Tidak mudah buat Ni Nengah bisa memahami dan menerima kondisi polio. Saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), ia tidak bisa seperti teman-temannya yang berlari ke sana-kemari saat waktu istirahat tiba.
Bahkan ia sempat menangis sambil mempertanyakan kondisi yang berbeda dengan teman-temannya itu kepada sang ayah. Jawaban sang ayah saat itu membuatnya sadar dan berusaha mengerti kondisinya yang berbeda dengan teman-temannya.
Lihat Juga : |
"Diam saja [di dalam kelas]. Lihat teman lari, saya tidak bisa. Pernah saya pulang dan saya nangis, ayah saya tanya, 'Kenapa?'"
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ingin tahu alasan kenapa saya berbeda. Saya tidak tahu saat itu, saya hanya tahu bahwa saya tidak bisa lari. Ayah saya lalu mengatakan bahwa saya tidak berbeda, tapi spesial," ucap Ni Nengah dalam sebuah wawancara dengan CNN Indonesia.
Lingkungan keluarga yang sangat mendukung turut membantu jejak karier Ni Nengah. Ia diizinkan mengikuti jejak sang kakak yang belajar angkat besi di sebuah sasana di Bali.
Lama-lama Ni Nengah mengaku malah diajak latihan dan mulai tampil di Kejuaraan Nasional angkat berat tiga bulan setelah rutin menjalani latihan serius. Tanpa diduga lifter kelahiran Karangasem, Bali, 12 Desember 1992 itu langsung tampil sebagai juara.
Masuk SMP, Ni Nengah memutuskan pindah ke Solo untuk lebih fokus menekuni kariernya sebagai atlet powerlifting dan mulai mewakili Indonesia di ajang ASEAN Para Games pada 2008. Satu demi satu ajang internasional ia ikuti dan berhasil mengharumkan Indonesia.
(ttf/ptr)