Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada tempat bagi pemain dan pelatih bukan bintang di
Real Madrid. Los Blancos tersohor dengan klub yang mengagungkan kesempurnaan. Karakter klub yang masih mencerminkan watak sang jenderal pemimpin otoriter Kerajaan
Spanyol, Francisco Franco Bahamonde.
Jenderal Franco yang pernah berkuasa pada 1939 hingga 1975 merupakan 'ayah angkat' Madrid yang membesarkan klub itu dengan segala cara melalui politik tangan besinya.
Kini karakter itu seolah tak pernah hilang. Sosok bintang pun bukan jaminan bakal terus dipertahankan. Mereka terancam terdepak jika sedikit saja redup. Hari ini jadi pahlawan, besok bisa jadi bahan cemoohan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Manajemen di Los Blancos dikenal amat mendambakan kesempurnaan sehingga tak ada ruang bagi kemunduran sekecil apapun. Nilai-nilai itu menular ke pendukung setia mereka terutama di Kota Madrid.
Pemain bintang macam Cristiano Ronaldo pernah merasakan tekanan tersebut ketika bermain kurang maksimal di Stadion Santiago Bernabeu. Siulan dan teriakan cemoohan dari suporter sendiri kerap mengganggunya sehingga ia sempat merasa frustrasi dengan kelakuan para suporter tuan rumah.
 Cristiano Ronaldo pun sering dikritik. (AFP PHOTO/GERARD JULIEN) |
CR7 akhirnya pun hengkang ke Juventus musim ini. Kabarnya ia tak tahan lagi dengan perlakuan klub yang menuntut kesempurnaan kepadanya, namun tidak benar-benar memberikan dukungan penuh, termasuk soal skandal penggelapan pajak yang pernah membelitnya.
Kursi pelatih bahkan menjadi yang paling panas di tim itu. Deret nama beken juru taktik di dunia pernah terlempar dari posisi mereka di kursi kepelatihan. Sebut saja Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, Rafael Benitez, dan Zinedine Zidane, pernah merasakan tekanan luar biasa sebelum hengkang dari klub itu.
Terbaru adalah Julen Lopetegui. Awalnya Madrid terpincut dengan kepiawaian pelatih itu menangani Timnas Spanyol.
Ia tak pernah kalah dari 20 kali laga membesut La Furia Roja baik di laga uji coba maupun kompetisi macam kualifikasi Piala Dunia 2018. Lopetegui meraih 14 kali kemenangan dan sisanya imbang.
Di kualifikasi Piala Dunia zona Eropa, Lopetegui bahkan mampu meraih sembilan kemenangan dari 10 kali laga. Sisanya ditahan imbang Italia 1-1.
Pelatih kelahiran Asteasu itu membuat kejutan setelah Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF) terpaksa memecatnya hanya sehari sebelum Piala Dunia 2018 bergulir. Alasannya, Lopetegui sudah memastikan menerima pinangan El Real sehingga dianggap bakal tak fokus di timnas Spanyol.
 Julen Lopetegui dipecat dari Real Madrid setelah 140 hari menangani klub tersebut. (REUTERS/Albert Gea) |
Harapan pelatih 52 tahun itu tak sesuai kenyataan di Madrid. Hanya 140 hari menangani Los Blancos dalam 14 kali laga, Lopetegui didepak manajemen. Ia dipecat usai tim ibu kota Spanyol itu mengalami tiga kekalahan beruntun di semua kompetisi.
Tak ada ultimatum sebelumnya terkait rencana pemecatan Lopetegui yang mencuat ke permukaan. Namun, sempat ada isyarat dari Direktur Real Madrid, Emilio Butragueno, memberikan kesempatan terakhir bagi pelatih itu menangani Los Blancos di laga El Clasico bertandang ke markas Barcelona, pada laga La Liga Spanyol, Minggu (28/10).
"Ya, seperti biasanya. Kami harus melakukan persiapan dengan baik dan tetap tenang. Minggu adalah laga yang akan memberikan motivasi ekstra," ujar Butragueno menjawab pertanyaan terkait nasib Lopetegui seperti dikutip Marca.
Hasilnya, Madrid dihancurkan Barcelona 1-5 seperti halnya Blaugrana menggebuk klub-klub semenjana. Tak butuh waktu lama bagi Los Blancos yang biasa menerapkan politik tangan besi untuk mendepak Lopetegui. Kariernya di Los Blancos tamat pada Senin (29/10) malam waktu setempat.
