Jakarta, CNN Indonesia -- Awal mula karier sepak bola saya dimulai pada saat kelas 4 SD. Saya tahu sepak bola dari teman saya '
Pokemon'. Namanya Rizky Hadi, tapi saya memanggilnya Pokemon.
Sebelumnya Pokemon dulu yang bermain bola. Waktu itu Pokemon latihan bersama bapaknya, lalu saya diajak latihan oleh dia. Dari situ baru saya ingin ikut SSB (sekolah sepak bola).
Beberapa bulan kemudian saya ikut SSB di
Surabaya, waktu itu namanya SSB Sasana Bakti. Cukup lama saya di sana. Hanya saja saat itu ada kendala waktu melakoni latihan di Sasana Bakti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya terkendala jarak yang jauh. Apalagi waktu itu tidak ada yang antar kalau latihan, karena saya belum punya kendaraan juga.
Akhirnya sekitar kelas 3 SMP setelah dari Sasana Bakti saya pindah ke klub Mitra Surabaya sekitar 2010 dilatih pak Eko Prayogo. Dari situ pelan-pelan karier sepak bola saya mulai menanjak.
Saat masih di Mitra Surabaya ada seleksi tim internal Persebaya Surabaya. Ketika itu saya ikut seleksi dan masuk tim Persebaya U-15, alhamdulillah bisa juara se-Jawa Timur. Saya dipanggil seleksi Jawa Timur
Ada seleksi internal saya terpilih juara di Surabaya. Waktu itu namanya Piala Medco, saya alhamdulillah kepilih, lalu juara di tingkat Jawa Timur.
 Evan Dimas saat memperkuat Surabaya United pada 2015. (Zabur Karuru) |
Dari juara di regional itu akhirnya saya terpilih jadi tim Jawa Timur. Setelah juara di Jawa Timur, di turnamen level nasional se-Indonesia saya juga alhamdulillah juara lagi bersama tim Jawa Timur.
Juara di tingkat nasional itu akhirnya mengantar saya seleksi bersama Timnas Indonesia yang untuk ke Uruguay. Di seleksi tersebut saya gagal.
[Gambas:Video CNN]Sebelum gagal di seleksi timnas yang untuk ke Uruguay itu saya juga pernah seleksi di Timnas Indonesia U-16, tapi gagal juga.
Jadi saya dua kali gagal seleksi Timnas Indonesia. Seleksi Timnas Indonesia U-16 dulu lalu gagal, setelah itu saya pulang. Ada seleksi timnas untuk yang ke Uruguay saya gagal lagi. Seingat saya dua seleksi itu tahunnya sama, atau kalau beda hanya beda setahun saja.
 Evan Dimas juga pernah merasakan berlatih di Barcelona dan Espanyol. (Doc. Ninesport) |
Saya juga pernah masuk tim PON Jawa Timur, tapi gagal juara di tim PON Riau 2012. Setelah PON saya seleksi lagi di Timnas Indonesia U-17 bersama Coach Indra Sjafri. Lalu terpilih untuk tampil di HKFA di Hong Kong, dan alhamdulillah juara.
Setahun kemudian ikut HKFA lagi bersama Coach Indra juga, dan juara lagi. Dari HKFA itu kami persiapan untuk Piala AFF U-19 tahun 2013, yang jadi juara.
Dari Timnas Indonesia U-19 karier saya berlanjut ke klub profesional. Kontrak pertama saya dengan klub ya di Persebaya 1927 itu. Saya bersama tujuh teman lain dikontrak jangka panjang dengan Persebaya yang akhirnya berganti nama jadi Bhayangkara FC.
Setelah kontrak profesional itu saya belum bisa merasakan kompetisi resmi dengan klub, karena di tahun pertama kontrak pada 2014 saya harus fokus dengan persiapan Piala Asia U-19. Kemudian di tahun kedua sepak bola Indonesia disanksi FIFA.
Baru pada 2016 ada turnamen Indonesia Soccer Championship. Tahun berikutnya baru ada kompetisi resmi Liga 1 2017. Alhamdulillah di tahun terakhir kontrak saya itu, saya bisa juara dengan Bhayangkara FC.
Setelah empat tahun di Bhayangkara FC, pindah ke Selangor FA di Malaysia, lalu musim kemarin di Barito Putera hingga akhirnya sekarang bersama Persija Jakarta.
Dalam karier saya sejauh ini yang paling berkesan itu saat juara
Piala AFF U-19 2013. Lalu cetak tiga gol ke gawang
Korea Selatan di Kualifikasi Piala Asia U-19 pada 2013 juga.
Waktu itu saya tidak ada pikiran ingin cetak gol, karena posisi saya juga seorang gelandang. Yang penting bagaimana caranya membantu tim atau Timnas Indonesia menang saja.
Kalau orang-orang banyak menyebut saya sering dielukan, saya sendiri pada momen 2013 itu hanya berusaha menikmati saja. Tapi saya juga tidak munafik, kalau saat dielukan itu kita seperti memiliki beban. Tetapi ketika itu saya tidak merasa terbebani.
Hanya saja lama-lama saat saya umur 22 atau 23, kalau terlalu dielukan apalagi saat bermain di Timnas Indonesia, saya merasa bebannya ada di saya. Sempat ada pikiran kaya gitu juga, namanya manusia enggak munafik juga.
Namun setelah itu saya berpikir positif. Kalau tidak beban sama sekali rasanya tidak mungkin. Namanya kami bermain bola pasti ada beban.
Kalau waktu 2013 itu tidak begitu merasakan beban, karena memang kami belum masuk televisi, orang belum sorot kami. Jadi kami main lepas saja. Bagi saya momen-momen 2013 itu jadi motivasi saya, Tuhan kasih ini tidak kebetulan, sudah diatur.
Meski saat itu tenar tapi saya belum merasa bisa bayar jerih payah orang tua. Baru setelah kontrak dengan klub pada 2014 itu terasa bisa lebih membantu orang tua. Sebelum kontrak dengan klub sih bisa juga membantu, tetapi tidak seperti sudah kontrak dengan klub.
Juara AFF 2013 itu juga bisa dikatakan jadi salah satu prestasi yang tertinggi dalam karier saya. Kalau yang tertinggi sebenarnya bagi saya juara dengan Timnas Indonesia senior, tapi itu belum saya capai.
 Cedera di final SEA Games 2019 dan tidak bisa melanjutkan permainan jadi salah satu penyesalan Evan Dimas. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pd.) |
Namun juara 2013 lalu bisa dibilang yang tertinggi sampai saat ini, karena membela Timnas Indonesia juga. Saat juara Liga 1 2017 dengan Bhayangkara FC juga pencapaian bagus, karena susah juga juara liga.
Di luar aspek prestasi tentu ada juga masa-masa kurang bagus, penyesalan. Saya pernah mengalami itu. Waktu gagal di Piala Asia U-19 pada 2014 itu jadi salah satu momen penyesalan, kami tidak bisa lolos dari grup.
[Gambas:Video CNN]Lalu waktu Timnas Indonesia tidak juara setelah kalah dari Thailand di final Piala AFF 2016. Ketika saya tidak bisa melanjutkan pertandingan di final SEA Games 2019 lalu juga jadi penyesalan untuk saya.
Ya meskipun kalau saya melanjutkan pertandingan belum tentu juga Timnas Indonesia bisa menang. Tapi semua itu memang belum rezeki saja.
Saya juga pernah dalam posisi nyaris dicoret Timnas Indonesia. Waktu itu setelah Timnas Indonesia U-19 juara Piala AFF U-19, saya diundang acara di Surabaya. Sedangkan final Piala AFF U-19 waktu itu di Sidoarjo.
 Evan Dimas hampir dicoret Indra Sjafri. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj) |
Acara di Surabaya itu acaranya Mitra Surabaya, SSB yang membesarkan saya. Kebetulan itu acaranya penting sekali dan saya juga risiko sekali karena bisa dicoret.
Tapi ketika itu saya berpikir ini tidak akan terlambat. Kenapa saya berani, karena saya berpikir tidak akan mungkin telat, dan alhamdulillah benar tidak terlambat.
Risikonya waktu itu memang kalau saya terlambat kembali ke hotel Timnas Indonesia U-19 mungkin dicoret. Tapi akhirnya saya pergi. Sebelum pergi saya sudah memperhitungkan risiko itu. Pelatih Mitra Surabaya juga tanggung jawab akan kembalikan saya ke hotel sebelum jam 7 malam.
Sebelum pergi saya juga berbicara dengan Coach Indra Sjafri. Ya alhamdulillah waktu pergi ke sana pulangnya tidak terlambat, karena saya optimistis sekali. Malahan saya tiba sebelum jam 7 malam.
Saat ini setelah menikah saya ingin lebih fokus di dunia dan akhirat. Saya ingin lebih baik lagi memperbaiki diri dari sebelumnya, berada di jalan yang tepat.
Lebih baik itu dalam banyak hal. Maksudnya seperti di luar lapangan kita sebagai manusia banyak salah, memperbaiki hal-hal kecil itu saja. Kalau karier di sepak bola tentu harus lebih baik lagi dari sebelumnya, tidak saja membawa Persija juara.
Selama ini banyak orang salah persepsi kalau setelah nikah jadi menurun. Padahal di agama saya setelah menikah justru lebih baik. Udah kita nikah banyak pahala, apa yang bikin menurun. Klo di sepak bola meskipun tidak menikah juga bisa menurun.