Awal saya main bola karena ada keturunan sepak bola dari orang tua. Kami tinggal di Binjai, Sumatera Utara, dan terbiasa bermain tanpa sepatu di usia 10 tahun.
Menjadi pemain bola karena memang sudah niat ingin jadi pemain. Di sisi lain, salah satu orang tua tidak setuju anaknya jadi pemain bola, inginnya bekerja.
Tapi karena bandel, lalu mencuri-curi waktu. Beli sepatu saja diam-diam. Saya kerja serabutan, kerja apa saja, jadi kuli bangunan. Kerja dapat Rp300, uangnya sebagian untuk beli sepatu itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Waktu itu beli sepatunya cuma sekitar Rp1 perak. Sepatunya juga tidak ditaruh di rumah. Sepatu dipakai pas di lapangan saja.
Lalu saya masuk klub PSKB Binjai, dari situ meniti karier amatir. Masuk ke tim Piala Suratin. Tahun 1985 masuk Diklat Medan.
Dahulu ada turnamen antardiklat, kalau sekarang mungkin namanya PPLP (Pusat Pendidikan Latihan Pelajar). Dari turnamen itu, beberapa pemain Diklat Medan terpilih untuk berangkat ke Jakarta, ke Ragunan, termasuk saya. Dengan berat hati akhirnya orang tua mengizinkan anaknya pergi ke Jakarta.
Di Ragunan tahun 1987 sebenarnya karier sepak bola saya dimulai. Di sana kami digembleng baik secara fisik maupun mental selama tiga tahun. Sebelum masuk ke Ragunan juga diseleksi dahulu.
Selama di Ragunan banyak sekali mendapat ilmu, baik dari pelatih Jerman maupun pelatih lokal. Ada juga turnamen antarpelajar Asia, di sana kami bisa juara. Beberapa turnamen internasional lainnya di level junior juga kami ikuti.
Semasa di Ragunan, sebelum saya lulus dari sana, saya sempat didatangi pelatih klub profesional, awalnya dari Pupuk Kaltim Bontang.
![]() |
Cuma waktu itu saya masih pikir-pikir soal tawaran itu. Posisinya Pupuk Kaltim ketika itu tim pertama yang masuk Galatama. Lalu diceritakan juga sama teman, kalau lokasinya di hutan dan cerita lainnya.
Akhirnya dari omongan-omongan itu terbentuk bayangan, lalu kami ketemu manajer dan memutuskan tidak ke Pupuk Kaltim karena persepsi buruk tersebut. Tidak seperti sekarang ini.
Selang satu bulan datang tawaran dari klub Krama Yudha Tiga Berlian, dan beberapa teman juga sudah ada yang di sana, seperti Kashartadi dan Toyo Haryono. Saya lihat di sana juga punya pemain-pemain tenar, Herry Kiswanto, Eddy Harto, Parlin Siagian. Ini kesempatan bermain dengan pemain-pemain yang punya kualitas.
Akhirnya saya bermain di sana dan jadi klub pertama saya sebagai pemain profesional. Prestasinya juga cukup bagus, tetapi enggak terlalu tinggi. Setelah tiga tahun Krama Yudha bubar, lalu saya masuk Assyabaab Salim Grup selama dua tahun dari 1991-1992.
Lalu saya pindah ke Putra Samarinda, selama satu musim dari janjinya dua musim. Karena ada masalah juga di sana.
Kemudian ke Mastrans Bandung Raya yang jadi puncak karier saya. Baik menjadi top skor dengan 34 gol pada 1994/1995 maupun saat juara Liga Indonesia musim 1995/1996.
Setelah bermain di Bandung Raya, saya pindah ke Persib Bandung, Persikabo Bogor, Persitara Jakarta Utara, Persipasi Bekasi, Persipo Purwakarta, lalu terakhir tahun 2005 main di Persipon Pontianak.
Saat di Krama Yudha saya jadi pemain yang paling muda masuk Timnas Indonesia, tahun 1989 dengan usia sekitar 20 tahun. Pemain-pemain senior di Timnas Indonesia yang dari Kramayuda juga banyak, termasuk Ricky Yacob.
Saya di Timnas Indonesia dari 1989-1997. Karier di timnas lumayan, 1991 dapat emas SEA Games. Tapi karena banyak cedera akhirnya saya pensiun di Timnas Indonesia tahun 1997. Sementara saya pensiun karier di sepak bola tahun 2005, usia saya mungkin waktu itu kira-kira 40 tahun.
Lihat juga:Ayah: Messi Sulit Bertahan di Barcelona |
Konsep di timnas tahun 1991 bersama pelatih Anatoli Polosin itu penggabungan senior dan junior. Kalau juniornya semacam Rochy Putiray, Salahudin, Aji Santoso.
Tetapi waktu SEA Games 1991 kalau dibilang latihannya cukup super, karena sehari tiga kali. Kalau untuk era sekarang dilatih tiga kali sehari mungkin pemainnya sudah pada kabur.
