Karateka Afghanistan Meena Asadi khawatir karier atlet wanita di Afghanistan berakhir karena Taliban kembali berkuasa di negaranya.
Ketika Taliban mengambil alih pemerintahan Afghanistan dari tahun 1996-2001, perempuan tidak dapat bekerja dan sekolah. Selain itu, wanita harus menggunakan cadar untuk menutupi wajah mereka dan harus ditemani kerabat pria jika ingin keluar dari rumah mereka.
Dengan kembalinya Taliban di Kabul, Meena khawatir kemajuan perempuan di Afghanistan kembali terkungkung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semua prestasi dan nilai-nilai dihancurkan dan ini akan menjadi momen kelam bagi masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak-anak," kata Meena yang diwawancarai Reuters di Cisarua.
Belum lama ini, mimpi atlet taekwondo Zakia Khudadadi untuk ikut Paralympic Games Tokyo 2020 hancur karena kekacauan di Kabul. Zakia seharusnya menjadi atlet wanita Afghanistan pertama yang tampil di ajang tersebut.
"Semuanya telah berakhir untuk atlet wanita," kata Meena, yang merupakan satu-satunya atlet wanita mewakili Afghanistan di Kejuaraan Karate South Asian 2012, dan berhasil meraih dua medali perak.
Meena meninggalkan Afghanistan ketika menginjak 12 tahun dan menetap di Pakistan. Di sana ia memulai latihan karate dan terpilih mewakili Afghanistan di South Asian Games 2010.
Setahun kemudian ia kembali ke Kabul, Afghanistan, untuk membuka klub karate. Tetapi ia terpaksa melarikan diri ke Indonesia bersama suami dan putrinya karena kekerasan melanda di Afghanistan.
Untuk kali kedua Meena harus meninggalkan negara tercinta karena pergolakan pemerintahan.
"Saya merasa sengsara. Saya merasa kehilangan harapan dan masyarakat di negara saya juga kehilangan harapan mereka," kata Meena.
Di Indonesia, Meena mengajar karate kepada para pengungsi yang bernasib sama dengannya. Ia berharap bisa bermukim kembali di negara ketiga.
Para pemimpin Taliban saat ini mencoba meyakinkan warga Afghanistan dan masyarakat internasional bahwa anak perempuan dan perempuan akan memiliki hak atas pendidikan dan pekerjaan. Namun, Meena skeptis.
"Mereka adalah partai ekstrimis dan tidak percaya pada hak asasi manusia ataupun hak perempuan," ujar Meena.
Sejauh ini, beberapa laporan menyebutkan sejumlah perempuan diperintahkan berhenti dari pekerjaan mereka saat Taliban mulai melintasi Afghanistan.
(jun/ptr)