 Iker Casillas menitikkan air mata perpisahan untuk Real Madrid. (Andrea Comas) |
Madrid yang begitu terobsesi dengan kesempurnaan dan kerap menerapkan politik tangan besi, seakan warisan dari Jenderal Franco.
Sang pemimpin Spanyol itu dikenal dengan reputasinya sebagai diktator yang memuja kesempurnaan. Semangat ultra-nasionalisme yang diusungnya memaksakan pula keseragaman pada masa kekuasannya.
Perbedaan budaya hingga ideologi di Spanyol, 'disatukannya' melalui tangan besi dengan kekuatan militer. Kebijakan itu yang membuat wilayah-wilayah yang secara budaya berbeda macam Basque, Catalonia, maupun Andalusia memberontak.
Sang jenderal meraih tampuk pimpinan di Spanyol pada 1939 usai menang perang saudara yang berkecamuk pada 1936. Meski terkesan netral saat Perang Dunia II, Spanyol dikenal menjadi salah satu negara fasis.
Jenderal Franco mampu menggalang massa dari kalangan sayap kanan yang anti terhadap komunisme. Kemenangan sang diktator pun menyisakan puing-puing kehancuran usai perang saudara dan Perang Dunia II di Spanyol.
 Tiga pemain legendaris Real Madrid. (Shaun Botterill) |
Awalnya negara-negara barat yang berpengaruh macam Inggris dan Amerika Serikat enggan memberikan dukungan terhadap Spanyol di bawah Jenderal Franco. Kebijakan itu pun berubah pada 1950-an.
Amerika Serikat merasa penting memberikan bantuan dana untuk Spanyol sekaligus menanamkan kekuatan militer mereka demi stabilitas di Semenanjung Iberia pascaperang Dunia II.
Meski memberikan bantuan, cara-cara diktator sang jenderal sudah terendus Amerika Serikat dan bukan tak mungkin ia bakal terdepak.
Jenderal Franco tak kehilangan ide. Ia mulai menancapkan garis politiknya di sepak bola. Real Madrid yang notabene klub ibu kota, disulapnya menjadi tim raksasa dengan gelontoran dana besar.
 Jenderal Franco memenangkan perang saudara yang berkecamuk di Spanyol sejak 1936. (STF / AFP) |
Tujuannya adalah menjadi simbol kebesaran Spanyol melalui prestasi di level domestik dan Benua Eropa. Cara itu pun ampuh bagi sang diktator yang terus memimpin Spanyol hingga akhir hayatnya pada 1975. Los Blancos jadi proyek pertaruhan ideologis bagi sang jenderal.
Sejak mendapatkan dana besar, Madrid amat royal membeli pemain-pemain bintang. Sebut saja Raymond Kopa, Alfredo Di Stefano hingga Ferenc Puskas.
Barcelona yang merupakan klub rival, pernah menjadi korban keganasan Madrid dalam transfer pemain. Salah satu yang cukup menghebohkan seperti dilansir dari
ESPN adalah aksi 'pembajakan' pemain incaran Blaugrana, Di Stefano, pada 1953.
Dengan cara-cara licik, Madrid mampu mengikat Di Stefano yang sempat diminati Barca. Padahal, pemain asal Argentina itu sebelumnya sempat menyatakan ketertarikannya merumput di klub Catalonia.
Intervensi Jenderal Franco terhadap Real Madrid itu pula yang semakin memperuncing rivalitas klub tersebut dengan Barcelona.
Duel tim tersebut di lapangan tak lagi sekadar unjuk kekuatan di lapangan. El Clasico menjadi adu gengsi kebanggaan identitas orang-orang Catalonia melawan Castilian Spanyol.
Rivalitas pun semakin merambah pada tim satu kota Madrid yakni Athletico Madrid. Persaingan mereka seolah menjadi pertarungan antara dua entitas ideologi berbeda dalam satu kota. Duel Madrid yang merepresentasikan ultra-nasionalisme menghadapi Athletico sebagai simbol para pejuang kelas.
Ambisi Madrid menuju kesempurnaan mencapai klimaksnya pada 1950-an. Los Blancos mampu meraih enam trofi Liga Champions. Lima di antaranya disabet secara beruntun pada musim 1955/1956 hingga 1959/1960.
Di eranya pula, Madrid mampu meraih 15 kali gelar juara La Liga Spanyol. Sementara pada masa itu, Barcelona hanya meraih tujuh kali trofi Liga Spanyol.
Madrid mengalami pasang-surut prestasi selepas era Sang Jenderal sejak 43 tahun lalu. Namun, karakter Los Blancos yang kerap menuntut kesempurnaan tak terbantahkan lagi bertahan hingga kini.
