim yang berada di Liga Super China saat ini, 10 di antaranya disokong perusahaan yang bergerak di sektor itu.

Kombinasi bisnis properti dan sepak bola ini sebenarnya sudah lahir sejak awal 1990-an, atau ketika Grup Dalian Wanda mendirikan kesebelasan profesional pertama di China, Dalian Wanda FC. Mereka memang tak mendapatkan untung dengan mengelola klub, tapi dengan mendompleng kepopuleran sepak bola, Dalian Wanda mampu mengangkat brand mereka ke seluruh negeri.

“Uang yang diinvestasikan di sepak bola akan ‘kembali’ lewat jalur properti,” kata Gu Chenguang dari Universitas Shandong Normal, dikutip dari Week In China.

Chenguang menambahkan, memiliki klub juga meningkatkan hubungan perusahaan dengan pemerintah daerah setempat, sehingga akan mempermudah proses mendapatkan izin pembangunan.

Tak heran jika perusahaan-perusahaan properti ini mengincar kesebelasan di kota-kota kaya baru di China yang mayoritas terletak di daerah Timur seperti Guangzhou, Shanghai, atau Tianjin. Di daerah ini juga terdapat pembangunan properti berskala besar.

Klub-klub CSL hanya terdapat di China bagian timur. Klub-klub CSL hanya terdapat di China bagian timur. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)

Dalian Wanda yang saat ini memegang status sebagai perusahaan properti terbesar di dunia masih menggunakan strategi sama, memboncengi ketenaran sepak bola. Mereka kini memiliki 20 persen saham di klub Atletico Madrid dan mengikat perjanjian dengan FIFA untuk jadi sponsor Piala Dunia untuk empat edisi selanjutnya.

Mengalirnya uang dari raksasa properti China ke sepak bola Eropa juga berbarengan dengan investasi real estate mereka di benua tersebut. Pada 2015, total nilai investasi perusahaan properti China di Eropa mencapai US$4,85 miliar dan dengan merambah kota-kota besar kelas dua.

Misalnya saja Manchester. Setidaknya tiga perusahaan China yaitu Chongqing Jinstar Real Estate Development, Hualing Industry and Trade Group, serta Shanghai-based PGC Capital punya urusan mendirikan bangunan-bangunan di sana.

Membangun Istana Pasir

Di atas kertas, seluruh faktor-faktor tersebut membuat China terlihat berada pada jalur yang tepat untuk menjadi negara adidaya sepak bola. Namun jika menilik lebih dalam, maka berbagai permasalahan pun mulai muncul.

Salah satu kekhawatiran adalah perusahaan-perusahaan raksasa itu pada akhirnya tidak akan menjadikan sepak bola sebagai tujuan utama, tapi justru hanya sekadar meningkatkan nilai mereka di mata Xi Jinping.

“Bagi taipan China, beberapa ratus juta dolar adalah harga kecil untuk dibayar,” kata Rowan Simon, pemerhati sepak bola Asia, seperti dikutip dari CNN.

Sementara dari sisi klub, mereka mencemaskan para pemain bintang sesungguhnya hanya datang untuk mempertebal kocek. “Banyak yang datang ke China justru untuk larut dalam kehidupan malam dan alkohol,” kata Wu Jingui, Direktur Teknik Shanghai Shenua.

Masalah paling utama adalah pemilik-pemilik klub tidak memiliki model bisnis jelas yang akan membuat klub mandiri di masa depan. Kebanyakan klub membakar uang karena transfer pemain yang melambung tinggi, sementara harga tiket per-pertandingan hanya dibanderol 50 Yuan, atau setara Rp100 ribu. Ketika Shanghai Shenhua mengeluarkan hingga US$80 juta untuk merekrut dan menggaji Tevez, tak ada klub di Liga Super China yang punya pendapatan per tahun lebih dari US$64 juta.

“Model pendapatan mereka jauh tertinggal dari Liga Primer Ingris dan liga Eropa lainnya,” kata Tom Elsden, anggota grup pemasaran olahraga di Shanghai, Mailman.

Zhang Lindong, seorang pengamat sepak bola di China juga memberikan vonis yang harus membuat para penggemar bola berhati-hati.

“Akan ada masanya ketika gelontoran uang ini mereda,” kata Zhang. “Jika dalam era investasi besar-besaran ini fokus klub hanya untuk mendapatkan nama-nama terkenal, maka hasilnya hanya akan seperti angin topan yang melewat, meninggalkan kerusakan di belakang.” (vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER