Jakarta, CNN Indonesia -- Tubuh kecil berbalut jersey Paris Saint Germain (
PSG) dengan celana pendek di atas lutut serta sepatu kets dengan tali tak terikat mendekat. Semua wartawan yang tengah meliput kala itu tentu kenal baik sosoknya. Dia adalah
Bob Hasan.
Bob Hasan ibarat dewa di dunia atletik, Ketua Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) seumur hidup. Jabatan yang diembannya sejak 1976 hingga tutup usia tahun ini.
"Wartawan, sini
lu, liput
tuh atlet
gua latihan," ujar Om Bob, sapaan akrabnya dari para pekerja media. Bicaranya memang ceplas-ceplos, gayanya selalu eksentrik. Kegilaannya dalam mengampu PB PASI seumur hidup juga bagian yang mungkin tak bisa disamai para konglomerat lain di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kecintaannya pada atletik membuatnya dijuluki Bapak Atletik Indonesia setelah 44 tahun memimpin PB PASI. Saking cintanya kepada dunia atletik, jangankan uang, separuh hidupnya pun ia habiskan di sana.
Soal dedikasi, Bob Hasan tak perlu diragukan lagi. Ia menjadi orang pertama yang 'pasang badan' ketika 'anaknya' diganggu. Seperti ketika atletik harus berbagi lapangan latihan dengan sepak bola yang juga menjadikan Stadion Madya tempat berlatih sekaligus menggelar pertandingan.
Bukan tak mau berbagi, tapi Bob Hasan tidak ingin jadwal latihan atletnya terganggu saat harus bentrok jadwal dengan sepak bola.
Ratusan miliar rupiah mungkin sudah digelontorkan Om Bob buat atletik. Bahkan, ia pernah cerita kalau ia mengusir bule (orang asing) yang menyewa rumahnya di daerah Patal Senayan, supaya para atlet atletik bisa menjadikan rumah tersebut sebagai mes.
 Bob Hasan, konglomerat yang berdedikasi mengampu atletik Indonesia seumur hidup. (PALINGGI / AFP) |
Maklum, kala itu Stadion Madya yang sempat menjadi mes atau tempat tinggal atlet pelatnas atletik harus direnovasi sebagai persiapan Indonesia menuju tuan rumah Asian Games 2018.
"
Gua usir itu bule yang tinggal di sini. Supaya apa? Supaya anak-anak
gua [atlet atletik] ini bisa tinggal di situ. Kalau mereka mau latihan,
enggak jauh ke [Stadion] Madya," kata Bob Hasan kala itu.
Pada 13 Oktober 2017 lalu, Bob Hasan juga sempat meceritakan bagaimana ia membujuk atlet Olimpiade asal Amerika Serikat, Harry Marra, membantunya memberikan pelatihan buat atlet dan pelatih di Indonesia.
Sebab, sebelum Indonesia, Marra juga sempat diminta untuk melatih Iran, Aljazair, Italia, dan Jepang. Bahkan negara-negara itu menawarkan gaji cukup tinggi mencapai US$5 ribu atau setara Rp82 juta per pekan. Namun ditolak Marra dan memilih ke Indonesia.
Om Bob pun sempat berseloroh, Marra memilih melatih Indonesia hanya demi buah mangga.
"
Gua enggak bayar dia [Harry Marra] dengan uang.
Gua sogok dia dengan buah mangga. Dia senang banget sama mangga," cetus Bob Hasan.
Ekspresi Marra pun tampak begitu senang ketika Bob Hasan mengeluarkan mangga yang khusus dibawanya untuk sang pelatih.
"Ini buat saya? Fantastik, terima kasih," ucap Marra senang.
Tak hanya mengurus soal atlet yang ia bina di pelatnas atletik bisa berprestasi, Bob Hasan yang pernah menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Orde Baru itu juga memikirkan nasib para atletnya setelah tak lagi berprestasi.
Tindakan nyata yang dilakukannya adalah dengan menyekolahkan atlet-atlet pelatnasnya sampai ke jenjang universitas. Sebut saja, Nurul Imaniar, mantan atlet lari 100 meter putri yang saat ini sudah menjadi sarjana ilmu komunikasi lulusan Universitas Al-Azhar Jakarta atau Emilia Nova yang merupakan lulusan Universitas Negeri Jakarta.
 Bob Hasan meninggal karena kanker paru-paru. (ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA) |
Satu hal yang menjadi harapan seorang Bob Hasan buat atletik Indonesia, ia ingin atletik bisa sejajar dengan cabang olahraga populer lain, seperti bulutangkis dan sepak bola yang mendapat porsi lebih dari media soal pemberitaan. Menurutnya, peran media untuk mengangkat atletik dapat membantu terciptanya prestasi bagi para atlet.
Pernah suatu saat Om Bob meneriaki wartawan yang sedang meliput persiapan atlet atletik menuju Asian Games pada 2018 lalu.
"Begitu dong.
Lu liput tuh si Zohri [Lalu Muhammad Zohri].
Gua berhasil tuh cari model
kayak begitu. Nanti kita cari lagi. Makanya kalian wartawan diliput
dong supaya mereka semangat. Jangan bola sama bulutangkis melulu
lu liput. Atletik juga," ungkapnya.
Soal sosok ceplas-ceplos dan kata-katanya yang terdengar ketus, juga pernah diceritakan mantan sprinter Indonesia, Suryo Agung.
 Bob Hasan saat meladeni pertanyaan para awak media. (CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
"Sosok yang paling saya ingat adalah dia selalu bicara agar kami para atlet tidak cepat puas dengan prestasi kami," ujar Suryo Agung.
Suryo pernah berpredikat Manusia Tercepat se-Asia Tenggara setelah memecahkan rekor lari 100 meter di SEA Games 2009 Vientianne, dengan catatan waktu 10,17 detik. Namun, bagi Bob Hasan itu masih kurang.
"Bapak [Bob Hasan] pernah bilang: 'Bikin lagi dong jadi 10,10 [detik], jangan berhenti di 10,17
aja.' Dia selalu begitu, memotivasi para atlet agar tak cepat puas," ucap Suryo.
Kini, sang Bapak Atletik itu telah pergi dan tak kembali setelah berjuang melawan kanker paru-paru yang telah menjalar sampai ke tulang dan kepala selama tiga bulan terakhir.
Kanker paru-paru yang diderita Bob Hasan baru diketahui sekitar tiga bulan lalu. Tepatnya ketika ia menjalani tes medis rutin jelang libur Natal dan Tahun Baru pada Desember 2019.
Setelah diketahui ada indikasi kanker, Bob Hasan memilih untuk memastikannya dengan tes lanjutan di sebuah rumah sakit di Bangkok, Thailand. Sejak saat itu, ia langsung menjalani perawatan intensif di RSPAD Gatot Soebroto sebelum mengembuskan napas terakhir, pukul 11.00 WIB, Selasa (31/3).
Kepergian Bob Hasan meninggalkan pertanyaan penting, siapa lagi sosok 'gila' yang mau mengurus atletik Indonesia setelah ini?
'Orang gila' yang mau mengeluarkan banyak uang untuk membangun prestasi atletik demi harumnya nama Indonesia di dunia.
(ttf/sry)