Jakarta, CNN Indonesia -- Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) angkat bicara soal kasus yang meninpa Eki Febri Ekawati selama pelatnas menuju SEA Games 2017.
Ketua Satlak Prima, Achmad Soetjipto, menegaskan pihaknya tidak menerima laporan terkait kondisi atlet tolak peluru yang menyumbangkan medali emas buat Indonesia di SEA Games 2017 itu.
"Tidak ada laporan soal dia (Eki Febri). Atlet itu diatur oleh manajernya, Ibu Tuti (Tuti Merdiko). Setahu saya, dia (Tuti) masih di Amerika. Saya tidak kontak dengan atlet per atlet, saya kontak dengan cabor, manajer, itu sistemnya," kata Soetjipto.
Satlak Prima telah mengidentifikasi tidak ada atlet yang masih tinggal di rumah. Sementara menurut laporan yang diterima, selama menjalani pelatnas, Eki tinggal di rumahnya yang tidak begitu jauh dari lokasi latihan di daerah Pangalengan, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Pengucuran dana untuk pelatnas diatur dalam regulasi yang cukup ketat. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Bagi atlet yang masih tinggal di rumah sendiri, maka perlu dilakukan verifikasi ulang melalui Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
"Misalnya begini, boling kan atlet DKI banyak, bosan tinggal di (Hotel) Century terus mau tinggal di rumah. Bagaimana kami mau mengakomodasi? Apakah dia tinggal indekost atau di rumah? Kan ada sistem," jelas Soetjipto.
"Hal-hal seperti ini tugasnya PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), bukan saya untuk memfasilitasi agar semua kemungkinan yang menyangkut akomodasi," lanjutnya.
 Ahmad Soetjipto beberkan permasalahan pembayaran atlet dan pengadaan barang SEA Games 2017. (CNN Indonesia/ M. Arby Rahmat) |
Soetjipto mengakui, sistem kebijakan anggaran yang kaku menjadi salah satu permasalahan olahraga nasional.
"Tidak ada satu pun jajaran birokrasi disini (Indonesia) berani mengambil kebijakan dengan risiko dipanggil Kuningan (KPK)," ungkap pria yang pernah menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Laut era 1999-2001 itu.
"Kemenpora mengeluarkan kebijakan pertama kali mengubah yang tadinya satu Satker (Satuan Kerja) menjadi enam Satker. Dulu, Kemenpora Satkernya satu, KPA (Kuasa Pemegang Anggaran) dipegang oleh Sesmen. Hal itu dianggap secara manajemen kurang baik. Diputuskan dipecah menjadi enam Satker, supaya lebih cepat cair," beber Soetjipto.
Sayangnya, proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang mulai Januari sampai Mei. Akibatnya, lanjut Sutjipto, sampai Mei tidak ada sepeser uang pun yang bisa dikucurkan karena ketiadaan akun dan bendahara.
Selain proses perubahan satuan kerja, hal lain yang menyebabkan gaji atlet terlambat sampai bulan Mei adalah kebijakan baru dari menteri keuangan.
"Bersamaan dengan itu menteri keuangan mengeluarkan kebijakan baru yang disebut Gerakan Non Tunai. Tidak boleh lagi atlet menerima tunai, induk organisasi menerima tunai, harus dari rekening ke rekening. Pelaksanaanya tidak semudah itu, salah angka saja ditolak oleh sistem. Ini semua masalah," jelasnya.
Soetjipto juga mengungkapkan pengadaan alat-alat latih dan tanding bagi atlet yang juga terkendala aturan penyediaan barang.
"Soal pengadaan barang tetap berpaku pada apa pun barang di bawah 200 juta (rupiah) boleh langsung, di atas 200 juta harus tender, itu bulan Mei 2017. Jadi proses dukungan pelatnas itu startnya Mei, makanya pengurus-pengurus induk olahraga pada teriak," tandasnya.