Jakarta, CNN Indonesia --
Sejak meraih emas sepak bola SEA Games 1991, sudah 30 tahun Timnas Indonesia tak merasakan podium juara internasional. Rindu akan gelar, termasuk Piala AFF, kiranya sudah di ubun-ubun.
Masalahnya Timnas Indonesia sering kali mati gaya saat melawan Harimau Malaya. Dari delapan pertemuan di Piala AFF contohnya, empat kali kalah dan menang. Ini kontras dengan penampilan saat bentrok dalam ajang lainnya.
Sejak 7 September 1957, ada 76 pertemuan negara rumpun melayu ini. Hasilnya Garuda Merah Putih unggul 39 pertemuan dan kalah 36 kali dengan sisanya imbang. Dari 76 laga itu, skor terbesar tercipta pada 14 Agustus 1976, yakni Malaysia bantai Indonesia 7-1.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkhusus Piala AFF, empat kekalahan Indonesia dari Malaysia selalu memberi luka dalam. Pertama, kekalahan 1-3 di Piala AFF 1996 membuat Timnas Indonesia gagal melaju ke partai final kejuaraan edisi perdana ini.
Kemudian kalah 1-2 pada leg pertama Piala AFF 2004. Beruntung kekalahan di Stadion Utama Gelora Bung Karno tersebut langsung dibalas tuntas dalam pertemuan leg kedua di Stadion Bukit Jalil dengan skor 4-1.
Ketiga, kekalahan menyakitkan pada final Piala AFF 2010. Pada leg pertama Timnas Indonesia menyerah 0-3 di Kuala Lumpur Malaysia. Kekalahan ini membuat kemenangan 2-1 pada leg kedua menggagalkan asa menjuarai Piala AFF untuk pertama kalinya.
Terakhir, Malaysia mengubur mimpi Indonesia melaju ke babak semifinal Piala AFF 2012. Dalam laga pemungkas Grup B pada 1 Desember 2012, Malaysia melumat Indonesia dengan skor 2-0 di Stadion Bukit Jalil.
 Timnas Indonesia vs Malaysia berebut tiket ke semifinal Piala AFF 2020 (2021). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Kisah pada 2012 tersebut punya kans terulang. Saat ini Timnas Indonesia memuncaki klasemen sementara Grup B dengan poin tujuh, sama dengan Vietnam. Adapun Malaysia di peringkat ketiga dengan enam poin atau dua kemenangan.
Bedanya Vietnam akan jumpa Kamboja, sedang Indonesia lawan Malaysia. Di atas kertas Vietnam akan unggul, bahkan dengan banyak gol, atas Kamboja. Vietnam mengincar banyak gol agar bisa menjadi juara Grup B.
Karenanya laga Timnas Indonesia versus Malaysia di Stadion Nasional Singapura, Kallang, pada Minggu (19/12), jadi partai hidup dan mati. Indonesia hanya butuh imbang untuk lolos, tetapi Malaysia wajib memenangkan laga ini.
Malaysia percaya diri bisa mengalahkan Indonesia karena dua kali menang dalam Kualifikasi Piala Dunia 2022. Indonesia menyerah 2-3 di Senayan, Jakarta dan dipermalukan 0-2 dalam laga kunjungan ke Stadion Bukit Jalil.
Namun dua kekalahan ini bukan lagi gambaran sebenarnya kekuatan Indonesia. Evan Dimas dan kawan-kawan mulai bertransformasi selama dalam asuhan Shin Tae Yong. Salah satu hasilnya, menahan Vietnam pada Rabu (15/12) lalu.
Fakta-fakta ini, meminjam judul novel Eka Kurniawan 'Seperti Rindu Dendam Harus Dibayar Tuntas' kiranya perlu dijadikan sarana revans dua kekalahan terakhir, sekaligus membuka jalan meraih gelar juara setelah menunggu selama 30 tahun.
Baca di halaman berikutnya>>>
"Shin Tae Yong sokoguru (master class) dalam hal bertahan," kata komentator pertandingan Vietnam versus Indonesia pada Rabu (15/12) malam. Keberhasilan Timnas Indonesia menahan Vietnam dengan skor kacamata, sekali lagi jadi pembuktian kualitas Shin.
Saat tampil di Piala Dunia 2018, Shin menunjukkan kelasnya. Berhadapan dengan Jerman yang adalah juara bertahan, tim asuhan Shin tampil solid dan rapi. Gempuran Jerman bisa dikendalikan dan serangan balik mereka mematikan.
Saat melawan Vietnam, perihal bertahan menonjol sedangkan serangan balik negatif. Ini kontras dengan penampilan saat melawan Laos dan Kamboja. Dalam dua laga tersebut karakter serangan balik yang cepat dan lugas tergambar cukup jelas.
Pelatih Malaysia Tan Cheng Hoe sadar betul dengan hal tersebut. Dalam jumpa pers virtual bersama jurnalis Malaysia, Kamis (16/12), Cheng Hoe menyebut serangan balik Timnas Indonesia mematikan. Ia sedang membangun serum anti-serangan balik tersebut.
Namun Cheng Hoe berpeluang kecele. Selama 2021, sejak pertandingan melawan Taiwan dalam play off Kualifikasi Piala Asia 2023, Shin menerapkan skema, formasi, strategi yang berbeda. Hanya karakter mainnya yang sama: ngotot.
Saat melawan Taiwan Shin menggunakan formasi 4-1-4-1 dengan Asnawi Mangkualam dan Pratama Arhan sebagai playmakers. Adapun saat melawan Afghanistan berubah menjadi 4-3-3, dengan Irianto sebagai kunci meredam agresivitas lawan.
 Shin Tae Yong di memberi instruksi di tengah-tengah pemain. (CNNIndonesia/Abdul Susila) |
Kemudian Shin menerapkan false nine ketika jumpa Myanmar. Dalam laga tersebut ditempatkan sebagai ujung tombak, tetapi dalam prakteknya menjadi winger dan pengumpan. Tugas ujung tombak malah diberikan ke lini kedua, utamanya gelandang.
Di Piala AFF 2020, saat melawan Kamboja dan Laos, Shin membuat gebrakan dalam susunan pemain. Pelatih asal Korea Selatan ini seperti meminta pemain untuk bermain bebas; yang penting menang, saat sudah unggul di atas dua gol.
Lantas saat melawan Vietnam, Shin menggunakan formasi 3-5-1. Tiga bek dipasang sekaligus untuk meredam soliditas dan agresivitas The Golden Warriors. Walau tampil negatif; parkir bus; bertahan total, satu poin berhasil diraih.
[Gambas:Photo CNN]
Berkaca dari tujuh pertandingan di atas, tak termasuk laga uji coba melawan Antalyaspor, Shin kemungkinan menurunkan gaya main yang berbeda lagi. Bisa saja formasinya 4-4-2, 4-3-3, atau 4-1-4-1, tetapi praktiknya bisa sama sekali tak terduga.
Yang tak kalah penting dari strategi dan instruksi, adalah juga menjaga emosi dan psikologi. Ini karena duel Indonesia kontra Malaysia merupakan salah satu rivalitas paling ditunggu, selain Vietnam konta Thailand, di ASEAN.
Dalam beberapa kesempatan, pemain Timnas Indonesia tak bisa menjaga emosi dan psikologi, sehingga tampil provokatif. Hasilnya bukan malah membungkam, malah sebaliknya terbungkam. Karenanya soal dendam ini harus pula dikelola Shin Tae Yong.
[Gambas:Video CNN]