Dahulu zamannya Polosin itu memang banyak isu pemain ini dicoret, pemain itu dicoret. Bukan, bukan dicoret, itu pemain sebenarnya pada kabur sendiri karena latihannya cukup berat.
Kami itu sebagai pemain bola jarang latihan dengan bola, lebih banyak lari, kadang-kadang latihan di gunung.
Terkadang kami memikirkan, metode latihan Polosin ini apa? Awalnya kami bingung, maunya dia itu apa? Tapi kemudian kami paham, ternyata dia lebih dominan di fisik. Memang rata-rata pelatih asal Eropa Timur itu cenderung ke fisik.
![]() |
Latihan fisiknya terus-menerus, tetapi latihan tekniknya tidak. Teknik itu hanya mengandalkan kemampuan individu masing-masing saja, yang diasah justru fisiknya.
Tapi saya tidak kabur, karena sudah tanggung juga. Saya pikir begini, mau kabur namun saya harus tanggung jawab sama negara, sama keluarga juga, ya sudah saya jalani saja. Kami jalani dengan ikhlas, tidak ada rasa capek, senang aja.
Yang namanya baru bisa mandi itu baru nanti sehabis latihan sore dari latihan pagi. Kadang sampai hotel bisa habis magrib.
Pernah juga ada momen, tapi hanya sekadar lucu-lucuan saja, lomba dengan anjing. Jadi kata Polosin orang Indonesia mampu tidak lomba dengan anjing.
Pesertanya selain saya ada beberapa juga yang diadu dengan anjing. Tapi larinya tidak seberapa jauh. Kami dikejar anjing, tetapi setelah itu kami balik mengejar anjing itu.
Lihat juga:Messi Berulah karena Dikhianati Barcelona |
Meski hanya lucu-lucuan tetapi latihan itu punya tujuan juga melatih kelincahan, jadi seperti apa pergerakan kita menghadapi lawan yang super kuat.
Bersama Polosin itu selebihnya latihan lari saja, jarang dengan bola. Kalau untuk pemain era sekarang sepertinya tidak kuat, paling lama seminggu latihan seperti itu anak sekarang sudah kabur.
Latihan dengan Polosin itu tidak ada yang enak, tapi pada akhirnya enak karena bisa juara. Latihan yang terasa berat hasilnya juara.
Kami itu menang melawan tim-tim lain bukan karena gol-gol yang lahir dari skema, tapi gol-gol 'nemu'. Sampai saat saya melawan Thailand yang merupakan tim dengan skill lengkap, lalu Singapura, mereka bingung pemain-pemain Indonesia ini tidak ada capeknya, lari terus seperti babi hutan.
Yang saya rasakan juga memang tidak ada capeknya. Selama 90 menit bermain itu biasa saja. Justru saya merasa kurang. Tidak seperti pemain-pemain sekarang, kalau sudah menit ke-75 atau 80 sudah kelihatan lelah.
Kalau soal Timnas Indonesia itu saya selalu hampir nangis, apalagi kalau ingat yang dahulu-dahulu. Selama saya di timnas waktu cedera itu tidak ada perhatiannya dari PSSI. Jadi selama ini buat apa saya di timnas tapi mereka tidak ada timbal baliknya.
Habis manis sepah dibuang. Saya bukan menjelek-jelekan PSSI. Mudah-mudahan zaman sekarang jangan sampai kaya begitu, kasihan. Jangan memanfaatkan keringat orang.
Saya itu kalau ada Liga Indonesia di televisi enggak pernah saya tonton. Teman-teman wartawan juga kalau tanya prediksi tim ini lawan itu, saya bilang, 'saya enggak pernah setel liga, apalagi timnas, enggak pernah saya tonton.'
Kenapa? Saya memang cinta Timnas Indonesia, tapi miris kalau ingat-ingat dahulu tidak pernah diperhatikan. Saya itu orangnya kalau bicara tidak pakai tetek bengek, saya memilih vokal.
Vokalnya itu bukan untuk main-main, tapi karena benar. Makanya orang itu banyak yang tidak suka kepada saya. Tapi buat saya gampang saja, kalau tidak suka dengan saya ya tidak usah didengar. Kecuali kalau omongan saya tidak benar.
Pernah juga saya dibohongi PSSI soal uang top skor Liga Indonesia. Waktu jadi top skor 1994/1995 itu dijanjikan uang Rp50 juta tanpa ada penghargaan pemain terbaik. Nah, tiba-tiba waktu selesai final saya hanya terima sepatu saja, pemain terbaiknya Widodo C Putro waktu di Petrokimia Putra.
Waktu itu sepatu emasnya juga saya banting saja, saya bilang percuma. Karena hanya janji-janji saja. Sampai sekarang federasi itu cuma janji-janji saja.
Padahal sudah ngomong di depan saya, 'kamu terima uang Rp50 juta jadi top skor tidak ada pemain terbaik'. Tapi sampai final tidak ada uangnya. Kalau bisa jangan terjadi hal seperti itu untuk pemain-pemain sekarang.