Tengok saja setiap eranya, mereka selalu memiliki selera yang sangat tinggi untuk memilih pemain. Madrid haus merekrut para pemain bintang, sejak era Di Stefano dan Puskas, hingga Ronaldo.
Melalui arahan dari Jenderal Franco, Santiago Bernabeu Yeste menjadi orang kepercayaan nomor satu untuk mengelola Madrid ketika klub itu mulai melakukan pembenahan. Bernabeu yang menjadi presiden klub pada 1943 dianggap sukses mengangkat pamor Los Blancos. Namanya bahkan diabadikan menjadi nama stadion markas klub tersebut.
Bernabeu yang merupakan mantan pemain Madrid juga pernah ikut berperang dalam perang saudara membela kubu Jenderal Franco yang merupakan ultra-nasionalis antikomunis. Ia berperang sebagai prajurit di bawah komando Jenderal Agustin Munoz Grandes yang notabene tangan kanan Jenderal Franco.
Kebijakan tangan besi dan pragmatis ini pula diteruskan Bernabeu untuk membesarkan El Real hingga menjadi salah satu klub raksasa di Eropa. Masa jabatannya sebagai presiden klub pun sangat lama yakni 35 tahun.
Wajah Madrid yang terkesan 'angkuh' sebagai pengikat pemain-pemain bintang terus bertahan hingga sekarang di era Florentino Perez sebagai presiden klub. Tak ada satu pun pemain yang lebih besar dari nama klub, menjadi kepercayaan Madrid yang terus dipertahankan.
 Florentino Perez sukses mendatangkan Cristiano Ronaldo ke Real Madrid pada 2009. (REUTERS/Susana Vera) |
Karakter Perez yang dikenal otoriter pun segendang sepenarian dengan warisan dari Jenderal Franco. Kepintarannya dalam melobi dan menarik para pemain bintang dunia pun membuat pria yang kembali jadi presiden klub sejak 2009 itu menegaskan DNA baru Madrid.
Sebut saja nama-nama bintang dunia macam Cristiano Ronaldo yang berhasil digaet dari Manchester United pada 2009. Deretan nama bintang lain yang merupakan rekrutan Madrid pada masanya yaitu Gareth Bale, Karim Benzema, Toni Kroos, dan Luka Modric, merupakan hasil lobinya.
Begitu pula nama-nama pelatih yang pernah menangani klub itu di era Perez, juga punya nama besar. Mereka adalah Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, Rafael Benitez, Zinedine Zidane, dan Julen Lopetegui.
Karakter Perez sejalan dengan nilai-nilai Madrid yang terkesan tak memberikan penghargaan terhadap pencapaian besar para pelatih maupun pemain.
Sebut saja di antaranya pemain bintang macam Raul Gonzalez. Striker asal Spanyol itu didepak begitu saja pada masa-masa awal rezim Perez di klub. Padahal, ia turut mempersembahkan tiga gelar Liga Champions dan enam gelar La Liga Spanyol.
Begitu pula dengan sosok kiper Iker Casillas yang hengkang dari Madrid ke FC Porto pada 2015. Ia juga ikut mempersembahkan tiga trofi Liga Champions dan lima gelar Liga Spanyol.
Sementara itu, Zinedine Zidane jadi segelintir sosok yang cukup beruntung bisa pensiun di Madrid dan melanjutkan karier kepelatihan di klub itu. Namun, kisahnya juga berakhir pahit berkarier sebagai juru taktik di klub itu usai menggantikan Rafael Benitez.
Meski sudah mempersembahkan 'Si Kuping Besar' tiga kali beruntun, ia terlempar dari kursi panas pelatih Los Blancos. Zidane diklaim terlibat perseteruan dengan Perez sehingga memilih mundur dari klub tersebut, beberapa hari setelah Madrid juara Liga Champions 2017/2018.
Tak lama kemudian, Ronaldo mengikuti jejak sang pelatih, pergi dari Los Blancos dan berusaha mencari kententraman di Juventus.
Madrid saat ini berada di peringkat kesembilan klasemen sementara La Liga Spanyol usai dihajar Barcelona 1-5 di Stadion Camp Nou.
Posisi itu tentu membawa malu bagi Los Blancos yang mendambakan terus berada di persaingan atas. Sial bagi Lopetegui, ia didepak karena dianggap gagal total meski kompetisi bahkan belum memasuki tengah musim.
From hero to zero, mungkin kesalahan besar bagi pelatih potensial itu berada di klub sekelas Madrid.