Perjalanan saya meraih medali-medali Olimpiade memang bisa dibilang menarik.
Waktu di Olimpiade 2000 saya termasuk dari tiga lifter putri Indonesia yang tampil di Sydney. Saya dan Sri Indriyani tampil di kelas 48 kg putri, lalu Winarni (Binti Slamet) di kelas 53 kg.
Namanya orang mau bertanding jelas punya perasaan tegang, tidak mungkin tak memiliki rasa tegang. Cuma ya biasa saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya dingin yang saya rasakan waktu itu di venue angkat besi di Sydney. Sampai bibir saya juga pecah-pecah.
Ketika angkatan perebutan medali, Izabela Dragneva dari Bulgaria yang terkena doping itu memiliki angkatan snatch yang lebih bagus (85 kg), Tara Nott dari Amerika Serikat yang sebelumnya dapat perak juga lebih bagus dari saya.
Tapi di angkatan pertama clean and jerk, saya lebih bagus dari mereka (102,5 kg). Draganeva (100 kg), Nott (100 kg). Angkatan kedua saya juga bagus (105,0 kg), Nott (102,5 kg), Dragneva (102,5 kg).
Angkatan ketiga saya gagal, Nott dan Dragneva juga gagal. Tapi akhirnya Dragneva yang dapat emas, Nott perak, saya perunggu. Indriyani di posisi keempat.
Tara Nott sama saya sebenarnya memiliki total angkatan yang sama. Tetapi karena berat badan dia lebih ringan, akhirnya dia yang mendapatkan medali lebih bagus.
Waktu terima medali saya langsung mendapatkan medali perunggu. Karena berat badan saya berapa ons lebih berat dari Tara Nott.
Itu kami bertanding sore hari di Sydney. Sore hari bertanding, malam-malamnya kami dapat kabar kalau Dragneva didiskualifikasi karena pakai doping. Jadinya Tara Nott dapat emas, saya perak, dan Indriyani perunggu.
Kabar tersebut juga yang beritahu kerabat kami. Saya punya saudara pendeta yang juga tinggal di Sydney, beliau yang bicara kepada mama. Karena saat di Sydney, mama tinggal di rumah saudara.
"Ibu, dengar ini berita dari Australia. Dragneva pakai doping, Lisa pasti dapat perubahan medali," kata saudara saya itu kepada mama.
Akhirnya betul juga beritanya. Besok paginya kaget ditelepon Coach Lukman karena diminta penyerahan medali lagi.
"Saya sudah dengar berita, jadi ibu segera siap-siap. Karena kita mau upacara lagi untuk penerimaan medali baru ini," ucap Coach Lukman kepada mama.
Setelah tahu kabar dapat perak itu saya sih biasa saja ya. Haahaahaa...
Namanya pembawaan orang kan berbeda-beda. Biarpun yang namanya menang tapi saya tidak pernah seperti atlet lain yang girang, melompat-lompat. Tidak seperti itu, biasa saja, senyum-senyum saja.
Makanya wartawan itu yang dari luar juga suka bilang 'Senyum dong, semangat, di atas panggung itu angkat tangan kek, atau apakah'.
Bahkan Pak Menteri saat itu, Pak Agum Gumelar sampai bilang 'Ayo angkat tangan, lompat-lompat dong'. Tapi, ya saya tidak bisa seperti itu.
Setelah dari Sydney saya juga tampil di Olimpiade 2004 di Athena, dapat medali perak juga di sana. Cuma di Olimpiade 2004 saya naik kelas ke 53 kg.
Waktu itu saya sempat pingsan saat pertandingan, jatuh badan saya. Setelah selesai angkatan snatch itu saya pusing, anfal, karena saya kan ada epilepsi.
Biasanya kalau sudah anfal begitu harus tidur, tapi karena sadar masih punya angkatan lagi jadi harus tetap dilakukan. Ketika itu hanya tinggal saya dan [Udomporn] Polsak yang dari Thailand saja untuk perebutan emas dan perak. Itu semua sudah Tuhan yang atur.
Nah yang Olimpiade 2008 di Beijing itu saya gagal dapat perak, cuma perunggu. Ada salah dalam angkatan saja.
Setelah angkatan snatch pertama yang 91 kg itu saya gagal dalam dua angkatan berikutnya karena narik tangannya kurang tinggi. Giliran yang angkatan ketiga diangkat terlalu tinggi akhirnya lepas ke belakang.
Padahal itu lawan yang dari Belarusia, Natassia Novikava, yang akhirnya kena doping, kata mama sudah ketakutan dia. Karena kan di belakang panggung itu tempat pemanasannya kita sama-sama.
Saat pertandingan di Beijing itu mama juga sebenarnya sudah curiga dengan Novikava. Mama curiga dia pakai doping di Olimpiade 2008.
"Mama curiga dengan si Belarusia ini. Mama melihat dia seperti pakai doping," kata mama begitu.
Mama berani bilang dia pakai doping karena saat di tempat pemanasan, Novikava itu tidak bisa diam. Saat di tempat pemanasan itu Novikava sebentar-sebentar bangun, lalu jalan-jalan.
Kalau sudah pakai doping itu memang membuat dia harus selalu aktif. Dia mau tidur tidak bisa, angkat kaki juga tidak bisa. Tapi meski curiga lawan pakai doping mama tidak bilang ke orang PABSI, cuma bicara dengan saya saja.
Begitu dengar kabar Novikava kena doping, saya bilang ke mama, 'Terima kasih, apa yang mama bilang benar terjadi.'
Hanya saja penyerahan medalinya tidak seperti Olimpiade 2000. Saya harus menunggu sampai 9 tahun sebelum menerima medali perunggu Olimpiade 2008.
Jadi waktu April 2016 itu diberitahukan saya dapat medali perunggu karena Novikava doping. Lalu medalinya dikirim ke Jakarta pada Februari 2017.
Saat ada telepon dari Jakarta, dari KOI itu saya dan Mama juga kaget. Mama sampai heran saat saya dibilang naik peringkat, dapat medali Olimpiade lagi.
"Selamat untuk apa Ibu? Lisa naik peringkat apa? Itu Lisa ikut Olimpiade yang mana lagi?" tanya mama ke orang Jakarta yang telepon.
Awalnya seremoni medali itu mau digelar di Papua, tapi entah kenapa akhirnya tidak jadi. Akhirnya seremoni penyerahan medali olimpiade 2008 itu di Jakarta.
Baca kelanjutan berita ini di halaman berikutnya...