Jakarta, CNN Indonesia --
Saya Toyo Haryono, mantan pesepakbola Indonesia era 80-90an. Juara SEA Games 1991 adalah momen terindah dalam karier saya bersama Garuda.
Terpilih sebagai pemain Timnas Indonesia adalah mimpi semua pesepakbola, termasuk saya. Namun butuh pengorbanan dan perjuangan yang panjang untuk mencapainya.
Semula saya hanya seorang bocah yang hobi main sepak bola selepas pulang sekolah. Tak pernah bermimpi untuk menjadi pemain Timnas Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mimpi saya membuncah karena terkesima dengan abang saya masuk PSMS Junior. Masih remaja tapi sudah bisa naik pesawat ke luar kota dengan jaket tim yang rapi.
"Keren banget kalau jadi pemain bola. Bisa terbang naik pesawat ke mana-mana dan pakai jaket tim yang seragam," kata saya dalam hati.
Ternyata doa saya terjawab. Saat usia 12 tahun saya terpilih mewakili tim Deli Serdang untuk tampil di Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI). Bakat saya sepertinya terpantau para pelatih atau legenda sepak bola Sumatera ketika bermain di kejuaraan di Medan.
Dari situ terpilih masuk Diklat Medan. Bangganya bukan main. Saya makin mantap memilih sepak bola sebagai jalan hidup saat terpilih antar diklat se-Indonesia juga masuk ke SKO Ragunan sampai SMA di sana.
 Toyo Haryono (nomor 6) langganan Timnas Indonesia sejak 18989. (Dok.Pribadi) |
Banyak pelajaran dan pengalaman yang saya dapat selama ditempa di Ragunan. Selain latihan terprogram, kami dapat kesempatan ke luar negeri untuk mewakili Indonesia di kejuaraan antarpelajar. Mulai dari Malaysia, Singapura, China, Korea Selatan, juga India.
Tahun 1985 saya juga menjadi salah satu siswa Ragunan yang diberangkatkan ke Jerman. Bisa dibilang ini cikal bakal proyek Baretti atau Primavera.
Bedanya kami berlatih pindah dari satu klub junior Bundesliga seperti Hamburg, Stuttgart, dan Bayern Munchen hampir selama delapan bulan.
Ada beberapa pemain Indonesia yang dilirik tim Bundesliga. Namun regulasi saat itu belum memungkinkan pemain muda Indonesia menjalin kontrak dengan klub Eropa.
 Toyo Haryono, mantan bek Timnas Indonesia yang ikut mengantar Indonesia juara SEA Games 1991. (Dok.Pribadi) |
Tahun 1988 saya juga masuk daftar pemain yang menjalani pemusatan latihan di Jerman, bertepatan dengan Piala Eropa.
Bisa dibilang para siswa Ragunan termasuk saya sudah dilirik klub-klub Galatama. Saat itu kami dianggap sudah layak masuk tim-tim profesional karena postur dan kualitas kita sudah setara pemain-pemain profesional.
Program latihan di Ragunan memang sangat melelahkan karena kami sudah terbiasa melahap program latihan fisik dan teknik secara rutin. Di saat anak seumuran saya bisa bermain ke mana-mana, kami terus digembleng untuk menjadi atlet masa depan.
Akan tetapi kerja keras saya terbayar ketika dipercaya masuk Timnas Indonesia di SEA Games 1989 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Saya terpilih di menit-menit akhir karena bek senior saat itu, Robby Darwis, tak bisa dimainkan. Kalau tidak salah karena harus menjalani sanksi kartu merah dari event internasional sebelumnya.
Baca lanjutan artikel ini di halaman berikutnya>>>
Absennya Robby Darwis jadi berkah tersendiri untuk saya. Mulai dari situ saya rutin masuk Timnas Indonesia di berbagai event hingga menjadi pemain pilar di SEA Games 1991.
Karena sudah terbiasa tambah porsi latihan di SKO Ragunan, saya mampu melahap semua menu latihan yang diberikan pelatih 'gila' Anatoli Polosin.
Banyak pemain muntah-muntah bahkan sampai menangis dibuat Polosin. Bayangkan saja, kami latihan tiga kali sehari seperti jadwal minum obat yang durasinya bisa sampai 3-4 jam. Beberapa pemain senior bahkan memilih kabur.
Karena saya pemain muda dan terbiasa digembleng di Ragunan jadi bisa mengikutinya. Yang bikin saya salut kepada Polosin, dia ikut lari saat latihan fisik bareng pemain.
