20 TAHUN REFORMASI

Lepas Tim Thomas-Uber 1998, Soeharto Tak Beri Isyarat Bahaya

Titi Fajriyah | CNN Indonesia
Senin, 21 Mei 2018 13:05 WIB
Presiden Soeharto tak menunjukkan gelagat ada kondisi genting yang bisa terjadi di Indonesia saat melepas tim Piala Thomas-Uber 1998 jelang reformasi 1998.
Presiden Soeharto sempat mengundang tim bulutangkis Piala Thomas dan Uber Indonesia ke Istana Negara sebelum berangkat ke Hong Kong.(REUTERS)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tim Piala Thomas-Uber Indonesia dilepas secara resmi Presiden Soeharto di Istana Negara sebelum berangkat ke Hong Kong, Mei 1998. Tak ada isyarat tanda bahaya yang disampaikan Soeharto pada pertemuan terakhir sebelum Presiden kedua Indonesia itu mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.

Candra Wijaya menjadi salah satu wakil Indonesia di skuat Piala Thomas 1998. Kala itu usianya masih 23 tahun, tergolong pemain junior di tim Indonesia meski sudah jadi juara dunia setahun sebelumnya.

Kepada CNNIndonesia.com, Candra mengatakan masih ingat pesan yang disampaikan Soeharto saat menerima tim bulutangkis Indonesia di Istana Negara jelang keberangkatan ke Hong Kong. Soeharto memberikan pesan yang cukup panjang pada kata sambutan kala itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saat itu kami merasa tidak ada apapun kejanggalan. Sebagai anak bangsa, kami diundang ke Istana karena punya misi mempertahankan gelar juara Piala Thomas. Waktu itu saya pribadi tidak merasa ada yang aneh atau mencurigakan. Semua keadaannya baik-baik saja," kata Candra.

Candra Wijaya dan Ricky Subagja adalah dua anggota tim Piala Thomas Indonesia pada 1998.Candra Wijaya dan Ricky Subagja adalah dua anggota tim Piala Thomas Indonesia pada 1998. (CNN Indonesia/M. Arby Rahmat Putratama H)
"Waktu itu beliau [Soeharto] memberikan pidato cukup panjang. Beliau memberikan dukungan dan motivasi kepada tim, memberikan semangat untuk bisa mempertahankan gelar juara Piala Thomas dan Piala Uber. Beliau bilang situasi dan kondisi juga berjalan aman dan lancar," Candra menceritakan.

Candra tak menyangka kondisi 180 derajat harus dihadapi tim Piala Thomas dan Uber Indonesia ketika tiba di Hong Kong. Kabar soal demonstasi, kerusuhan, penjarahan yang terjadi membuat tim Indonesia kaget dan menyerang dari sisi psikologis. Apalagi buat Candra yang kala itu berstatus pemain junior.

"Kalau dulu dunia teknologi, media sosial seperti sekarang mungkin kami bisa mundur [dari turnamen] dan pulang. Karena media sosial sangat mempengaruhi. Pasti akan penuh pertimbangan. Beruntungnya saat itu kami masih bisa dikontrol," ucap Candra yang bersama Sigit Budiarto meraih medali emas di Kejuaraan Dunia bulutangkis 1997 di Glasgow, Skotlandia.

Di hotel saat itu, masing-masing kamar diberikan telepon khusus untuk bisa berkomunikasi dan memonitor kondisi keluarga yang ada di Indonesia. Jaminan keamanan yang diberikan pemerintah Indonesia kepada keluarga pemain pun cukup menenangkan meski fokus tak semua tertumpahkan untuk turnamen.

"Saya masih sangat ingat memori itu. Sebuah memori yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup. Kenangan yang luar biasa indah. Bisa menang dalam kondisi yang mencekam, menakutkan dan menekan secara psikis yang membuat konsentrasi terpecah," kata Candra.

Perjuangan Bhinneka Tunggal Ika

Di tengah kondisi itu tim Piala Thomas 1998 yang diberikan tugas negara untuk berjuang di medan 'perang' bisa menyelesaikannya dengan sempurna. Di tengah permasalahan bangsa, Candra dan kawan-kawan saat itu memberikan bukti nyata lewat perjuangan demi negara.

"Itu satu bukti nyata bahwa kami layak disebut patriot bangsa karena kesetiaan dan perjuangan, pengorbanan kami tidak sia-sia. Tapi juga kehormatan buat kami karena diberi tugas untuk membela Merah Putih," ungkapnya.

Rasa gundah, gelisah lantaran meninggalkan keluarga dalam kondisi mencekam sedikit dilupakan demi sebuah tugas besar. Di tengah isu agama, suku dan ras, Candra membuktikan perbedaan itu bisa jadi kekuatan untuk nama besar bangsa.

Candra Wijaya menyebut keberhasilan meraih Piala Thomas 1998 sebagai bukti perbedaan bisa jadi kekuatan.Candra Wijaya menyebut keberhasilan meraih Piala Thomas 1998 sebagai bukti perbedaan bisa jadi kekuatan. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Candra berusaha sekuat tenaga memberikan poin kemenangan untuk Indonesia. Sebagai pemain junior, ada keinginan kuat dalam dirinya untuk membuktikan bahwa ia bisa jadi pemegang tongkat estafet kejayaan bulutangkis Indonesia.

"Bukan berarti tidak memikirkan kondisi di Tanah Air, tapi kami mau jadi patriot bangsa di lapangan, di dunia olahraga yang siap menerima tugas dan tanggung jawab."

"Ini satu bukti kecintaan kami terhadap Indonesia. Ini usaha yang ingin kami tunjukkan. Dalam kondisi apapun, kalau namanya tugas negara itu ada konsekuensinya," ujar Candra.

Tampil di bawah tekanan karena menjadi tumpuan, Candra/Sigit tampil sebagai penentu kemenangan tim Piala Thomas Indonesia saat menghadapi Malaysia di final 1998. Tampil di partai keempat Candra/Sigit bungkam Lee Wan Wah/Choong Tan Fook dua set langsung 15-11 dan 15-11.

Bersama tim Piala Uber yang keluar sebagai runner-up, tim Piala Thomas kembali ke Indonesia sehari setelah mematenkan gelar juara tepatnya 25 Mei 1998 atau sekitar dua pekan setelah kerusuhan besar yang mewarnai peristiwa reformasi. Arak-arakan disiapkan sebagai sambutan buat pahlawan olahraga Indonesia di Jakarta.

Presiden B.J Habibie ketika menyambut tim Piala Thomas Indonesia pada Mei 1998.Presiden B.J Habibie ketika menyambut tim Piala Thomas Indonesia pada Mei 1998. (REUTERS)
Arak-arakan, lanjut Candra, dimulai dari seputar wilayah Senayan, Kuningan, Sudirman ke Bundaran Hotel Indonesia dengan suasana yang terekam masih mencekam. Candra menyebut suasana masih tegang dengan kondisi masyarakat yang masih diliputi rasa takut dan trauma.

"Waktu itu saya berempati dan bersimpati pada keluarga korban dan terhadap kondisi dan situasi Tanah Air saat itu. Satu sisi saya senang, tapi di sisi lain sedih. Kami berusaha membawa kegembiraan untuk mengalihkan mereka dari ketakutan," kata Candra.

Sepanjang arak-arakan Candra mengaku masih melihat bekas-bekas gedung dan ruko terbakar, taman-taman dan pagar yang rusak akibat kerusuhan. Jika biasanya arak-arakan disambut dengan tepuk tangan, lambaian tangan dengan senyum merekah, kali ini Candra melihat raut wajah kosong, bingung dan bengong.

Setelah masyarakat tahu itu adalah arak-arakan tim Piala Thomas yang berhasil mempertahankan gelar juara untuk kali keempat, masyarakat disebut Candra mulai ikut senang.

"Saat kondisi sulit, banyak hal positif yang bisa diperlihatkan tim Piala Thomas saat itu yang mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika. Bahwa sebetulnya Indonesia adalah negara besar dan hebat karena perbedaan," kata Candra. (ptr/har)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER