TESTIMONI

Peri Sandria, di Antara Cinta Timnas dan Dusta PSSI

Perri Sandria | CNN Indonesia
Rabu, 02 Sep 2020 19:08 WIB
Peri Sandria merupakan salah satu striker top yang pernah dimiliki Timnas Indonesia. Namun ia mengaku prestasinya itu pernah diingkari PSSI.
Peri Sandria mengaku setengah hati pindah ke Persib. (Foto: Peri Sandria)

Saya memang termasuk temperamen, tapi itu di lapangan saja, di luar lapangan biasa-biasa saja. Ya memang kadang-kadang enggak sadar kalau lagi bermain, disenggol atau apa.

Suka pernah juga ditanya sama wartawan, "Mas Peri, pemain belakang yang ditakuti siapa?" Tapi saya balikin, pemain belakang yang saya takuti tidak ada, yang ada pemain belakang pada takut sama saya.

Pernah juga emosi itu terbawa di luar lapangan, waktu di Persib Bandung. Percuma juga saya dikontrak, tapi latihan terus tidak pernah dimainkan, waktu itu pelatihnya Kang Nandar Iskandar, manajernya kakaknya Pak Tri Goestoro (Dwi Koernianto).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akhirnya saya buat keributan di Sekretariat Persib. Sengaja, saya mau keluar. Ya cari perhatian saja. Saya bilang juga ke Persib, 'ini uang kontrak saya kembalikan, saya tidak mau makan gaji buta'.

Fanatisme di Persib itu memang lengket banget, apalagi saya juga bukan asli dari Bandung. Ditambah lagi saya dari Bandung Raya.

Waktu itu ketika Bandung Raya bubar, hampir 80 persen pemain-pemainnya pindah ke Persija Jakarta. Nah, di Persija manajernya Pak Tri, saya juga sebenarnya tidak ingin main di Persib, jadi hati saya di sana setengah-setengah. Tapi karena diminta Pak Tri untuk ke Persib bersama Surya Lesmana.

Pada waktu itu saya sebenarnya ingin ikut ke Persija. Tapi saya sama Surya yang dikorbankan. Ya akhirnya saya sama Surya buat ulah di Persib.

Tidak sampai satu musim akhirnya saya mundur dari Persib dan pindah ke Persikabo Bogor. Karena waktu itu saya berpikir, kalau seperti itu terus, karier saya bisa mati. Benar-benar tidak dapat menit bermain waktu di Persib.

Kalau di Bandung Raya itu kebersamaannya bagus. Persib itu kan dari amatir, dari Perserikatan. Namanya Perserikatan yang dari luar daerah mereka biasanya dicuekin. Berbeda dengan pemain di kompetisi profesional.

Peri SandriaPeri Sandria mengaku tidak pernah lagi menonton laga Timnas Indonesia. (Peri Sandria)

Bukannya saya menjelek-jelekan Persib. Memang pemainnya bagus-bagus, tapi kebersamaannya kurang. Waktu Mastrans Bandung Raya juara saja sudah kayak perang dingin.

Sepertinya di Bandung tidak ada yang boleh lebih tinggi dari Persib, jadi mereka itu tetap harus yang di atas. Tapi akhirnya waktu itu tahun 1995/1996 kejayaan mereka kami curi, suporter mereka juga kami curi.

Bubarnya Bandung Raya juga karena perang dingin kalau boleh saya bilang. Jadi intinya bagaimana caranya Bandung Raya enggak hidup di Bandung.

Dari beberapa sisi enggak bisa digoyang, akhirnya usaha-usaha Pak Tri diredam, bisa jadi seperti itu yang saya tangkap. Sponsor yang mau masuk dicekal, habis sudah.

Selama karier dahulu, gaji yang saya anggap lumayan itu waktu di Bandung Raya. Kesejahteraan zaman dahulu beda dengan sekarang.

Dahulu itu gaji saya Rp200 ribu waktu juara SEA Games 1991, di Piala Kemerdekaan, Kings Cup, Pra Piala Asia. Kalau sekarang bayaran setiap minggu sekian juta. Waktu di Galatama gaji saya itu Rp250 ribu. Yang lumayan itu gajinya waktu di Bandung Raya saja.

Anak-anak sekarang itu harusnya bersyukur dengan gaji mereka sekarang dengan gaji miliaran. Gaji per bulan anak-anak sekarang tidak ada yang Rp5 juta, Rp10 juta, banyak yang di atas Rp20 juta per bulan. Tapi saya sama teman-teman pemain senior mempertanyakan prestasinya di mana. Kesalahan ini di mana.

Soal bonus SEA Games 1991 itu, saya hanya dapat televisi 14 inch dari sponsor. Kami juara SEA Games dapat uang US$2.500, zaman itu dolar Rp1.500, kalau dirupiahkan sekitar Rp2 juta.

Peri SandriaPeri Sandria membawa Mastrans Bandung Raya juara Liga Indonesia 1995/1996. (Foto: Peri Sandria)

Lalu kami dapat santunan seumur hidup Rp50 ribu per bulan, kemudian naik menjadi Rp100 ribu per bulan. Jadi kami yang dapat medali ini minta kepada Menpora ya jangan Rp100 ribu kami terima seumur hidup. Setidak-tidaknya Rp1 juta lah per bulan.

Jadi yang kami dapat, hasilnya tidak sesuai dengan yang diberikan pemerintah kepada kami. Yang sebulan Rp100 ribu per bulan itu juga kadang-kadang enggak masuk ke rekening. Uang bonus ini saja masih dimain-mainkan.

Maka dari itu, setelah pensiun hidup kami ini sempat prihatin, saya sempat hidup dengan keluar-masuk gang pindah kontrakan. Kami pernah terima donasi karena faktor ekonomi.

Banner gif video highlights MotoGP

Karena gaji kami hanya segitu, di timnas gaji segitu, dengan kebutuhan sehari-hari tidak mencukupi, barang-barang semuanya makin mahal. Saya di samping main bola juga pernah berbisnis dengan istri.

Bisnisnya tipis-tipis saja. Sama istri saya pernah bisnis gorden tapi ditipu sama orang, akhirnya gagal. Bisnis kaus-kaus bola gagal juga, ada yang utang, enggak bayar sudah utang lagi. Modal ke mana, untung ke mana. Jadi uang makin lama makin habis.

Saya juga pernah cedera lama, lutut, mata. Cedera saya semua itu rata-rata di Timnas Indonesia. Nah terakhir waktu SEA Games tahun 1997 di Jakarta saya cedera lutut, tidak ada yang bantu. Uang saya hampir habis untuk penyembuhan cedera itu saja.

Dari cedera lutut itu sampai sekarang saya masih sakit. Sampai akhir karier ya bermain dengan rasa sakit itu saja. Dipaksakan saja karena kebutuhan. Sakit itu sudah saya enggak rasa lagi.

(sry/nva)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER