TESTIMONI

Nurul Akmal: Prajurit Aceh Pengubah Sejarah Indonesia

Nurul Akmal | CNN Indonesia
Rabu, 18 Agu 2021 19:05 WIB
Nurul Akmal merupakan lifter asal Aceh yang menjadi salah satu wakil Indonesia di Olimpiade 2020 sekaligus menorehkan dua sejarah.
Nurul Akmal menjadi lifter pertama kelas berat Indonesia yang tampil di Olimpiade. (REUTERS/EDGARD GARRIDO)
Jakarta, CNN Indonesia --

Olimpiade Tokyo 2020 adalah momen spesial banget dalam hidup saya. Tidak pernah saya mengimpikan tampil di Olimpiade membela negara Indonesia.

Tetapi inilah hidup. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dan harus pandai-pandai bersyukur. Saya menjadi salah satu dari sedikit orang Indonesia yang bisa membela Merah Putih di pesta olahraga dunia.

Senin, 2 Agustus 2021, jadi hari istimewa buat saya. Hari itu saya tampil membela Indonesia. Seperti biasanya kelas +87 kg atau kelas bebas yang saya ikuti itu selalu dipertandingkan di akhir-akhir. Beda dengan kelas lain yang lebih ringan, seperti kelasnya Windy [Cantika Aisah], atau kelas mas Eko [Yuli Irawan] dan lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tampil di hari terakhir saya tidak deg-degan. Hari itu berbarengan sama pertandingan final Greysia Polii/Apriyani Rahayu yang meraih emas. Selain itu ada juga Anthony Sinisuka Ginting yang bertanding dekat-dekat dengan jam saya tampil.

Selain karena sudah terbiasa tampil belakangan, saya juga mendapat kisi-kisi dari Windy dan coach Dirdja [Wihardja, pelatih angkat besi] soal bagaimana situasi arena angkat besi. Windy cerita sama saya kalau panggungnya itu berbeda dengan panggung kejuaraan-kejuaraan lain.

"Pas nanti di panggung cari titik fokusnya, karena cuma panggungnya saja yang terang. Penonton, juri, dan lainnya gelap, kak," kata Windy kepada saya di wisma atlet.

Benar kata Windy dan coach Dirdja. Yang terang cuma bagian atletnya saja. Saya tidak bisa lihat juri, dan orang-orang yang ada di bangku penonton seperti ofisial atau perwakilan delegasi.

Belum pernah saya ikut kejuaraan dengan tata cahaya seperti itu. Kalau saya ikut Asian Games atau kejuaraan-kejuaraan angkat besi lain, itu semua terang. Tetapi saya enggak masalah dengan hal itu.

Justru bisa membuat saya fokus, seperti di latihan. Kalau saya di latihan itu sudah ditanamkan fokus pada diri sendiri, jangan peduli yang ada di sekeliling kita kecuali instruksi pelatih dari sisi panggung.

Tokyo 2020 Olympics - Weightlifting - Women's +87kg - Group A - Tokyo International Forum, Tokyo, Japan - August 2, 2021. Nurul Akmal of Indonesia in action. REUTERS/Edgard GarridoNurul Akmal merupakan salah satu dari lima lifter Indonesia yang berlaga di Olimpiade 2020. (REUTERS/EDGARD GARRIDO)

Alhamdulillah tiga angkatan snatch yang direncanakan berjalan mulus dengan beban terberat 115 kg. Tetapi di clean & jerk saya hanya mampu sukses di angkatan pertama, 141 kg.

Di angkatan kedua coach Dirdja memilih untuk langsung menaikkan beban jadi 150 kg. Coach Dirdja melihat ada peluang medali bagi saya jika bisa sukses di angkatan itu.

Pada angkatan clean [mengangkat beban dari lantai sampai batas dada dalam posisi jongkok], saya bisa. Tetapi saya gagal pada saat jerk [mengangkat barbel hingga ke atas kepala dengan posisi tangan lurus dan kaki berdiri sempurna]. Saya merasa terlalu terburu-buru, sedikit kurang tenang. Begitu pula dengan percobaan ketiga ketika beban dinaikkan lagi menjadi 154 kg.

Sebenarnya angkatan beban di atas 150 kg itu saya berjudi juga. Di latihan sehari-hari, saya kadang masih belum bisa sempurna untuk mengangkat beban seberat itu. Kadang-kadang bisa, tetapi ada juga gagalnya. Hahahaha.

Sebagai atlet angkat besi, urusan strategi menaikkan beban angkatan itu saya serahkan ke pelatih. Saya hanya ibarat prajurit yang harus siap bertempur, tinggal angkat saja.

Saya menempati peringkat kelima di cabang olahraga angkat besi kelas +87 kg atau kelas bebas di Olimpiade Tokyo kemarin. Sebenarnya ini lebih tinggi dari target enam besar yang diberikan pelatih. Tetapi kalau untuk total angkatan, masih di bawah target 263 kg.

Kalau ditanya apakah saya puas, bingung juga menjawabnya. Di satu sisi saya tentu ingin pulang membawa medali, tetapi di sisi lain nanti saya dibilang tidak berterima kasih dengan rezeki yang sudah diberi Allah Swt.

Intinya saya harus pandai-pandai bersyukur atas apa yang sudah diberikan dan tetap mengincar prestasi terbaik untuk masa yang akan datang.

Berkenalan dengan Angkat Besi

Angkat besi awalnya adalah hal yang asing bagi saya, seorang anak desa Serba Jaman Tunong, Tanah Luat, Aceh Utara.

Yang saya tahu sedari kecil adalah berbakti kepada orang tua, bapak Hasballah dan ibu Nurmala. Saya ini anak tertua dari tiga bersaudara, jadi dari kecil sudah biasa membantu bapak dan ibu.

Salah satu kegiatan yang sering saya lakukan untuk membantu orang tua adalah mengangkut padi. Berat memang, tetapi saya kuat-kuatin saja. Aktivitas itu ternyata mengundang perhatian orang sekitar.

Suatu hari pada November 2009, setelah saya lulus dari SMP, ada seseorang bernama pak Effendi Erias datang ke rumah.

Saya tidak tahu siapa bapak itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai pelatih PABBSI Aceh. Pak Effendi waktu itu sedang berkeliling mencari bibit-bibit atlet angkat besi di Aceh, khususnya wanita. Pak Effendi mendapat kabar bahwa saya suka angkut-angkut padi dari tetangga saya.

Ekspresi lifter angkat besi putri Aceh Nurul Akmal ketika berhasil memecahkan rekor nasional kelas +75 Kg putri PON XIX di Gor Si Jalak Harupat, Bandung, Jabar, Jumat (23/9). Nurul berhasil memecahkan rekor angkatan clean and jerk dari 132 kg menjadi 133 kg. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/Spt/16Nurul Akmal baru mengenal angkat besi setelah lulus SMP. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Waktu itu pak Effendi ke rumah, berkenalan dengan saya serta orang tua saya. Dia menceritakan niat, maksud dan tujuannya menawarkan saya menjadi atlet angkat besi. Tak hanya itu, beliau pun menjamin fasilitas sekolah, asrama, dan makan.

Saya dan orang tua pun bingung menanggapi ajakan yang tidak lumrah itu. Selain itu ada pula ketakutan, karena kami pun tak mengenal betul siapa sesungguhnya pak Effendi ini.

Dengan penjelasan pak Effendi, perlahan kami mulai mengerti. Keraguan pun hilang setahap demi setahap. Saya kemudian berpikir mungkin tak ada salahnya mencoba tawaran menjadi atlet angkat besi dan bisa mengurangi beban orang tua. Saya tertarik, orang tua pun membuka kesempatan buat saya.

Siang itu pak Effendi langsung mengundang saya datang ke Banda Aceh. Namun rasa waswas orang tua belum sepenuhnya hilang dan mereka pun menemani saya menempuh perjalanan ke ibu kota provinsi. Pak Effendi pun menanggung biaya keberangkatan kami.

Perjalanan dari desa ke Banda Aceh dengan menggunakan bus memakan waktu enam jam. Kami berangkat malam hari dan tiba pagi hari di tempat yang ternyata merupakan asrama dan tempat latihan atlet angkat besi di Dinas Pemuda Olahraga Aceh.

Setelah tiba, saya menjalani pengecekan. Waktu itu berat saya sekitar 60-70 kg dan dianggap sehat serta punya postur bagus untuk menjadi lifter. "Bisa jadi juara ini," kata pak Effendi ketika itu.

Usai pengecekan badan dan kembali mendengar penjelasan pak Effendi, orang tua saya pulang. Saya sendiri memulai sebuah perjalanan baru.

Banner Testimoni

Perkenalan singkat dengan angkat besi itu kemudian berlanjut dengan latihan. Ini bagian yang tidak mudah bagi saya. Latihannya begitu berat, sampai-sampai saya mau menangis. Sempat terpikir juga saya mau pulang, kembali ke desa.

Kendati ada keinginan menyerah, saya tetap serius berlatih. Saat latihan, pelatih bilang saya bisa menyerap ilmu dengan baik. Hanya empat bulan setelah berlatih saya sudah dikirim ke kejuaraan daerah. Dua bulan setelah itu saya kemudian dipercaya membela Aceh dalam kejuaraan di Yogyakarta.

Saya berangkat naik pesawat ke Yogyakarta. Sebuah pengalaman yang membanggakan bagi saya. Pelan-pelan saya mulai yakin bisa menggapai sukses lewat angkat besi. Keinginan menyerah dan pulang ke desa lantas terkikis.

Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya...

Masuk Pelatnas dan Dambakan Sejarah Ketiga

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER