Televisi baru saja kumatikan. Persipura resmi terdegradasi ke Liga 2. Ketika hendak menulis ini aku teringat Budiman Sudjatmiko.
Di halaman 71 dalam buku 'Anak-Anak Revolusi' Budiman menulis: "Kadang seorang filsuf dan sastrawan harus juga membuat selebaran atau meramu bom molotov saat fasisme sedang mengamuk."
Tentu saja Budiman sedang tak bicara sepak bola. Tak bicara si Mutiara Hitam. Aku hanya merasa, begitu Persipura turun kasta, tokoh-tokoh di Papua yang selama ini diam sepantasnya meledak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejurus kemudian pada Kamis (31/3) sore itu, menjelang azan Maghrib, Margaret Thatcher melintas di pikiranku. Foto hitam putih 'wanita besi' mantan Perdana Inggris ini menyalak di kepala. Sejurus kemudian kuambil biografinya.
Thatcher bisa dibilang embrio revolusi sepak bola Inggris. Ia tak suka sepak bola, terutama suporter Inggris, hooligan. Menurutnya suporter sepak bola adalah 'feral mob' atau segerombolan perusuh liar.
Namun jaminan kebebasan berusaha yang dikeluarkan Thatcher melahirkan revolusi industri sepak bola Inggris pada 1992: Premier League. Thatcher adalah paradoks. Seolah salah, namun banyak benarnya.
Menurut KBBI ortodoks memiliki arti kolot; berpandangan kuno. Begitulah Persipura di era 4.0 ini. Saat tim lain dipimpin sosok profesional, Persipura masih dipimpin seorang kepala daerah.
Ini sistem peninggalan zaman Perserikatan. Era di mana klub sepak bola disubsidi uang rakyat. Masa ketika klub sepak bola Indonesia dinina bobo jargon 'Macan Asia', tapi cakar dan taringnya tumpul.
Dengan empat gelar juara kompetisi (2005, 2009, 2011, dan 2013), plus satu gelar juara turnamen rasa liga (Indonesia Soccer Championship 2016), Persipura nyaris tak punya aset sebagai kekayaan benda.
Jangankan stadion, lapangan latihan pun tak punya. Kantor atau sekretariat klub pun beda antara dokumen dan fakta. Dokumen klub menyebut di Jalan Balai Kota, tetapi faktanya di Dinas Olahraga Kota Jayapura.
Finansial klub dengan badan hukum PT Persipura Papua ini setiap musimnya mengandalkan dana dari PT Freeport Indonesia dan Bank Papua. Ada sponsor lainnya, tetapi hanya disebut sebagai peramai.
Bukan cerita tabu di Persipura, kesulitan keuangan jadi bumbu pembentukan tim di awal musim. Cinta jadi jimat manajemen Persipura mempertahankan pemain-pemain berkualitasnya yang dibidik klub lain.
Hal ortodoks ini saatnya dibakar. Bukan soal cintanya yang terlarang, tapi soal menjual cintanya. Cinta bukan soal pengorbanan saja, tetapi juga soal memberi yang terbaik agar harmonisme tercipta.
Boaz Solossa kurang cinta apa dengan Persipura? Kans bermain di luar negeri saja dibuang demi Persipura. Namun akhirnya Bochi pergi juga. Ia dipaksa pergi oleh situasi. Lewat cara konservatif. Klasik yang tengik.
Siapa tak kenal Silvio Berlusconi? Mantan perdana menteri Italia ini pernah jadi orang nomor satu AC Milan. Pada masanya I Rossoneri menguasai Italia dan daratan Eropa lewat Liga Champions.
Begitu Berlusconi turun takhta pada 2011, kegemilangan AC Milan ikut terkikis. Persipura agak-agak seperti itu. Oligarki tak bisa menyelamatkan sepak bola. Oligarki membuat sepak bola mati gaya.
Lupakan Berlusconi! Mari mengulas Paolo Maldini. Mantan kapten tim itu saat ini menjadi Direktur Teknik tim. Ia merestrukturisasi klub berusia 123 tahun tersebut: hemat, efisien, tapi tepat sasaran dan cerdik.
Dalam wawancara dengan The Athletic Maldini mengatakan ada dua habitat yang tak bisa dipisahkan dari jalan sukses sebuah klub, kantor dan lapangan. Dan Persipura belum punya keduanya.
Oligarki tak bisa memberi dua hal vital ini. Oligarki hanya bisa meminjamkan. Suatu saat ada imbalan. Ibarat lelucon politisi tengik seusai kontestasi politik: tak ada makan siang yang gratis.
Persipura itu kira-kira seperti Barcelona. Ada gairah pemberontakan di sana. Pemberontakan atas bedil, kuman, dan baja, seperti judul buku Jared Diamond 'Guns, Germs, and Steel' yang mengisahkan Papua.
Tak berlebihan pula jika Persipura disebut sebagai 'mes que un club' Barcelona dari versi Indonesia. Persipura lebih dari sekedar klub. Tapi ia hanya klub biasa jika gaya oligarki dipelihara di sana.
'Percikan Revolusi Subuh' belum habis kubaca. Kulipat halaman terakhir sebagai tanda. Aku kembali teringat Persipura, klub yang dicintai siapa saja dan baru dipastikan turun kasta ke liga dua.
Aku teringat Pramoedya Ananta Toer. Pada 2005 saat kutemui di Utan Kayu, ia berujar: revolusi selalu datang dari pinggir. Tumbangnya tirani, katanya, selalu diawali percikan-percikan kecil di pinggiran.
Niccolo Machiavelli kemudian berkelebat di otak. Dalam surat-suratnya kepada calon pemimpin dalam buku 'Il Principe' filsuf ini menyebut kekuasaan tak akan korelasinya dengan moralitas.
Klub sepak bola pun demikian. Persipura, meminjam istilah Pram, kiranya hanya bisa diperbaiki jika ada percikan revolusi dari pinggir. Benih-benih reformasi sepantasnya digelorakan.
Molotov dari Budiman, revolusi industri dari Thatcher, kisah AC Milan dengan Berlusconi dan Maldini, juga keistimewaan Barcelona, lantas percikan provokasi Pram, dan teori Machiavelli, menginspirasi Persipura.
Pada musim 1989/1990 Persipura pernah turun kasta dari Perserikatan. Mereka lantas kembali pada 1994. Mutiara Hitam bisa segera kembali ke Liga 1, tapi apa guna jika cuma kembali tanpa menjadi lebih baik.
(har)