Selama tiga bulan kami banyak digembleng di daerah pegunungan sebelum Cimahi, Jawa Barat. Kami dipaksa berlari naik turun di kaki pegunungan. Jujur saat itu saya juga kewalahan dan sempat curi-curi kesempatan naik mobil bak yang kebetulan lewat. Hahaha...
Mungkin karena Polosin berasal dari Soviet, gemblengannya keras. Di sana banyak pesepakbola berlatar belakang buruh atau pekerja tambang yang fisiknya bagus-bagus mungkin.
Menurut saya Polosin jeli menganalisa kelemahan pemain Indonesia, yakni soal ketahanan fisik. Makanya program latihan beliau lebih fokus ke masalah fisik. Tapi karena itu pula yang bikin stamina kami stabil di sepanjang turnamen.
Saya tidak tahu persis kacamata Polosin terhadap saya. Yang pasti saya selalu tampil penuh mulai dari babak penyisihan sampai final SEA Games 1991. Tak pernah semenit pun saya dikasih istirahat oleh Polosin.
 Toyo Haryono berpose bersama staf pelatih Anatoli Polosin. (Dok.Pribadi) |
Sebenarnya saya iri juga lihat teman-teman mendapat giliran rotasi. Di lain sisi, saya juga bangga selalu mendapat kepercayaan penuh.
Yang saya ingat di sepanjang turnamen, motivasi dan fisik anak-anak semua dalam kondisi bagus. Jadi etos kerja pemain di lapangan sangat tinggi dan mampu merusak permainan tim lawan.
Kami tidak pernah membiarkan lawan bisa leluasa masuk ke daerah pertahanan. Mungkin itulah yang bikin pemain lawan jadi stres sendiri.
Di laga pertama kami sukses mengganyang Malaysia 2-0. Selanjutnya Vietnam kami kalahkan 1-0, dan Filipina kami hajar 2-1. Kami pun berhak lolos ke semifinal sebagai juara Grup B didampingi Filipina.
 Toyo Haryono saat menjalani latihan fisik di gunung bersama skuad SEA Games 1991. (Dok.Pribadi) |
Di semifinal kami berhadapan dengan Singapura yang saat itu salah satu favorit juara. Pertandingan imbang tanpa gol di waktu normal hingga terpaksa dilanjut ke babak penalti. Kami pun menang 4-2 di akhir laga.
Selanjutnya kami menantang Thailand di partai final. Saya harus jujur kualitas dan teknik mereka saat itu lebih unggul, tapi pertahanan kami solid. Pemain mereka kami bikin kesulitan tembus ke kotak penalti.
Pertandingan pun berjalan alot hingga tak ada gol yang tercipta di waktu normal hingga babak ekstra 2x15 menit. Sekali lagi kami berhasil memenangi drama adu penalti yang menegangkan dengan skor 4-3.
Hampir semua pemain menangis bahagia karena perjuangan keras kami terbayar lunas dengan medali emas. Momen indah saat itu sulit dilukiskan dengan kata-kata.
 Toyo Haryono, mantan bek Timnas Indonesia yang ikut mengantar Indonesia juara SEA Games 1991. (Dok.Pribadi) |
Di situ kami baru sadar, ketahanan fisik jadi modal penting untuk menjadi juara. Kami sanggup bermain 120 menit di dua partai terakhir berkat tangan besi Polosin.
Saya pribadi selalu tambah porsi latihan sendiri untuk menambah stamina. Makanya saya kalau lihat pemain sekarang suka iri.
Tapi hanya sebatas iri materi saja, bukan soal prestasi. Karena faktanya mereka belum mampu membawa Timnas Indonesia berprestasi tapi gajinya gila-gilaan.
[Gambas:Video CNN]
Saya sadar betul zaman sudah berbeda. Tapi satu hal yang tak akan berubah adalah cita-cita membawa Merah Putih ke tempat tertinggi.
Untuk adik-adik yang saat ini bertugas di Timnas Indonesia, manfaatkan panggilan dengan penampilan sebaik-baiknya. Jangan pernah mengeluhkan menu latihan fisik dari pelatih. Karena yang kami alami dulu bersama Polosin lebih gila dari kalian.
Semoga kalian bisa membuktikan bahwa mengenakan seragam Timnas Indonesia bukan soal gaji tapi tentang harga diri bangsa. Sekali lagi, semoga kalian bisa menghapus dahaga juara yang belum pernah datang kembali sejak SEA Games 1991.